Minggu, 20 November 2011

POLEMIK DIY, PINTU AMANDEMEN KELIMA ?

Oleh : Empi Muslion Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Lyon Perancis Dialektika penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta semakin hari semakin ramai, belum hilang dari ingatan kita saat pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Mendagri dan jajarannya saat menyerahkan RUU DIY kepada DPR, justru digedung terhormat mempertontonkan pemandangan yang jauh dari semangat kebhinnekaan dan menghargai antar sesama aparat negara yang harus memikirkan nasib rakyat, khususnya masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan terapi ketenangan dan kebersahajaan ditengah rasa gulana yang baru saja mulai sirna pasca erupsi gunung merapi. Sampai saat ini berbagai solusi pemecahan untuk mencari jalan terbaik terus dilakukan oleh berbagai kalangan, baik melalui jalur formal maupun informal, hal itu tampak dengan ramainya diskursus yang terus bergema baik dari dapur legislatif, eksekutif, kalangan perguruan tinggi, para pengamat, LSM dan lainnya. Begitu juga dikalangan akar rumput yang mendera masyarakat Yogyakarta yang tiap hari semakin beragam dan fariatif model kegelisahan yang mereka luapkan dengan mempertunjukkan opera penantian akan kejelasan status DIY diberbagai tempat dan kesempatan. Episentrum Polemik Sampai saat ini perdebatan yang muncul tentang alternatif mekanisme model pemilihan Gubernur DIY dan status Sultan antara dipilih atau ditetapkan tetap bak berjalan dilorong gelap, berbagai model telah digelontorkan, tetapi belum menampakkan lorong cahaya untuk menuju jalan keluarnya. Penulis melihat sebenarnya akar permasalahannya bukanlah pada kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah dengan opsi yang pada intinya bahwa gubenur DIY harus dipilih, juga bukan pada pihak legislatif dengan segala argumennya antara yang pro dan kontra dengan RUU DIY yang telah diserahkan oleh pemerintah. Episentrum terjadinya perdebatan sebenarnya adalah pada sudut pandang dan pemahaman tentang substansi UUD 1945 pasca amandemen, terutama pasal 18 ayat (4) dan pasal 18B ayat (1). Alasan pemerintah dapat dibenarkan karena argumentasinya disandarkan pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sedangkan sebagian anggota legislatif dan sebagian kalangan masyarakat lainnya melihat alternatif mekanisme pemilihan gubernur DIY dilakukan melalui pengangkatan juga berdasarkan argument juridis yakni pasal 18B ayat (1) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-udang” serta ditambah dengan beberapa fakta historis, sosio politis dan beberapa fakta juridis penetapan Sri Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur pada beberapa UU sebelum ini. Karena itu solusinya tidak lain harus ada pemahaman kita bersama untuk mempertemukan makna dan maksud dari kedua pasal tersebut. Dinamika yang berkembang sampai saat ini pasal yang paling krusial dan mendobrak tatanan kesultanan dengan ex-officio kegubernurannya adalah pada pasal 18 ayat (4) yakni kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis” tersebut. Jika pemahaman tentang demokratis diartikan secara nilai dan substansional dari sebuah konsep demokrasi yakni demokratis dalam arti “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dan “kedaulatan berada ditangan rakyat” maka apapun aspirasi masyarakat Yogyakarta tentang kepemimpinan daerahnya itulah yang harus diikuti. Untuk melihat aspirasi masyarakat DIY bisa dilihat dari dua sumber legalitas. Pertama melalui referendum untuk meminta masukan kepada rakyat DIY tentang model pemilihan kepemimpinan DIY apakah penetapan atau pemilihan, tentunya referendum juga membawa berbagai konsekuensi bagi keberadaan daerah lainnya di Indonesia maupun bagi kewibawaan pemerintah dan NKRI, sehingga referendum terlalu rentan untuk dilaksanakan. Kedua meminta masukan cukup melalui lembaga perwakilan rakyat yakni DPRD. Jika segenap elemen bangsa setuju dengan pemahaman kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis” seperti ini, maka hasil keputusan DPRD DIY tentang model kepemimpinan DIY apakah pemilihan atau penetapan sudah bisa dijadikan landasan legalitas untuk penentuan model kepemimpinan DIY dalam RUU DIY. Namun jika pemahaman kita tentang kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis”, diartikan dalam pemaknaan secara linear dan lahiriah, yang tentunya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah langsung ataupun pemilihan oleh DPRD, maka penentuan legalitas model kepemimpinan DIY harus melalui pemilihan, baik melalui pilkadasung atau melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD DIY. Namun melihat situasi dan kondisi yang berkembang ditengah masyarakat Yogyakarta, sepertinya alternatif ini akan mendapatkan resistensi dan penolakan dari sebagian besar masyakarat Yogyakarta. Tetapi bagimanapun terlepas dari alternatif mekanisme yang akan dipilih dan pro kontra yang muncul, kita harus bisa memahami bahwa pilihan ini memang adalah pilihan yang teramat sulit, kedua pilihan tersebut adalah sama-sama memiliki resiko untuk diperdebatkan, makna antara pasal 18 ayat (4) dengan pasal 18B ayat (1) sangat sulit untuk dipertemukan, semua memiliki peluang untuk dipertentangkan. Akankah jalannya tidak lain adalah harus menunggu Amandemen UUD 1945 selanjutnya ?

MELEPAS PASUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Oleh : Empi Muslion Magister Desentralisasi pada Universitas Lyon 2 Perancis Dialektika penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta semakin hari semakin ramai, hebohnya RUU DIY ini akar utamanya tidak lain terletak pada pemilihan model suksesi kepemimpinan DIY yang akan diterapkan, apakah penetapan atau pemilihan. Sepanjang perdebatan ini tetap dalam koridor untuk mencari sebuah kemaslahatan dan desain terbaik untuk masyarakat dan daerah Yogyakarta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah diskursus yang perlu diapresiasi dan menjadi perhatian kita bersama. Namun semakin hari dialektika ini juga bergulir bak bola liar ke hal-hal yang kurang proporsional dan insubstansional, seperti sudah ada muncul gejala keinginan daerah lain untuk diakui dan dihidupkan kembali keistimewaan daerahnya, bahkan ada letupan opini yang lebih ekstrim bahwasanya RUU DIY dipersepsikan lebih kearah kepentingan politik jangka pendek, dan letupan-letupan suara miring lainnya. Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mencoba menjelaskan duduk persoalannya secara objektif dan legal rasional, pertama akan dijelaskan fakta mengapa daerah Yogyakarta dikatakan istimewa, dari penjelasan ini diharapkan semoga kita bersama dapat memahami bahwa ada daerah-daerah istimewa yang diakui dalam konstitusi tertinggi di Negara kita yang telah dirancang oleh para founding father yang tentunya sudah memikirkan masak-masak segala aspek historis, sosial budaya, dan suasana kebatinan politik saat itu. Kedua akan dijelaskan fakta yuridis penetapan Sultan sebagai gubernur selama ini dan ketiga tulisan ini menyoroti konsekuensi gubernur DIY pasca Amandemen UUD 1945 dan solusi pemecahannya. Tentunya tulisan ini, tidaklah bisa menjawab semua persolan tentang RUU DIY, tetapi paling tidak semoga tulisan ini semakin menambah referensi dan khazanah pemikiran kita untuk memahami keanekaragaman sejarah dan sosial budaya bangsa dan mencarikan jalan terbaik dan bermartabat dalam melahirkan UU DIY nantinya. Fakta Keistimewaan Yogyakarta Dasar adanya label keistimewaan yang diberikan kepada daerah Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, paling tidak dapat ditarik atas 3 fakta substansional yakni 1) Fakta dasar pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia, 2) Fakta Sejarah, dan 3) Fakta Sosial Politis. 1) Fakta Dasar Pembentukan Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan negara kesatuan. Sebagai sebuah negara, Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan UUD 1945 inilah kerangka kenegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia diatur. Salah satu yang diatur dalam UUD 1945 adalah tentang pengaturan wilayah Indonesia, mengingat wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis yang luas dan kondisi sosial budaya masyarakat yang beragam, UUD 1945 kemudian mengatur perlunya pemerintahan daerah, maka ketentuan ini diatur dalam pasal 18 UUD 1945, yang sebelum diamandemen berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” Inti pasal 18 tersebut adalah bahwa dalam Negara Indonesia harus ditata dengan adanya pemerintahan daerah. pemerintahan daerah tersebut terdiri atas besar dan kecil. Pemerintahan daerah yang dibentuk tersebut baik daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan dua hal: 1) dasar permusyawaratan, maksudnya pemerintah daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya adalah musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat (daerah), dan 2) hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, maksudnya pemerintah daerah yang dibentuk tidak boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah swapraja yang disebut zelfbesturende lanschappen dan dan kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, Nagari, Huta, Marga dan lainnya yang disebut volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen. Pengertian Daerah Swapraja (zelfbesturende lanschappen) Jauh sebelum kedatangan penjajahan kolonial ke Indonesia, di bumi nusantara telah banyak daerah-daerah otonom yang berbentuk kerajaan, begitu juga saat penjajahan Belanda di Indonesia masih banyak daerah-daerah otonom yang diperintah secara tidak langsung oleh Belanda. Daerah ini dibawah pemerintahan raja, sultan atau sebutan nama lainnya yang berdasarkan hukum adat daerah yang bersangkutan. Daerah-daerah ini sebelum ditundukkan oleh Belanda adalah Negara-Negara merdeka yang kemudian mengakui kedaulatan Belanda dengan kontrak panjang maupun kontrak pendek. Daerah itu yang kemudian disebut swapraja (zelfbesturende lanschappen). Contoh daerah swapraja adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Goa dan lainnya. Disamping daerah swapraja, Belanda juga mengakui adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat pribumi seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Kuria di Tapanuli, Marga di Sumatera Selatan, Kampung di Kalimantan Timur dan lainnya untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Kesatuan masyarakat hukum adat ini oleh Belanda disebut sebagai volksgemenschappen atau inlandsche gemeente. Semua daerah swapraja tersebut tetap eksis sampai dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah tersebut juga diakui sebagai daerah otonom dengan sebutan kooti. Hanya saja Jepang mengawasi kooti sangat ketat untuk melanggengkan kepentingan perang dan kekuasaannya. Daerah-daerah swapraja ini telah memiliki tatanan tersendiri dan keteraturan dalam tatacara mengatur sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem keamanan, dan sistem sosial budayanya. Semua berkembang secara sendiri, mandiri dan bertahan secara langgeng. Dua daerah inilah, swapraja dan kesatuan masyarakat hukum adat, oleh pasal 18 UUD 1945 disebut sebagai daerah yang mempunyai susunan asli dan dapat dibentuk sebagai daerah istimewa. Jadi atas dasar tersebut diataslah mengapa daerah-daerah tersebut diamanatkan sebagai daerah istimewa dalam konstitusi tertinggi dalam ketatanegaraan kita yakni dalam UUD 1945. 2) Fakta Sejarah Daerah Yogyakarta Fakta sejarah menunjukan bahwa Yogyakarta dalam perjanjian Gianti 1755 sebagai ”negara berdaulat” dengan wilayah territorial dan penduduk yang jelas. Status negara atau negeri tersebut diperkuat oleh dokumen sejarah seperti dalam Kontrak Politik antara Sri Sultan HB IX dengan Adam Lucean 1940, dan Perjanjian dengan pemerintahan Dai Nippon Jepang tahun 1942. Asal usul Keistimewaan Yogyakarta sebagaimana tercatat dalam tiga dokumen tersebut antara lain dapat dirunut dari pengakuan atas gelar keagamaan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono Ingalogo Khalifatullah Sayyidin Panotogomo. Adanya hak prioritas pemerintah Belanda terhadap Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualam. Adanya hak prioritas didasarkan pada hak asal-usul keturunan anak laki-laki dari isteri raja untuk dapat mengganti dan menduduki jabatan kepala daerah. Terakhir, hubungan kekuasaan antara Sri Sultan dengan kekuasaan pemerintahan adalah langsung kepada Gubernur General di Jakarta. 3) Fakta Sosio-Politis Daerah Yogyakarta Secara sosio-politis keberadaan keistimewaan Yogyakarta terus terpatri kuat setelah Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden RI mengeluarkan piagam yang menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada kedudukannya sebagai Kepala Kesultanan Yogyakarta, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : ”Kami Presiden Republik Indonesia, Menetapkan Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrachman Sajidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX, ing Ngayogyakarta Hadiningrat pada kedudukannya, dengan kepertjajaan, bahwa Sri Paduka Kandjeng Sultan akan mentjurahkan segala fikiran, tenaga djiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.” Namun sebelum Piagam Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945 diterima oleh Hamengku Buwono IX, pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arjo Paku Alam telah mengeluarkan amanat mengenai kedudukan daerahnya yang intinya bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia (Republik Indonesia, Daerah Istimewa Jogyakarta, 1953). Bukti sejarah dan nilai filosofis Keistimewaan juga dibuktikan melalui fungsi Kesultanan sebagai pemelihara (Hamangku), pemersatu (Hamengku) pelindung atau pengayom (Hamengkoni) dalam menyelamatkan NKRI dari ancaman agresi Belanda 1946 hingga 1949. Perpindahan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta menujukan bukti bahwa Sri Sultan HB IX tidak saja telah menjadi penyelamat dan pelindung NKRI. Tetapi, juga DIY merupakan tempat autentik NKRI karena pemberlakuan UUD 1945 di DIY tidak menerima kehadiran negara federalis, bentukan pemerintahan Belanda. Keberadaan sosio-politik lainnya, ditandai oleh adanya dualisme kepemimpinan di Yogyakarta. Di satu pihak, keberadaan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam sebagai sistem kepemimpinan kerajaan atau pemimpin komunitas adat dengan Kraton dan Puro Paku Alaman adalah tempat dimana kekuasaannya berada di tanah Jawi, didukung masyarakatnya (Kawulo Ngayogyakarto Hadiningrat), dengan pemberlakuan sistem hukum adat (Pepakem Ndalem), yang sejak dulu sampai sekarang masih berlaku effektif. Fakta Jurudis Penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur Fakta juridis konstitusional penetapan Sri Sultan sebagai gubernur oleh pemerintah pusat, dapat ditelusuri sejak adanya piagam penetapan Presiden RI tanggal 19 Agustus 1945 maupun Amanat Sri Sultan Ingkang Sunuwun Kandjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arjo Paku Alam tanggal 5 September 1945. Kemudian secara berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten, baik pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, dan juga Orde Reformasi. Pengaturan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tetang Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada dasarnya semua UU tersebut mengakui bahwa keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang”. Dari berbagai fakta di di atas, tidaklah berlebihan bila pengakuan keistimewaan dan penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur diberlakukan di Provinsi DIY. Kedudukan akan status keistimewaan DIY dalam NKRI tidak saja merupakan keniscayaan sejarah, dan konstitusi, melainkan juga fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung oleh masyarakat Yogyakarta khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Konsekuensi Gubernur DIY pasca Amandemen UUD 1945 Perjalanan sejarah Negara Indonesia dalam penataan pemerintahan daerah selanjutnya, sedikit mengalami goncangan mengingat UUD 1945 pasca amandemen sangat berbeda. Hasil amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) telah menegaskan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis.” Perubahan ini membawa dampak implikasi yuridis maupun politis terhadap proses demokrasi di Indonesia dimana jabatan publik seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota harus dilakukan pemilihan secara demokratis. Penegasan tersebut telah membuka jalan bagi masyarakat untuk melakukan tuntutan perubahan ke arah yang lebih demokratis dalam pengisian jabatan kepala daerahnya. Disinilah sebenarnya muncul pemasungan bagi akar permasalahan pemilihan model kepemimpinan DIY, dan argumentasi pemerintahpun akhirnya dapat diterima mengapa pemerintah dalam hal ini melalui Mendagri mengatakan opsi yang akan diambil adalah model pemilihan, karena argumennya diletakkan pada konstitusi tertinggi UUD 1945. Selanjutnya, apakah nantinya UU DIY dapat mengatur masalah pengisian gubernur dan wakil gubernur seperti yang selama ini berlangsung yakni melalui penetapan dan tidak melalui pemilihan ataukah mengikuti model pemilihan sebagaimana yang menjadi opsi pemerintah?. Solusi Model Kepemimpinan DIY Dari uraian diatas tampaklah benang merah permasalahannya, keistimewaan bagi DIY sepertinya sudah given siapapun tidak bisa menyangkalnya, yang menjadi persolan adalah pengaturan pasal tentang pemerintahan daerah pasca amandemen UUD 1945 yang melahirkan beberapa konsekuensi logis bagi aturan dibawahnya, terutama pada kalimat “dipilih secara demokratis” pada amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1). Karena itu solusinya tidak lain harus ada pemahaman kita bersama akan kata “dipilih secara demokratis” tersebut. Jika pemahaman tentang demokratis diartikan secara nilai dan substansional dari sebuah konsep demokrasi yakni demokratis dalam arti “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dan “kedaulatan berada ditangan rakyat” maka apapun aspirasi masyarakat Yogya tentang kepemimpinan daerahnya itulah yang harus diikuti. Untuk melihat aspirasi masyarakat DIY bisa dilihat dari dua sumber legalitas. Pertama melalui referendum untuk meminta masukan kepada rakyat DIY tentang model pemilihan kepemimpinan DIY apakah penetapan atau pemilihan, tentunya referendum juga membawa berbagai konsekuensi bagi keberadaan daerah lainnya di Indonesia maupun bagi kewibawaan pemerintah dan NKRI, sehingga referendum terlalu rentan untuk dilaksanakan. Kedua meminta masukan cukup melalui lembaga perwakilan rakyat yakni DPRD. Jika segenap elemen bangsa setuju dengan pemahaman kalimat “dipilih secara demokratis” seperti ini, maka hasil keputusan DPRD DIY tentang model kepemimpinan DIY apakah pemilihan atau penetapan sudah bisa dijadikan landasan legalitas untuk penentuan model kepemimpinan DIY dalam RUU DIY tidak perlu menunggu amandemen UUD 1945. Namun jika pemahaman kita tentang kalimat “dipilih secara demokratis”, diartikan dalam pemaknaan secara fisik dan lahiriah dalam UU, yang tentunya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah langsung ataupun pemilihan oleh DPRD, maka penentuan legalitas model kepemimpinan DIY harus melalui pemilihan, baik melalui pilkadasung atau melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD DIY. Tetapi sekiranya alternatif pemilihan ini tidak bisa diterima oleh lapisan masyarakat DIY dan menimbulkan resistensi yang tinggi bagi masyarakat DIY dan NKRI, maka jalannya tidak lain adalah harus menunggu Amandemen UUD 1945 selanjutnya. Tentunya penantian dan kepastian masyarakat Yogyakarta akan legalitas kepemimpinannya masih tersangkut dilorong amandemen UUD 1945. Karena itu, solusi terbaiknya tidak lain adalah kearifan seluruh pemimpin dan anak bangsa Indonesia untuk melihat persolan ini dengan jernih dengan meletakkan semangat NKRI dalam bingkai kemajemukan, kesejahteraan, kemaslahatan dan kebesaran bangsa Indonesia. Mari kita tunggu bersama.

Rabu, 28 September 2011

Lurah Se-Yogyakarta Kecewa Perpanjangan Masa Jabatan Gubernur

YOGYAKARTA--MICOM: Lurah Desa se-Daerah Istimewa Yogyakarta yang tergabung dalam Paguyuban Lurah Ismoyo mengaku kecewa terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, dalam menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta, pemerintah dianggap tidak ada langkah yang serius kecuali melakukan perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY saja selama satu tahun. Wakil Ketua Ismoyo, Bibit Rustamto, menyatakan kekecewaan tersebut karena keinginan dari elemen propenetapan adalah pemerintah langsung menetapkan jabatan gubernur DIY yang menjadi perjuangan mereka selama lebih dari 10 tahun. "Jelas kami sangat kecewa. Ini tidak sesuai dengan perjuangan kami," kata Bibit Rustamto, Rabu (28/9). Bibit menyatakan elemen propenetapan juga mempertanyakan landasan hukum pemerintah pusat dalam memperpanjang masa jabatan tersebut. Paguyuban Ismoyo mengadakan rapat terakhir yang keputusannya akan menggelar kongres rakyat yang terakhir. Kongres rakyat terakhir ini akan digelar pada Oktober. Soalnya, pada September ini, sidang rakyat gagal digelar. (AU/OL-5)

Sultan Anggap Perpanjangan Satu Tahun Untungkan Masyarakat

YOGYAKARTA--MICOM: Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diperpanjang selama satu tahun. Jabatan gubernur dan wakil Gubernur yang sekarang dipegang Sri SUltan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX akan berakhir 9 Oktober mendatang. Perpanjangan satu tahun, jelas Sri Sultan, sangat menguntungkan masyarakat. Pasalnya, mereka tidak akan perlu menunggu lama untuk mengetahui keputusan UU Keistimewaan DIY karena hanya satu tahun. "Dalam waktu satu tahun itu, mau tidak mau eksekutif dan legislatif harus menyelesaikan UU Keistimewaan," terangnya di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Rabu (28/9). (OL-8)

Rakyat Ragu RUU Keistimewaan Yogyakarta Selesai dalam Setahun

SLEMAN--MICOM: Paguyuban Dukuh se Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan perpanjangan masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY tidak menjamin pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta akan selesai. Ketua Paguyuban Dukuh se DIY Sukiman HS, Rabu (28/9) mengatakan, rakyat Yogyakarta sudah sangat pesimistis terhadap kinerja pemerintah pusat untuk bisa menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta itu. Karena, ujarnya, selama ini rakyat hanya diberi janji bahwa pemerintah akan serius dalam membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta itu. Namun pada kenyataannya tidak pernah selesai. Karena itu, ujarnya, jika Sri Sultan bisa menerima perpanjangan itu, Paguyuban Dukuh menilai sebagai hak pribadi Sri Sultan. Namun, rakyat juga berhak memberikan penilaian. Menurut Sukiman, seharusnya dalam perpanjangan itu, dicantumkan janji pemerintah pusat untuk menyelesaikan ANTARA/Noveradika Yogyakarta sesuai dengan kehendak rakyat banyak dan harus sudah menjadi undang undang sebelum masa jabatan perpanjangan itu habis. (AU/OL-9)

Tim Asistensi Beri Masukan Sultan Sebelum ke Jakarta

TRIBUNJOGJA.COM , YOGYA - Tim Asistensi RUUK DIY telah memberi masukan kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, terkait perpanjangan masa jabatannya. Selasa (27/9/2011) malam, pukul 20.00 WIB nanti, Sultan diundang ke Istana Negara Jakarta oleh Presiden SBY terkait hal tersebut. Anggota Tim Asistensi RUUK DIY, Achiel Suyanto, mengatakan, Tim Asistensi telah memberi masukan kepada Sultan agar menolak jika SBY menawarkan perpanjangan masa jabatan dua tahun. "Kami meminta Ngarsa Dalem untuk menolak jika SBY memberi perpanjangan jabatan selama dua tahun. Alasannya, sebelumnya Sultan sudah diperpanjang tiga tahun, jika diperpanjang dua tahun lagi, sama saja lima tahun, sama dengan periode gubernur di daerah lain. Itu namanya pelecehan," jelasnya. Menurut Achiel, ada dua opsi yang disampaikan ke Sultan jika SBY mengajukan pertanyaan terkait masa jabatan gubernur DIY. Pertama, menerima perpanjangan setahun dengan syarat pembahasan RUUK DIY segera diselesaikan. "Sekaligus melaksanakan poin-poin hasil pembahasan RUUK DIY selama setahun masa perpanjangan masa jabatannya tersebut," jelasnya. Kedua, lanjut Achiel, menerima perpanjangan masa jabatan tanpa batas waktu. Artinya, perpanjangan berakhir hingga RUUK DIY disahkan. "Selain dua opsi tersebut, kami meminta kepada Ngarsa Dalem untuk menolak," jelasnya. Sejatinya, Sultan diundang SBY pada 23 September 2011 lalu. Namun, karena SBY ada acara mendadak di Jambi, jadwal diundur pada 25 September 2011. "Sultan menolak pengunduran jadwal pada 25 September 2011, karena bertepatan dengan Pilkada Yogyakarta 2011. Akhirnya pertemuan disepakati Selasa (27/9/2011) malam," terang Achiel. (*)

Pemprov DIY Akan Kawal Pembahasan RUUK

TRIBUNJOGJA.COM , YOGYA - Plt Sekda DIY, Ichsanuri, mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemrpov) DIY akan mengawal pembahasan RUUK DIY oleh pemerintah pusat dan DPR RI, yang akan berlangsung 29 September mendatang. "Kami akan mengirimkan tim asistensi untuk memantau setiap poin RUUK DIY yang dibahas oleh pemerintah pusat dan DPR RI," ujarnya, Selasa (26/9/2011). Terpisah, Ketua Fraksi PKB DPRD DIY, Sukamto, menyatakan, kontoversi wacana perpanjangan masa jabatan gubernur DIY oleh pemerintah pusat bisa dianggap sebagai kekalahan bagi DIY. "Menerima perpanjangan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY tidak sejalan dengan keputusan politik DPRD DIY dan DPRD di empat kabupaten dan satu kotamadya di DIY," tegasnya. Sukamto melanjutkan, bila Sultan menerima perpanjangan yang kali ketiga, sama saja menyakiti hati rakyat DIY. "Kami dan seluruh masyarakat DIY tidak ingin perpanjangan, tapi penetapan," jelasnya. Sementara itu, Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana, mengharapkan, pembahasan RUUK DIY segera diselesaikan sesuai. Diharapkan pula, Pemerintah DIY melalui tim asistensi senantiasa memberikan detail perkembangan hasil pembahasan RUUK DIY. "Hal tersebut untuk kepentingan informasi masyarakat. Eksekutif harus jelas dalam bekerja, jangan terkesan menunggu," kata Yoeke. (*)

Perpanjangan Masa Jabatan Sultan Sebelum 8 Oktober

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi menjelaskan, Keppres perpanjangan masa jabatan Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, bakal diterbitkan sebelum 8 Oktober 2011. Diharapkan Undang-Undang Keistimewaan DIY selesai dalam satu tahun. "Andaikata undang-undang selesai, dalam draf-nya, kami sudah mencantumkan masa persiapan dua tahun," ujarnya, seusai menemani Sultan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Selasa (27/9/2011) malam.. Masa persiapan dua tahun dimaksudkan, untuk memberi ruang bagi pembuatan perangkat peraturan pendukung undang-undang, seperti peraturan pemerintah. Setelah masa perpanjangan satu tahun habis, masa jabatan Gubernur DI Yogyakarta akan diperpanjang dua tahun, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Perpanjangan dua tahun ini dilakukan tidak lagi berdasarkan Keppres, melainkan undang-undang. (*)

Sultan Sepakat Perpanjangan Masa Jabatan Setahun

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/9/2011) malam. Usai pertemuan Sultan menyatakan sepakat perpanjangan masa jabatan esbagai gubernur untuk satu tahun ke depan. "Jadi begini. Kita coba diskusi dengan Presiden dan menteri. Di mana RUU Keisimewaan Yogyakarta belum selesai. Jabatan gubernur belum selesai sehingga saya sepakat untuk menerima perpanjangan jabatan tetapi tidak dua tahun tetapi satu tahun," kata Sultan seusai bertemu Presiden SBY dan Mendagri Gamawan Fauzi . Sultan menegaskan perpanjangan jabatan setahun diharapkan ada pemahaman pada publik bahwa antara DPR dengan eksekutif memiliki kemauan kuat untuk menyelesaikan RUU DIY secepat mungkin. "Jadi saya bersedia satu tahun (diperpanjang)," kata Mendagri. Sultan mengatakan dalam perpanjangan masa jabatan setahun itu diharap selesai dibahas di DPR dan dijadikan Undang-undang. "Bagi saya yang penting RUU DIY selesai. Jangan dua tahun atau tiga tahun supaya publik melihat ada keseriusan," kata Sultan. Oleh karena itu, Sultan meminta DPR dan pemerintah bekerja keras untuk menyelesaikan RUU DIY dalam setahun. (*)

Sultan Sepakat Tetap Gubernur Setahun Lagi Hasil Pertemuan dengan SBY dan Mendagri Tadi Malam

JAKARTA - Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X bakal kembali diperpanjang hingga satu tahun ke depan. Hal itu terkait dengan pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta yang belum rampung di DPR hingga berakhirnya masa jabatan Sultan sebagai gubernur pada 8 Oktober mendatang. Kesepakatan itu dicapai setelah dilakukan pertemuan antara Sultan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Gamawan Fauzi di Istana Kepresidenan, tadi malam. "Saya sepakat untuk menerima perpanjangan tetapi satu tahun," kata Sultan usai pertemuan. Sultan menjelaskan alasan perpanjangan tersebut tidak selama dua tahun seperti yang selama ini banyak beredar. Menurutnya, disepakatinya perpanjangan satu tahun itu agar ada pemahaman kepada publik bahwa antara DPR dan eksekutif (pemerintah) memiliki kemauan untuk menyelesaikan RUUK Jogjakarta itu secepat mungkin. Sehingga diharapkan, pembahasannya akan rampung dalam waktu satu tahun. "Dasarnya kan untuk menyelesaikan itu. Makanya saya hanya bersedia dalam waktu satu tahun," tuturnya. Menurutnya, hal itu akan memengaruhi psikologi politis eksekutif maupun legislatif untuk mempercepat proses penyelesaian RUU Keistimewaan Jogjakarta. Sultan enggan berandai-andai bakal kembali menjadi gubernur Jogja jika pembahasan RUUK tersebut rampung. Menurutnya, yang penting saat ini adalah RUUK itu bisa segera selesai dalam waktu satu tahun. Dia menegaskan akan menerima hasil pembahasan RUUK Jogjakarta di DPR. "Ya otomatis, wong itu keputusan lembaga legislasi nasional kok. Kita lihat nanti (keputusannnya)," kata suami Gusti Kanjeng Ratu Hemas itu. Mendagri Gamawan mengungkapkan, pertemuan Presiden SBY dengan Sultan berlangsung dalam suasana penuh keakraban dan kekeluargaan. Kesepakatan pun akhirnya bisa diambil. "Presiden segera mengeluarkan surat keputusan perpanjangan masa jabatan Sultan (sebagai gubernur)," kata Gamawan. Dia mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut, presiden tidak memberikan tawaran berapa tahun perpanjangan masa jabatan Sultan sebagai gubernur. "Sultan yang menyampaikan sebaiknya satu tahun supaya undang-undang segera diselesaikan," ucap Gamawan. Mantan Gubernur Sumbar itu mengungkapkan, dalam undang-undang nanti sudah dibuatkan draft untuk masa persiapan pelaksanaannya. Misalnya dilahirkan PP dan Perda. "(Kalau) undang-undang sudah diketok dalam satu tahun ini, kemudian nanti ada ruang untuk masa perpanjangan untuk menyiapkan PP dan Perda," urainya. Terkait dengan penetapan atau pemilihan dalam menetapkan gubernur DI Jogjakarta, Gamawan mengatakan tidak menggunakan dua istilah tersebut. "Tetapi mekanisme yang kita atur dalam RUU itu. Ada mekanismenya," katanya. Sebelumnya diberitakan, DPR dan Pemerintah menyepakati salah satu pasal krusial terkait tata cara pengisian jabatan Gubernur Jogja. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat Gubernur Jogja dipilih melalui penetapan (Jawa Pos, 22/9). Undang-undang akan mengatur Sri Sultan dan Paku Alam yang sedang menjabat sekarang akan langsung ditetapkan selama lima tahun. Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi tertutup selama sekitar satu jam, antara Komisi II DPR RI dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Dalam Negeri. Lobi tertutup itu khusus membahas pasal terkait pengisian jabatan gubernur. Sementara masih ada poin terkait penamaan istilah gubernur dan pasal terkait pertanahan yang akan dibahas di lain waktu. (fal)

RUU Keistimewaan Jogjakarta Lobi Tertutup, Sultan Disepakati Dipilih Dengan Penetapan

JAKARTA - Polemik Revisi Undang Undang Keistimewaan Jogjakarta nampaknya segera berakhir. DPR RI dan Pemerintah akhirnya menyepakati salah satu pasal krusial terkait tata cara pengisian jabatan Gubernur Jogja. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat Gubernur Jogja dipilih melalui penetapan. "Undang Undang ini akan mengatur Sri Sultan dan Paku Alam yang sedang menjabat sekarang akan langsung ditetapkan selama lima tahun. Pemerintah dan DPR sudah clear soal itu," ujar Abdul Hakam Naja, Wakil Ketua Komisi II DPR RI di gedung parlemen, Jakarta, Rabu (21/9). Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi tertutup selama sekitar satu jam, antara Komisi II DPR RI dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Dalam Negeri. Menurut Hakam, lobi tertutup kemarin khusus membahas pasal terkait pengisian jabatan gubernur. Masih ada poin terkait penamaan istilah gubernur dan pasal terkait pertanahan yang akan dibahas di lain waktu. Dalam hal penetapan gubernur, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa hal itu dilakukan melalui DPRD provinsi. Secara teknis, DPRD hanya akan menetapkan pasangan gubernur dan wakil gubernur berdasarkan aspirasi yang ada di masyarakat. Saat ini, mayoritas masyarakat Jogja menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. "Kalau ternyata yang diinginkan adalah Sultan dan Paku Alam, maka itu yang ditetapkan DPRD," ujarnya. Dengan pasal penetapan itu, bukan berarti dibuka peluang adanya pemilihan di tingkat elit. Hakam menyatakan, ketentua RUUK Jogja nanti hanya memperbolehkan satu pasangan gubernur dan wakil gubernur untuk ditetapkan. Bagaimana jika terdapat dua pasangan dari masyarakat? Hakam menyatakan, RUUK Jogja sudah mengantisipasi itu. Kemendagri dan Komisi II DPR sepakat jika ada dua atau lebih pasangan yang diusulkan masyarakat, maka mekanisme akan dikembalikan ke aturan paugeran. "Dari keraton muncul satu pasang, disetujui fraksi-fraksi kemudian ditetapkan. Ini supaya tidak ada konflik di keraton, biar mekanisme internal yang menyelesaikan," imbuhnya. Meski mekanisme pengisian jabatan sudah ditetapkan, masih ada perbedaan tentang siapa pihak yang berhak mengisi jabatan gubernur Jogja. Komisi II DPR RI berpandangan bahwa yang dicalonkan adalah mereka yang berasal dari keraton. Sementara Kemendagri menilai, unsur keraton dan juga unsur masyarakat bisa maju sebagai calon gubernur untuk ditetapkan. "Ini masih diperbincangkan," jelasnya. Hakam menambahkan, RUUK Jogja ini nantinya tidak bisa langsung diberlakukan. Menurut dia, RUUK Jogja baru akan berlaku tujuh tahun setelah aturan ini ditetapkan. Ini karena, setelah RUUK Jogja sah menjadi UU, Sri Sultan dan Paku Alam akan langsung ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur selama tujuh tahun kepemimpinan. Angka tujuh tahun itu, jelas dia dibagi dalam masa transisi yang ditetapkan selama dua tahun, dan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun. "Sehingga kalau dihitung, Sultan akan ditetapkan tujuh tahun ke depan sebagai Gubernur," tandasnya.(bay)

Sultan Sepakat Tetap Gubernur Setahun Lagi Hasil Pertemuan dengan SBY dan Mendagri Tadi Malam

JAKARTA - Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X bakal kembali diperpanjang hingga satu tahun ke depan. Hal itu terkait dengan pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta yang belum rampung di DPR hingga berakhirnya masa jabatan Sultan sebagai gubernur pada 8 Oktober mendatang. Kesepakatan itu dicapai setelah dilakukan pertemuan antara Sultan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Gamawan Fauzi di Istana Kepresidenan, tadi malam. "Saya sepakat untuk menerima perpanjangan tetapi satu tahun," kata Sultan usai pertemuan. Sultan menjelaskan alasan perpanjangan tersebut tidak selama dua tahun seperti yang selama ini banyak beredar. Menurutnya, disepakatinya perpanjangan satu tahun itu agar ada pemahaman kepada publik bahwa antara DPR dan eksekutif (pemerintah) memiliki kemauan untuk menyelesaikan RUUK Jogjakarta itu secepat mungkin. Sehingga diharapkan, pembahasannya akan rampung dalam waktu satu tahun. "Dasarnya kan untuk menyelesaikan itu. Makanya saya hanya bersedia dalam waktu satu tahun," tuturnya. Menurutnya, hal itu akan memengaruhi psikologi politis eksekutif maupun legislatif untuk mempercepat proses penyelesaian RUU Keistimewaan Jogjakarta. Sultan enggan berandai-andai bakal kembali menjadi gubernur Jogja jika pembahasan RUUK tersebut rampung. Menurutnya, yang penting saat ini adalah RUUK itu bisa segera selesai dalam waktu satu tahun. Dia menegaskan akan menerima hasil pembahasan RUUK Jogjakarta di DPR. "Ya otomatis, wong itu keputusan lembaga legislasi nasional kok. Kita lihat nanti (keputusannnya)," kata suami Gusti Kanjeng Ratu Hemas itu. Mendagri Gamawan mengungkapkan, pertemuan Presiden SBY dengan Sultan berlangsung dalam suasana penuh keakraban dan kekeluargaan. Kesepakatan pun akhirnya bisa diambil. "Presiden segera mengeluarkan surat keputusan perpanjangan masa jabatan Sultan (sebagai gubernur)," kata Gamawan. Dia mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut, presiden tidak memberikan tawaran berapa tahun perpanjangan masa jabatan Sultan sebagai gubernur. "Sultan yang menyampaikan sebaiknya satu tahun supaya undang-undang segera diselesaikan," ucap Gamawan. Mantan Gubernur Sumbar itu mengungkapkan, dalam undang-undang nanti sudah dibuatkan draft untuk masa persiapan pelaksanaannya. Misalnya dilahirkan PP dan Perda. "(Kalau) undang-undang sudah diketok dalam satu tahun ini, kemudian nanti ada ruang untuk masa perpanjangan untuk menyiapkan PP dan Perda," urainya. Terkait dengan penetapan atau pemilihan dalam menetapkan gubernur DI Jogjakarta, Gamawan mengatakan tidak menggunakan dua istilah tersebut. "Tetapi mekanisme yang kita atur dalam RUU itu. Ada mekanismenya," katanya. Sebelumnya diberitakan, DPR dan Pemerintah menyepakati salah satu pasal krusial terkait tata cara pengisian jabatan Gubernur Jogja. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat Gubernur Jogja dipilih melalui penetapan (Jawa Pos, 22/9). Undang-undang akan mengatur Sri Sultan dan Paku Alam yang sedang menjabat sekarang akan langsung ditetapkan selama lima tahun. Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi tertutup selama sekitar satu jam, antara Komisi II DPR RI dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Dalam Negeri. Lobi tertutup itu khusus membahas pasal terkait pengisian jabatan gubernur. Sementara masih ada poin terkait penamaan istilah gubernur dan pasal terkait pertanahan yang akan dibahas di lain waktu. (fal)

Mendagri Siapkan 3 Opsi Bagi Sultan Setelah Jabatan Sebagai Gubernur DIY Berakhir pada 9 Oktober 2011

JAKARTA - Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X telah mengirim surat ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi perihal bakal berakhirnya jabatan Raja Jogja itu di kursi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 9 Oktober mendatang. Pemerintah pun telah menyiapkan tiga opsi bagi masa jabatan Sultan HB X dan Sri Pakualam di kursi Gubernur dan Wagub DIY. Mendagri menyatakan bahwa Sultan HB X memang tidak meminta perpanjangan masa jabatan sebagai Gubernur DIY. "Sultan tidak meminta seperti itu, tapi memberitahukan melalui surat bahwa masa perpanjangannya habis 9 Oktober," ujar Mendagri di Jakarta, Selasa (27/9). Mendagri mengaku tengah menyiapkan opsi terbaik. Untuk itu Mendagri telah berbicara melalui sambungan telpon dengan Sultan. "Tadi malam saya kontak-kontakan dengan sultan. Dalam suasana cair dan fine-fine saja," ungkapnya. Sementara juru bicara Kemendagri, Reydonnizar Moenek, menjelaskan, Kemendagri telah mengajukan tiga opsi terkait perpanjangan jabatan Sri Sultan HB X. Opsi pertama, masa jabatan Sultan HB X dan Pakualam sebagai Gubernur dan Wagub DIY akan diperpanjang hingga UU Keistimewaan Jogja resmi diundangkan. Opsi kedua, kata birokrat yang akrab disapa dengan nama Dony itu, masa jabatan Sultan dan Pakualam diperpanjang hingga lima tahun. "Opsi ini sebagai masa transisi. Setelah 2016, pengisiannya diseusiakan dengan UUK DIY," sebut Dony. Sedangkan sesuai opsi ketiga, masa jabatan Sultan diperpanjang tanpa batasan. Artinya, kata Dony, jabatan Sultan sebagai gubernur baru berakhir jika berhalangan tetap. Namun demikian Dony menegaskan bahwa belum ada opsi yang dipilih karena semua diserahkan ke Presiden. "Nanti diatur dengan Keppres tentang perpanjangan masa jabatan gubenur dan wakil gubernur DIY. Dengan tiga alternatif muatan yang akan diatur dalam substansi Keppres dimaksud, semua bergantung sesuai wewenang dan keputusan presiden," tandas Dony. Seperti diketahui, sebelumnya masa jabatan Sultan berakhir pada 9 Oktober 2008. Namun Presiden SBY mengeluarkan Keppres 86/P/2008 yang memperpanjangan jabatan Sultan sebagai Gubernur DIY hingga 9 Oktober 2011 ini. Keppres yang dikeluarkan SBY itu merupakan Keppres kedua tentang perpanjangan masa jabatan Sultan. Pada 2003, Presiden Megawati juga pernah mengeluarkan Keppres 179/M/2003 yang memperpanjang jabatan Sultan sebagai Gubernur DIY hingga 9 oktober 2008. Sementara mengutip ketentuan Pasal 91 B UU Nomor 5 Tahun 1974, pasal 122 UU Nomor 22 Tahun 1999, dan Pasal 226 Ayat 2 UU 32 Tahun 2004, Dony menegaskan bahwa jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY memang tak terikat dengan masa jabatan maupun persyaratan seperti ketentuan yang berlaku daerah lain. Karenanya, kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan wewenang presiden. "Artinya, dengan pemberitahuan itu, Mendagri mengajukan usul perpanjangan Sri Sultan kepada Presiden," pungkasnya.(ara/jpnn)

Sultan Sepakat Tetap Gubernur Setahun Lagi Hasil Pertemuan dengan SBY dan Mendagri Tadi Malam

JAKARTA - Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X bakal kembali diperpanjang hingga satu tahun ke depan. Hal itu terkait dengan pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta yang belum rampung di DPR hingga berakhirnya masa jabatan Sultan sebagai gubernur pada 8 Oktober mendatang. Kesepakatan itu dicapai setelah dilakukan pertemuan antara Sultan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Gamawan Fauzi di Istana Kepresidenan, tadi malam. "Saya sepakat untuk menerima perpanjangan tetapi satu tahun," kata Sultan usai pertemuan. Sultan menjelaskan alasan perpanjangan tersebut tidak selama dua tahun seperti yang selama ini banyak beredar. Menurutnya, disepakatinya perpanjangan satu tahun itu agar ada pemahaman kepada publik bahwa antara DPR dan eksekutif (pemerintah) memiliki kemauan untuk menyelesaikan RUUK Jogjakarta itu secepat mungkin. Sehingga diharapkan, pembahasannya akan rampung dalam waktu satu tahun. "Dasarnya kan untuk menyelesaikan itu. Makanya saya hanya bersedia dalam waktu satu tahun," tuturnya. Menurutnya, hal itu akan memengaruhi psikologi politis eksekutif maupun legislatif untuk mempercepat proses penyelesaian RUU Keistimewaan Jogjakarta. Sultan enggan berandai-andai bakal kembali menjadi gubernur Jogja jika pembahasan RUUK tersebut rampung. Menurutnya, yang penting saat ini adalah RUUK itu bisa segera selesai dalam waktu satu tahun. Dia menegaskan akan menerima hasil pembahasan RUUK Jogjakarta di DPR. "Ya otomatis, wong itu keputusan lembaga legislasi nasional kok. Kita lihat nanti (keputusannnya)," kata suami Gusti Kanjeng Ratu Hemas itu. Mendagri Gamawan mengungkapkan, pertemuan Presiden SBY dengan Sultan berlangsung dalam suasana penuh keakraban dan kekeluargaan. Kesepakatan pun akhirnya bisa diambil. "Presiden segera mengeluarkan surat keputusan perpanjangan masa jabatan Sultan (sebagai gubernur)," kata Gamawan. Dia mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut, presiden tidak memberikan tawaran berapa tahun perpanjangan masa jabatan Sultan sebagai gubernur. "Sultan yang menyampaikan sebaiknya satu tahun supaya undang-undang segera diselesaikan," ucap Gamawan. Mantan Gubernur Sumbar itu mengungkapkan, dalam undang-undang nanti sudah dibuatkan draft untuk masa persiapan pelaksanaannya. Misalnya dilahirkan PP dan Perda. "(Kalau) undang-undang sudah diketok dalam satu tahun ini, kemudian nanti ada ruang untuk masa perpanjangan untuk menyiapkan PP dan Perda," urainya. Terkait dengan penetapan atau pemilihan dalam menetapkan gubernur DI Jogjakarta, Gamawan mengatakan tidak menggunakan dua istilah tersebut. "Tetapi mekanisme yang kita atur dalam RUU itu. Ada mekanismenya," katanya. Sebelumnya diberitakan, DPR dan Pemerintah menyepakati salah satu pasal krusial terkait tata cara pengisian jabatan Gubernur Jogja. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat Gubernur Jogja dipilih melalui penetapan (Jawa Pos, 22/9). Undang-undang akan mengatur Sri Sultan dan Paku Alam yang sedang menjabat sekarang akan langsung ditetapkan selama lima tahun. Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi tertutup selama sekitar satu jam, antara Komisi II DPR RI dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Dalam Negeri. Lobi tertutup itu khusus membahas pasal terkait pengisian jabatan gubernur. Sementara masih ada poin terkait penamaan istilah gubernur dan pasal terkait pertanahan yang akan dibahas di lain waktu. (fal)

Sultan HB X: Saya Tak Pernah Minta Perpanjangan

AKARTA, KOMPAS.com — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X di Jakarta, Senin (26/9/2011) menjelang tengah malam, menegaskan, ia tidak pernah mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk meminta perpanjangan masa jabatannya selama dua atau tiga tahun. Masa jabatannya sebagai Gubernur DIY akan berakhir pada 9 Oktober 2011 sehingga ia mengirimkan surat kepada Mendagri untuk memberitahukan akan berakhirnya masa jabatannya itu. "Namun, tidak ada permintaan perpanjangan masa jabatan saya, seperti dikatakan Mendagri. Ora ilok (tidak pantas), orang kok meminta jabatan," kata Sultan HB X kepada Kompas. Sebelumnya diberitakan, Mendagri sudah mengirimkan surat usulan perpanjangan masa jabatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Usulan perpanjangan masa jabatan itu selama dua tahun yang, menurut Mendagri, seperti disampaikan pula oleh Sultan HB X. "Itu bohong," tegas Sultan HB X, menanggapi keterangan Mendagri. Sultan HB X menandaskan, ia tidak pernah dan tidak akan pernah meminta-minta jabatan, termasuk mengusulkan perpanjangan masa jabatannya. Secara terpisah, anggota Tim Asistensi Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY dari Pemerintah Provinsi DIY, Achiel Suyanto, menambahkan, Mendagri harus mengklarifikasi pernyataannya bahwa Sultan HB X mengusulkan perpanjangan masa jabatannya sebagai Gubernur DIY selama dua atau tiga tahun. Sebab, Sultan HB X tak pernah mengajukannya. Pernyataan itu menyakiti hati rakyat DIY yang mendukung Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Presiden Hari Ini Panggil Sultan HB X

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diagendakan pada Selasa (27/9/2011) malam ini akan bertemu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di Istana Kepresidenan, Jakarta. Sultan HB X dipanggil Presiden diperkirakan untuk membahas masa jabatannya sebagai Gubernur DIY yang akan berakhir pada 9 Oktober 2011 ini. Anggota Tim Asisten Pemerintah Provinsi DIY untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keistimewaan DIY, Achiel Suyanto, di Jakarta, Selasa, menjelaskan, pertemuan Presiden dengan Sultan HB X hari ini adalah pertemuan yang tertunda. "Presiden sebenarnya mengundang Sultan untuk bertemu pada 23 Mei, tetapi ditunda karena Presiden ke luar kota," katanya. Pertemuan ditunda pada 25 September 2011. Namun, karena di Kota Yogyakarta ada pemilihan kepala daerah, Sultan HB X tidak mungkin ke Jakarta sehingga Presiden mengundang kembali untuk bertemu pada 27 September ini. "Namun, Sultan tidak pernah meminta perpanjangan masa jabatan sebagai gubernur. Apalagi, meminta perpanjangan hingga dua tahun seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri. Dengan pernyataannya, Mendagri melakukan pembohongan publik," kata Achiel lagi. Menurut Achiel, Sultan pernah menolak diperpanjang masa jabatannya selama satu periode, lima tahun. Karena itu, pemerintah tahun 2008 memperpanjang masa jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY selama tiga tahun. "Jika Sultan meminta perpanjangan masa jabatannya selama dua tahun, seperti dikatakan Mendagri, berarti kan tidak konsisten. Sultan tak pernah meminta-minta jabatan," ujarnya. Senin malam, Sultan HB X kepada Kompas memastikan, ia tak pernah mengirimkan surat meminta perpanjangan masa jabatannya sebagai gubernur kepada Mendagri.
 JAKARTA, KOMPAS.com — Sultan Hamengku Buwono X menerima perpanjangan masa jabatannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta selama satu tahun. Perpanjangan ini disebabkan belum tuntasnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masa jabatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY saat ini semestinya berakhir pada 9 Oktober 2011. Namun, karena terkendala pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY), masa jabatan itu diperpanjang. "Saya menerima perpanjangan ini," kata Sultan kepada para wartawan seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (27/9/2011). Sultan menyerahkan proses pembahasan RUUK DIY tersebut kepada DPR. Ia berharap Komisi II DPR dapat segera menuntaskan pembahasannya dalam waktu satu tahun. Masa perpanjangan selama satu tahun juga akan digunakan untuk memberikan pemahaman kepada publik, termasuk masyarakat Yogyakarta, terhadap keberadaan undang-undang tersebut. Ketika ditanya apakah akan menerima RUUK yang dibahas DPR, Sultan mengatakan, "Ya otomatis, wong itu keputusan lembaga legislasi nasional, kok," kata Sultan. Saat ini ada beberapa permasalahan krusial yang belum disepakati perwakilan DPR dan pemerintah. Salah satu permasalahan yang belum disepakati adalah mengenai mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta posisi sultan dalam struktur pemerintahan daerah istimewa. Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara demokratis sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sultan Hamengku Buwono diposisikan sebagai gubernur utama yang posisinya di atas kepala daerah. Adapun mayoritas fraksi di DPR menginginkan sultan langsung ditetapkan sebagai kepala daerah.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX Warning Pemerintah

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Golkar, Nurul Arifin mengungkap, persetujuan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengukubowono IX sebenarnya memperpanjang masa jabatan satu tahun adalah sebuah warning, peringatan agar pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta serius untuk dilanjutkan. Nurul menegaskan, dua fraksi di DPR, PAN dan Demokrat yang masih kukuh, menolak Gubernur DIY dipilih dengan ditetapkan. Nurul, kepada tribun, Rabu (28/09/2011) mengungkapkan, jika kepentingan untuk menyelesaikan UU DIY menjadi keingingan bersama, maka waktu satu tahun itu cukup. Karena hanya tiga point yang belum sepakat terkait RUU ini. Yaitu, soal penetapan, tanah dan keikut sertaan rakyat dalam prosesnya. "Masalahnya, adalah hasrat untuk penetapan, tidak menjadi keinginan bersama itu. Dan justru, tersanderanya RUU ini ya di klausul ini. Hanya dua fraksi yg setuju pemilihan, PAN dan Demokrat. Yang lain, maunya penetapan kok, seluruh fraksi, minus dua fraksi itu tadi," Nurul menegaskan. ‎​Nurul kemudian meminta kepada rakyat Yogyakarta untuk bersabar dulu, sampai ujung pembahasan RUUK DIY ini selesai. "Dan buat saya statement Sri Sultan itu, sudah bentuk peringatan. Beliau setuju perpanjangan satu tahun, tapi setelah itu UU selesai. Kalo tidak juga, maka, jreng," Nurul menandaskan.

Senin, 05 September 2011

Tiga Spirit Yang Harus Dijaga Rakyat DIY;Sultan Tak Ingin Selamanya Gubernur

YOGYA (KR) - Sri Sultan HB X menyatakan tidak ingin selamanya menjadi Gubernur. Karena Sultan adalah manusia biasa yang semakin bertambah tua, kemampuannya juga makin menurun. Kalau tetap menjadi gubernur Sultan khawatir justru akan merugikan masyarakat. Hal itu dikatakan Sultan usai pembacaan Amanat Rakyat DIY dalam open house sekaligus peringatan 66 tahun Amanat 5 September di Pagelaran Kraton, Senin (5/9). Dalam amanat yang dibacakan Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana itu rakyat DIY menetapkan Sultan HB sebagai Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keduanya diberi kekuasaan untuk memimpin rakyat DIY sebagai bagian dari NKRI tanpa batas waktu masa jabatan. * Bersambung hal 7 kol 4 ”Bagi saya amanat warga Yogya adalah sesuatu yang harus saya emban bersama Paku Alam. Ini sesuatu amanat yang sangat berat dan luar biasa. Namun bagaimanapun saya tetap manusia biasa. Kami berdua tahu diri kapan harus maju dan kapan harus mundur. Karena makin tua kan kemampuan makin turun. Kalau terus bertahan saat kemampuan menurun, saya tidak mungkin bicara perubahan dan kemajuan lagi dan itu akan merugikan masyarakat Yogya,” tutur Sultan. Ditengah pembahasan RUUK yang belum mendapat kepastian, Sultan mengingatkan masyarakat agar bersabar. ”RUUK DIY belum bisa diselesaikan dengan baik oleh pemimpin bangsa. Meski peristiwa ini menggugah kesadaran kita bersama, saya mohon kita semua sabar, melihat keadaan,” ujarnya. Sultan mengingatkan bahwa bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian RI tidak hanya menyangkut penetapan, perjuangan masyarakat Yogya dalam mempertahankan RI dan Yogya sebagai ibukota RI. Melalui Amanat 5 September 1945, Sultan HB IX dan PA VIII meletakkan pondasi yang menjadi jatidiri masyarakat Yogyakarta. ”Ada tiga spirit yang ditanamkan HB IX dan PA VIII dan harus dijaga masyarakat Yogya, yaitu jiwa Merah Putih, kepribadian Pancasila dan watak Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya. Raja Kraton Yogya itu menambahkan, dalam pembentukan RUUK dibutuhkan konsistensi sikap dari masyarakat, DPRD dan para pimpinan daerah. ”Diharapkan itu mewarnai pembentukan RUUK,” kata Sultan yang menilai Amanat Rakyat Yogya sebagai suatu pernyataan publik yang diwakili bupati/walikota dan DPRD yang dikemas dalam konteks budaya. Amanat Rakyat DIY yang ditandatangani ketua DPRD DIY dan ketua DPRD kabupaten/kota, walikota/bupati se-DIY itu selanjutnya akan disampaikan kepada Presiden dan Komisi II DPR RI. Namun Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana berpendapat, tidak perlu ada tindak lanjut formal pengiriman delegasi untuk menyampaikan dokumen Amanat Rakyat DIY ke Pusat. ”Ini acara budaya yang gaungnya lebih besar dibandingkan segala bentuk formalitas. Gaung ini akan sampai ke pusat dan diharapkan akan memberi warna dalam pembahasan RUUK DIY di DPR RI,” katanya. Terkait penyelesaian RUUK DIY, Yoeke memperkirakan hampir pasti akan ada lagi perpanjangan masa jabatan Sultan sebagai gubernur DIY. Masa perpanjangan saat ini akan berakhir Oktober 2011. ”Waktu perpanjangan habis sebulan lagi, sementara Panja Komisi II DPR RI belum ada keputusan. Kalau menghitung tata kala, hampir pasti masa jabatan Sultan akan diperpanjang lagi,” terangnya. Seandainya RUUK ditetapkan saat ini pun, lanjut Yoeke, tetap akan ada perpanjangan jabatan gubernur. Pasalnya, implementasi UUK DIY membutuhkan serangkaian peraturan seperti Peraturan Pemerintah dan Perda. ”Pembahasan Perda butuh waktu lama, sekitar 7-8 bulan dalam situasi normal. Kalau dipaksakan percepatan pun, pembahasan tidak mungkin selesai satu bulan,” jelasnya. Pemerhati sejarah DIY dari UGM, Prof Dr Soetaryo menyatakan, pidato Sultan bukan hanya ditujukan bagi masyarakat Yogya, namun intinya adalah gerakan untuk menyelamatkan RI saat ini, gerakan untuk mencerahkan bangsa. ”Ini gerakan dari Yogya untuk Indonesia. Sultan mengingatkan agar bangsa ini termasuk pemimpinnya untuk kembali ke jiwa Merah Putih, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, jika ingin Indonesia tercerahkan,” katanya. (Ast/Bro)-b

Sabtu, 27 Agustus 2011

Kongres Rakyat Jogja

katur dumateng rakyat jogja sak ngayogyakarta hadiningrat, sak nuswantara, ing pundi kemawon, nyuwun kawigatosan lan rawuhipun wonten ing Adicara Pengetan 66 taun AMANAT 5 September 1945 kaliyan sawalan, mampan ing PAGELARAN KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT mbenjang senin 5 sasi september taun 2011 jam 09.00 dumugi 11.00 waktu indonesia jogja.

Ingkang Kagungan Damel Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX kaliyan Walikota, Bupati, Pimpinan DPRD se-DIY

Mugi ingkang badhe mudik dipun tata wekdale supados saged sesarengan ngrawuhi adicara punika.

ingkang kagungan tiwul, gatot, gebleg, geplak, bakpia, bakpao, bakso, bakmi, kipo, yangko, sego kucing, sego macan, sego abang, sego gurih, cendol, dawet, es buah, es degan, es campur, es teler, wedang secang, wedang uwuh, wedang rondo, gudeg, jangan lombok ijo, soto kudus, soto sap, soto ayam, monggo sami di asto di dahar sesarengan.

maturnuwun

Sultan Restui Kongres Rakyat Yogyakarta

YOGYA (KRjogja.com) - Gubernur DIY Sri Sultan HB X enggan menanggapi sikap Partai Demokrat yang hingga kini masih tetap pada pendiriannya untuk mendukung opsi pemilihan dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY. Sultan mengaku menyerahkan hal tersebut pada anggota dewan.

"Terserah anggota dewan saja. Kan legislasi keputusan ada di DPR RI. Ya terserah DPR RI bagaimana bisa menyelesaikan itu, bukan di tempat saya," kata Sultan usai menghadiri rapat paripurna DPRD DIY di gedung dewan setempat, Senin (23/5).

Terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUUK DIY yang telah disampaikan, Sultan mengaku tidak tahu-menahu mengenai rincian di dalamnya. Termasuk mengenai rencana konsolidasi dewan eksekutif dengan rakyat.

"Saya kan juga tidak tahu isi DIM itu apa. Tanya DPR saja, jangan saya. Kan saya tidak tahu tindak lanjutnya apa, isinya apa, karena itu kan nanti diberikan pada rakyat," ungkap Sultan.

Sementara itu, menanggapi adanya rencana masyarakat Yogyakarta yang ingin menggelar kongres rakyat untuk mencapai kesepakatan penetapan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, Sultan mempersilahkan dengan konsekuensi tetap menjaga ketertiban. "Ya silahkan saja, itu kan aspirasi masyarakat. Asal tertib dan damai saja," tandas Sultan.

Terpisah, Ketua DPD Demokrat DIY, Sukedi menuturkan, persoalan DIM yang menyebutkan bahwa partai Demokrat masih berpegang teguh pada pemilihan jabatan Gubernur, pada dasarnya adalah berdasarkan pada keputusan pusat. "Demokrat di DPRD DIY masih satu suara dan menunggu keputusan pusat. Kita belum akan merubah wacana jika pusat juga belum merubahnya," imbuhnya. (Ran)

Proses Pengakuan Keistimewaan DIY Tak Bisa Diabaikan

Yogyakarta, CyberNews. Pemberian pengakuan keistimewaan dan kekhususan kepada salah satu daerah semestinya berdasarkan proses sejarah bergabungnya sebuah daerah ke republik serta hak asal-usul yang dimiliki daerah tersebut sebelumnya. Bukan pada kepentingan politik sesaat, top down dan sentralistik, apalagi sampai mengesampingkan aspirasi dari arus bawah.

Demikian hal yang mengemuka dalam kegiatan sarasehan memperingati peran rakyat Yogya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI ''Piagam Kedudukan: Penghargaan Presiden Soekarno Kepada HB IX dan PA VIII'' di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri. Kegiatan yang diprakarsai oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM itu menghadirkan pakar hukum tata negara UGM, Fajrul Falakh SH MSi dan pengamat keistimewaan Yogyakarta Sudomo Sunaryo.

Fajrul Falakh mengatakan, pengakuan keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat di era Presiden Soekarno dan kemudian diperkuat dalam konstitusi tidak terlepas dari sikap Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan pertama yang secara tegas mengakui dan berintegrasi dengan NKRI sebagai negara baru. Padahal Keraton Yogyakarta sebelumnya memiliki kedaulatan yang diakui dunia internasional.

''Yogya berintegrasi dengan RI melampaui makna yang ada dalam ketoprak sikutan. Keputusan memilih berintegrasi adalah politik kebangsaan yang ditunjukkan HB IX dan PA VIII, bukan politik dinasti,'' katanya.

Menurutnya, apa yang diingin oleh masyarakat DIY saat ini sehubungan adanya pengakuan keitimewaan yang ditandai adanya proses penetapan kepala daerah merupakan aspirasi warga yang menghargai sejarahnya. ''Konstitusi itu mempersatukan komponen-komponen bangsa. Tahun 1945 saja pemimpin kita berhasil mengintegrasikan. Tapi jika ini memaknai usulan keitimewaan sebagai upaya disintegratif maka sebagai langkah mundur,'' katanya.

Oleh karena itu, keberadaan keistimewaan dari suatu daerah dipahami sejarah, tapi hanya perspektif kepentingan politik dan kebijakan yang bersifat sentralistik. Selain itu, Dia juga menyarankan agar pemerintah tidak terlalu antipati dengan bentuk monarki konstitusional. Karena monarki pun mengalami perkembangan, kekuasaannya masih dibatasi oleh konstitusi atau aturan adat.

Sudomo Sunaryo menuturkan, bergabungnya Yogyakarta dengan Republik berdasarkan persetujuan HB IX dan PA VIII, setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan lewat radio. ''Setelah itu mengirimkan ucapan selamat kepada presiden,'' ujar dia.

GPH Prabukusumo, salah satu anak dari HB IX mengatakan, sikap negarawan dan kecintaan terhadap republik menjadikan alasan sang ayahanda untuk memilih bergabung dengan NKRI, padahal sebelumnya sudah ditawari Belanda untuk menjadi wali nagari di Jawa. ''Semua keputusan beliau betul-betul bijaksana. Semua dilakukan dengan perasaan luhur,'' tambahnya.

( Bambang Unjianto / CN27 / JBSM )

RUUK YOGYAKARTA Dalam RUUK Yogyakarta, penataan tanah sultan akan dibahas dalam PP



JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta masih belum selesai dibahas. Dalam beleid tersebut, ada 7 masalah krusial yang sulit diselesaikan. Salah satunya adalah mengenai tanah kesultanan.

Sebelumnya, pemerintah menginginkan adanya badan hukum untuk memperjelas kelembagaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar ada penataan yang jelas mengenai aset dan tanah keraton dalam RUUK Yogyakarta.

Namun, saat ini 5 dari masalah krusial sudah dapat diselesaikan, kini hanya tersisa 2 masalah yakni mengenai penataan aset tanah keraton dan tata cara pemilihan dan penetapan gubernur atau sultan.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan kalau pembahasan mengenai aset tanah kesultanan belum mencapai titik temu lantaran beberapa anggota DPR berpendapat kalau pembentukan badan hukum yang nantinya akan mengatur aset tanah kesultanan itu sudah pernah dibahas dan telah disepakati kalau tidak akan dibentuk badan hukum.

"Jalan tengahnya maka mengenai penataan tanah akan dibahas dalam PP sendiri nanti," ujar Gamawan saat buka puasa dengan wartawan, Selasa (23/8).

Lebih lanjut Gamawan mengatakan peraturan pemerintah (PP) mengenai penataan tanah kesultanan akan dibahas setelah RUUK Yogyakarta disahkan. "Jadi nanti di UU Yogyakarta itu, tentang pengaturan aset tanah sultan itu hanya dibahas yang umum saja, intinya ada dalam PP," tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo pernah mengatakan kalau sebaiknya pemerintah tidak perlu mengatur aset kesultanan lantaran tanah sultan itu sudah ada sejak dahulu sehingga tidak perlu dikuasai oleh pemerintah.

"Dahulu sudah diputuskan bahwa tidak ada badan hukum, mungkin maksudnya pemerintah sekarang adalah ingin menyinkronkan dan mengidentifikasi tanah, mana yang tanah keraton dan mana yang tanah rakyat," jelasnya.

Selain masalah pengaturan aset tanah kesultanan, hal yang masih bisa belum diselesaikan adalah mengenai pemilihan dan penetapan sultan. Bisa dikatakan, ini juga masalah krusial yang belum bisa diselesaikan.

Gamawan memberikan solusi yang nantinya akan dibawa ke DPR bahwa jika calon sultan hanya satu pasang, maka bisa langsung ditetapkan oleh DPRD tanpa harus dipilih, namun jika lebih dari satu pasang maka harus dilakukan pemilihan dan penetapan oleh DPRD. Rencananya, RUUK Yogyakarta akan disahkan pada masa persidangan ini.

RUUK DIY Dipastikan Tidak Selesai Tahun Ini

Bantul, CyberNews. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) dipastikan tidak akan selesai pada tahun 2011. Hal ini disebabkan tidak seriusnya DPR menyelesaikan RUUK, yang sebenarnya sudah nampak sejak periode 2004-2009

Padahal jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, akan selesai pada 9 Oktober 2011 mendatang. "Kami belum tahu langkah selanjutnya yang jelas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY habis bulan Oktober nanti," kata Sulistyo Admojo, Ketua Paguyuban Dukuh Kabupaten Bantul, Senin (22/8).

Menurutnya, dalam RUUK DIY ada tiga pilar yang perlu diperhatikan, yaitu rakyat, adat dan pemerintah. Unsur pertama yaitu rakyat sudah jelas menginginkan penetapan, unsur kedua yaitu adat dalam hal ini adalaha keraton sejak dulu juga menginginkan penetapan dan saat ini tinggal unsur ketiga, yaitu pemerintah.

Kini tinggal menunggu sikap pemerintah bagaimana dalam menanggapi masalah RUUK DIY ini. "Apabila DPR tidak bisa kerja, maka pemerintah bodoh," kata Sulistyo.

Dikatakan, jika Kasultanan Yogyakarta orientasinya hanyalah kekuasaan, maka sudah sejak dahulu sebelum merdeka, Sultan memimpin Jawa itu menerima tawaran dari Belanda. Namu kenyataannya, tidak bersedia merendahkan kerajaan-kerajaan lain.

Bahkan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Sri Paduka Alam VIII menyatakan bergabung dengan NKRI. "Kalau dahulu sesama kerajaan tidak merasa saling direndahkan, namun saat ini ketika mereka berkuasa justru merendahkan orang lain," katanya.

Lebih lanjut Sulis menyatakan, jika dahulu Belanda sangat menghargai keberadaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan KGPAA Sri Paduka Paku Alam, sebaliknya sekarang justru pemerintahan yang tidak menghargai keberadaan Keraton Nyogyakarta Hadiningrat.

Bagi PANDU sendiri, lanjut Sulis, tidak akan berpikir ketika masa jabatan Sultan sebagai gubernur selesai. Pasalnya PANDU akan memperjuangkan penetapan dari segala lini. "Kami tidak terlalu pusing masalah perpajangan jabatan gubernur," katanya.

( Sugiarto / CN26 / JBSM )

FH UMWY Dukung Penetapan Keistimewaan DIY

YOGYA (KRjogja.com) - Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), menemui Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono 8 di komplek Kepatihan, Senin (8/8). Mereka bermaksud menyatakan dukungan terhadap opsi penetapan mekanisme jabatan Gubernur dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY.

Koordinator mahasiswa Albertus, mengungkapkan, pihaknya mengaku prihatin dengan polemik keistimewaan DIY yang tak kunjung usai. Meski demikian, mereka yakin jika polemik tersebut tetap akan berakhir dengan kemenangan opsi penetapan sesuai aspirasi rakyat Yogyakarta.

"Apalagi saat ini suara pemerintah utamanya fraksi demokrat sudah melunak dalam pembahasan RUUK DIY dengan menawarkan opsi penetapan demokratis, setelah sebelumnya bersikukuh dengan opsi Gubernur Utama," ujarnya.

Ia juga melihat, sampai saat ini mayoritas fraksi di DPR RI masih konsisten mendukung opsi penetapan, seperti yang dituntut oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Sehingga diharapkan kondisi tersebut akan membawa hasil positif seperti yang diharapkan rakyat.

"Namun sampai saat ini penetapan Sultan dan Pakualam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY masih belum jelas. Mengingat kondisi politik yang selalu berkembang di luar dugaan, maka kami akan terus mengikuti perkembangan yang terjadi, apakah pada akhirnya opsi penetapan akan betul-betul memang sesuai harapan rakyat Yogyakarta ataukah tidak," imbuhnya. (Ran)

September, Batas Akhir Pemerintah Selesaikan RUUK DIY

SLEMAN (KRjogja.com) - Masa perpanjangan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY akan habis pada 8 Oktober 2011 mendatang. Namun, hingga saat ini pembahasan draft RUUK DIY belum menunjukkan titik terang.

Ketua Paguyuban Dukuh se-DIY Semar Sembogo, Sukiman Hadi Wijoyo mengungkapkan, pembahasan RUUK DIY kini kembali dimulai usai masa reses Komisi II DPR RI. "Saat ini rakyat masih menunggu proses persidangan di Komisi II. Tapi, draft Kemendagri masih sama, yakni tetap menggunakan istilah Gubernur Utama. Makanya, kita tunggu saja nanti hasil sidang," jelasnya kepada KRjogja.com, Sabtu (20/8).

Sukiman mengaku, rakyat di DIY berharap, ada keputusan tetap terkait jabatan Gubernur DIY pada September mendatang. Sehingga, sebelum masa perpanjangan habis, sudah memiliki ketetapan hukum. "Kan masa perpanjangan Sri Sultan akan habis 8 Oktober besok. Makanya, paling tidak September harus sudah ada keputusan," tandasnya.

Namun, jika nantinya tidak ada keputusan tetap, maka rakyat DIY tidak punya pilihan lain untuk menggelar kongres rakyat. Agendanya, pengukuhan Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII sebagai Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY secara penetapan. "Meskipun ada keputusan tetapi jika tidak sesuai aspirasi rakyat, maka tetap akan kita gelar sidang rakyat di Alun-Alun Utara pada awal Oktober sebelum masa perpanjangan habis," ungkap Sukiman.

Kongres rakyat tersebut, menurut Sukiman, memiliki legalitas formal. Pasalnya, DPRD Propinsi DIY serta seluruh DPRD tingkat Kabupaten dan Kota telah menyepakati penetapan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. "Kongres rakyat itu sudah final sebagai bentuk pemerintahan rakyat. DPR RI pun akan sepakat karena keputusan DPRD di tingkat daerah seragam," tandasnya.

Meski demikian, jika pemerintah pusat mempertanyakan legalitas, maka hasil kongres rakyat akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah International. "Intinya sekarang ini, ada tidak itikad dari pemerintah pusat untuk mendengarkan aspirasi rakyat DIY secara utuh tanpa dilandasi kepentingan politik," pungkas Sukiman. (Dhi)

Minggu, 31 Juli 2011

GKR Hemas Merasa RUUK DIY Diulur-ulur


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI GKR Hemas menilai, pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY di DPR RI sengaja diulur-ulur. Akibatnya, sampai sekarang belum selesai dibahas.

Pernyataan tersebut disampaikan GKR Hemas, usai melakukan kunjungan di Kantor Gubernur DIY di Kepatihan, dalam rangka melakukan penyerapan aspirasi di daerah, Selasa (19/7/2011).

Namun demikian, Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta tersebut tetap yakin pembahasan RUUK tidak akan deadlock. Sebab saat ini pembahasannya tidak hanya soal pengisian jabatan Gubernur semata, tetapi juga mengarah ke persoalan lainnya, seperti pertanahan.

"Saya kira tidak akan deadlock dan pasti ada solusi lainnya yang akan diambil. Saya berharap Agustus sudah selesai," ungkapnya.

Terkait usulan penetapan demokratis yang merupakan hasil pembahasan antara Panja RUUK DPR dan Mendagri, Hemas mengaku baru mendengar usulan tersebut tadi malam. "Itu mencari alternatif saja, penetapan tapi demokratis berarti itu ada pilihan lain yang di hari Senin (18/7/2011) kemarin dibahas antara panja dengan mendagri, tetapi saya yakin mayoritas fraksi tetap mempertahankan penetapan," tambahnya.

Sementara itu, anggota Komite 3 DPD RI Afnan Hadikusumo mengatakan pembahasan RUUK di DPD sudah selesai, karena rekomendasi yang dihasilkan sudah sesuai dengan harapan dan aspirasi rakyat Yogyakarta.

"Saat ini bola berada di tangan DPR dan Pemerintah. Hanya saja di DPR masih belum ada kata sepakat soal penetapan. Upaya kita sekarang adalah melakukan lobi ke partai politik karena itu yang lebih soft dan lebih tepat," ujar Afnan.

Upaya lobi itu, kata Afnan, dilakukan kalangan anggota DPD terutama yang berasal dari DIY ke partai-partai politik, namun hingga saat ini masih belum diketahui hasilnya.

Di sisi lain, Ketua Sekber Keistimewaan Widihasto Wasana Putro berharap tidak terjadi deadlock pada pembahasan RUUK DIY di DPR. Ia meyakini, apabila deadlock terjadi, dan jabatan Gubernur kembali diperpanjang, hal itu akan menimbulkan reaksi masyarakat Yogyakarta.

Pihaknya saat ini masih mencermati hasil lobi yang dilakukan pemerintah kepada DPR terkait pembahasan RUUK. "Kalau berkaca pada peristiwa 1998, 2004 dan 2009 ketika terjadi deadlock, masyarakat bereaksi. Lobi merupakan hal baru, kita akan mencermati bagaimana hasil lobi tersebut. Tetapi pada intinya masyarakat ingin penetapan, mekanismenya terserah DPR," ungkap Widihasto.

Widihasto pesimistis, pembahasan RUUK akan selesai dalam masa sidang kali ini karena DPR akan mulai reses sekitar tanggal 25 Juli mendatang. Sehingga menurutnya, kemungkinan selesainya pembahasan RUUK di DPR sekitar bulan Agustus hingga Oktober mendatang

Puluhan Warga Yogyakarta Demo di Depan Istana

JAKARTA - Puluhan orang atas nama Forum Intelektual Budayawan Yogyakarta menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, terkait permasalahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogjakarta.

Mereka kembali menegaskan bahwa kepala daerah yang sah di provinsi itu adalah Sultan dan Paku Alam sebagai wakilnya.

Dalam aksi kali ini, semua pesertanya mengenakan pakain adat khas Yogjakarta. Mereka juga melakukan upacara adat dengan membakar kemenyan, menabur kembang tujuh rupa dan menebar garam di sekeliling peserta aksi.

”Sultan yang bertahta adalah kepala daerah istimewa Yogyakarta dan Paku Alam yang bertahta adalah wakil kepala daerah istimewa Yogyakarta. Junjung tinggi ajaran leluhur bangsa ini. Jangan mempraktikkan ajaran impor yang memecah belah," ujar Ketua Forinba Yogyakarta, Suryo S. Negoro, Senin (4/7/2011).

Suryo menambahkan, keistimewaan Yogyakarta sudah berjalan dan sah adanya sejak 17 Agustus 1945 sampai detik ini, sesuai dengan fakta perjuangan dan sejarah. Hal tersebut terbukti dengan pemberian piagam kedudukan oleh Presiden RI Soekarno kepada Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945.

Dia juga menyitir amanat 5 Sepetember 1945 oleh Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang menyatakan, kedua kerajaan negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Negeri Paku Alam adalah daerah istimewa dari negara RI. Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah masing-masing memegang segala kekuasaan di daerahnya dan hubungannya dengan RI langsung dan bertanggung jawab langsung kepada presiden RI.

”Masyarakat Yogjakarta mempertahankan dan mendukung NKRI yang berdasarkan UUD 45 dan Pancasila,” katanya.

(abe)

RUUK DIY Hampir Dipastikan Molor

YOGYAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo psimistis pembahasan RUU Keistimewaan DIY akan selesai hingga berakhirnya masa jabatan Gubernur DIY, pada Oktober 2011 mendatang.

Sebab, pembahasan dua isu krusial dalam RUU tersebut hingga belum dibahas pemerintah bersama DPR.

“Kalau nanti masuknya saja September usai lebaran, sampai Oktober dugaan saya akan terlalu memet. Kecuali seluruh pembahasan baik pemerintah maupun DPR menyelesaikan dua isu krusial, tanah dan pemiliha atau penetapan pada massa reses ini,” kata Ganjar di Pendopo Ajiyaksa Jogja Nasional Museum Yogyakarta, Jumat (29/7/2011).

Hingga saat ini, kata Ganjar, persoalan tanah saja belum kunjung dibahas. “Kemarin hanya membahas masalah tarik ulur pemilihan dan penetapan. Kalau dibahas sebenarnya bisa selesai dalam satu bulan. Tapi isu tanah ini saja belum,” jelasnya.

Jika pembahasan RUUK DIY ini tidak selesai hingga Oktober 2011, kemungkinan besar masa jabatan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X akan kembali diperpanjang.

Sejatinya, kata Ganjar, masa Jabatan Sultan diperpanjang itu sah-sah saja dan tidak melawan hukum. “Yang menjadi pertanyaan saat ini itu siapa yang harus memperpanjang jabatan Sultan, Presiden atau Mendagri?” ujar dia.

“Masalah RUUK ini, sepertinya memperpanjang sesuatu yang sudah panjang. Dugaan saya, polanya akan diperpanjang lagi jabatan Sultan. Hitung-hitungan politik, jabatan Sultan akan diperpanjang lagi,” katanya lagi.

Sebelumnya, Sultan juga mempertanyakan siapa yang akan memberi masa perpanjangan terhadap dirinya, jika jabatannya sebagai Gubernur kembali diperpanjang.

“Sing arep memperpanjang ki yo sopo? Ya lihat saja nanti. Saya tidak tahu masalah itu,” ujar Sultan di komplek Kepatihan, Yogyakarta.

(ded)

Selasa, 24 Mei 2011

SEPOTONG SEJARAH DALAM INGATAN

”Over mijn lijk heen!”

(Bila itu maksud Tuan, maka Tuan hanya bisa masuk Kraton ini dengan melangkahi mayat saya dulu)

Seluruh ruangan tercengang atas penolakan tegas Sri Sultan HB IX terhadap Belanda. Bagaimana tidak? Belanda telah merasa memberikan penawaran yang menggiurkan, yaitu menjadikan HB IX sebagai “Super Wali Nagari” atas Jawa dan Madura dalam kerangka negara federal versi penjajah. Kala itu, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda dalam agresi militer Belanda kedua sehingga RI dalam kondisi tak bertuan. HB IX lah yang menjadi tumpuan harapan eksistensi RI di kancah internasional. HB IX dan Paku Alam VIII rela menyediakan fasilitas dan finansial untuk memperlancar roda pemerintahan RI. Kedudukan dan wibawa Sri Sultan HB IX sangat diperhitungkan oleh Belanda. Tak lain karena dunia internasional mengakui secara de jure dan de facto bahwa Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ada sebelum Republik ini berdiri.

HB IX dan Paku Alam VIII laksana dwi tunggal yang menjadi pemimpin daerah Yogyakarta. Dalam kepemimpinannya, HB IX menganut filosofi tahta untuk rakyat. Prinsip-prinsip kepemimpinan beliau diwariskan ke HB X. Baik HB IX maupun HB X memegang teguh prinsip bahwa mereka bersedia menjadi kepala daerah selama warga Yogya merestui dan mempercayai mereka. Demikianlah demokrasi ala Mataram yang sudah mengakar kuat hingga membudaya dalam sanubari warga Yogyakarta. Sepertinya demokrasi seperti ini tidak membuat nyaman pemerintah pusat sehingga RUU Keistimewaan DIY bertahun-tahun ditelantarkan. Rezim SBY ingin menghembuskan nilai-nilai demokrasi langsung ala barat yang jelas memungkinan DIY disusupi multikepentingan oleh para petualang. Kami berharap pemerintahan SBY ingat dan memahami tentang sejarah keistimewaan DIY. Harap dicamkan, DIY bukanlah daerah yang merengek untuk diistimewakan, tapi keistimwewaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai embrio internasionalisasi kemerdekaan NKRI sudah diakui dan dihormati oleh para founding fathers Republik Indonesia.

Itulah Yogyakarta, Sultan, dan segala eksistensinya. Wilayah ini bukan sekadar areal dan pemukiman penduduk. Namun juga sebuah kerajaan dengan segala adat istiadatnya, kebijaksanaan hidup, dan sebuah kejayaan. Kebesaran Kasultanan Yogyakarta telah diakui dunia, dan mengakibatkan Indonesia turut melambung namanya. Kedaulatan Yogyakarta adalah kuasa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah Indonesia. Sebuah sejarah yang tak boleh ditiadakan begitu saja perjuangannya. Dan ketika sebuah pernyataan muncul dari bibir seorang kepala negara yang menyinggung eksistensi Yogyakarta, tak heran bila banyak pihak meradang.

Salah omong, tidak faham tentang Undang-Undang, atau memang belum mempelajari sejarah keistimewaan DIY. Komentar sinis itu menghujam untuk mementahkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengidentifikasi DIY sebagai representasi dari sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Pertanyaannya, apakah SBY menilai penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagai pengejawantahan wajah monarki? Dan perlu digarisbawahi, apakah SBY sadar bahwa DIY selama ini patuh mengikuti aturan otonomi daerah?

Meski SBY sudah mengklarifikasi ucapannya, warga Yogya terlanjur kecewa dengan ucapan pemimpin nomer satu RI itu. Spontan, puluhan ribu warga Yogya lantang memprotes dan mengumandangkan Amanat 5 September 1945 untuk mengingatkan pemerintah terkait perjanjian integrasi Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke NKRI. Suara akar rumput itu pun diamini oleh mayoritas fraksi DPRD DIY minus Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPRD DIY yang membahas polemik Keistimewaan DIY pada 13 Desember 2010. Hasilnya, aspirasi warga Yogya memutuskan bahwa DIY tetap Daerah Istimewa dan menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Kepala Daerah DIY. Namun lagi-lagi, pemerintah masih menafikkan suara warga Yogyakarta itu. Mendagri Gamawan Fauzi enggan mengakui keputusan mayoritas DPRD DIY. Ia bahkan mengatakan bahwa menurut survey pemerintah, sekitar 71 persen warga Yogya menghendaki Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung. Patut dipertanyakan, agenda politis serta latar belakang apa yang membuat pemerintah bersikukuh mengevaluasi keistimewaan DIY tanpa mempertimbangkan aspek historis, budaya, serta terkesan ogah-ogahan melibatkan sumbangsih pemikiran dari warga Yogya sendiri? Pemerintah ngotot, warga Yogya meradang, sementara Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai kepala daerah DIY pasrah bongkokan pada suara warga Yogya dan menolak mengeluarkan pernyataan sikap.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Begitulah pesan Sukarno sang Proklamator Indonesia yang sangat relevan untuk mengonstruksi kembali keistimewaan DIY. Sejarah berdirinya NKRI tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Yogyakarta karena di masa revolusi, Yogyakarta yang dipimpin HB IX dan PA VIII berjuang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia lewat pergerakan pemuda, diplomasi, hingga senjata. Berkat dukungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat terhadap kemerdekaan RI itulah, pada 19 Agustus 1945, Presiden Sukarno membuat dan menandatangani piagam kedudukan yang menekankan bahwa Pemerintah RI memberikan kedudukan dan kepercayaan penuh bahwa kedua penguasa Yogya akan mengabdi secara total kepada RI. Penegasan atas kedudukan dan tanggung jawab itu dituangkan oleh HB IX dan PA VIII dalam Amanat 5 September 1945 yang disetujui oleh Sukarno, Presiden Pertama RI. Momentum itu menjadi tonggak bergabungnya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke dalam keluarga besar NKRI.

Barangkali, sedikit yang mengetahui bahwa sebetulnya bukan pertama kali ini saja keistimewaan DIY diusik. Status keistimewaan DIY telah dipergunjingkan sejak orde lama, berlanjut ke orde baru dan selanjutnya orde reformasi. Pada zaman orde lama, pascaamanat 5 September 1945, pemerintah pusat sempat menawarkan konsep pengangkatan Komisaris Tinggi sebagai penghubung antara Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dengan pemerintah pusat. Namun HB IX dan Paku Alam VIII menolak keberadaan Komisaris Tinggi. Bahkan menilai bahwa posisi Komisaris Tinggi itu tak ubahnya Gubernur dalam zaman penjajahan Belanda dan Koti Zimu Koku Tyokan pada zaman penjajahan Jepang.

Di zaman kepemimpinan Soeharto, status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sempat akan dihapuskan. Tak ada polemik berarti dalam masyarakat kala itu, mengingat pemerintahan dipegang oleh rezim anti demokrasi. Reaksi hanya muncul secara merangkak, yakni percikan ketegangan yang terjadi di kalangan elit. Hamengkubuwono IX pun memilih mengunci mulutnya saat berada di depan publik. Adanya kompromi di tingkat elit itulah, membuat status keistimewaan DIY tetap terjaga. Ibarat bom waktu, ledakan penggembosan status keistimewaan DIY kembali berulang di masa periode kedua pemerintahan SBY. Seperti diketahui, DIY sebagai daerah istimewa pada prinsipnya diatur dalam UUD’45 pasal 18 yang dalam praktiknya diatur dengan Undang-Undang. Tapi ironisnya, pemerintah pusat sendirilah yang mengingkari semangat UUD’45.

Membaca ulang sejarah Yogyakarta, membuat kita bertanya-tanya kembali. Apakah ada agenda besar di balik polemik ini? Dua kali wilayah istimewa ini digoncang isu yang sama, secara mendadak, tanpa wacana berarti yang ditiupkan sebelumnya. Seolah-olah menggerogoti ketenangan Yogyakarta secara frontal.

Buku ini mengajak kita semua untuk membuka kembali lembaran sejarah mengenai berbagai kesepakatan yang pernah terjadi antara founding father Indonesia dengan Sri Sultan HB IX. Mari berpikir dengan bijak, berdialektika dengan tenang, dan merumuskan sesuatu dengan cerdas. Vox Populi Vox Dei. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Senin, 23 Mei 2011

Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara
Periode I: 1945 - 1946


Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)


Tanggal 18atau 19Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)


Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)


Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 Wikisource-logo.svg. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.


Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)


Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
   1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
   2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
   3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
   4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
   5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
   1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
   2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)


Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 Wikisource-logo.svg) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)


Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:
   1. Kedudukan Yogyakarta
   2. Kekuasaan Pemerintahan
   3. Kedudukan kedua raja
   4. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
   5. Pemilihan Parlemen
   6. Keuangan
   7. Dewan Pertimbangan
   8. Perubahan
   9. Aturan Peralihan
  10. Aturan Tambahan
Periode II:1946 - 1950


Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)


Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946


Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)


Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)


Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947


Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)


Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Periode III: 1950 - 1965


Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)


Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950


DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951


Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 Wikisource-logo.svg (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)


Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)


Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)


Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi.
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)


Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948). Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai "metamorfosis" abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.

Penyatuan Wilayah (1957-1958)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957


Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 Wikisource-logo.svg (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 Wikisource-logo.svg (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)


Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV: 1965-1998


Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)


Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi  (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari . Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.

Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)


Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY


Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Periode V: 1998-sekarang (2008)


Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-sekarang[2008])


Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)


Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)


Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya ..
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)


Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)


Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008])


Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.