Selasa, 25 Januari 2011

Mengapa Yogyakarta Istimewa?

TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Sejarawan Universitas Gadjah Mada Prof. Djoko Suryo mengatakan Indonesia memiliki tiga wilayah yang dianggap Istimewa. Ketiga daerah itu yakni Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Ketiga daerah itu juga memiliki keistimewaan yang berbeda.

“Kalau DIY, istimewa pada kepemimpinannya. Yakni Sultan sebagai raja sekaligus gubernur,” kata Djoko saat dihubungi Tempo, Selasa (30/11).

Karena kedudukan sebagai sebagai raja dan jabatan sebagai gubernur melekat, kata Djoko, jabatan gubernur tersebut langsung ditetapkan atau diangkat, bukan ditetapkan melalui pemilihan.

Sedangkan DKI Jakarta, kata dia, memiliki keistimewaan sebagai wilayah yang menjadi ibu kota negara. Karena keistimewaan itu maka walikota DKI Jakarta tidak juga dipilih. "Melainkan ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan," ujarnya.

Sementara keistimewaan Aceh terletak pada penerapan hukum syariah Islam.

Keistimewaan itu, kata dia, tidak akan pernah ditemukan di daerah lainnya.

Sosiolog UGM, Arie Sudjito menilai keistimewaan tiga daerah itu merupakan implementasi dari otonomi khusus.

Ia mencontohkan keistimewaan Aceh. Selain memiliki keistimewaan secara historis, kekhususan Aceh lahir lantaran konflik dengan negara yang berkepanjangan.

Sedangkan keistimewaan DIY, kata Arie, muncul karena beda argumen. Sebenarnya, kata dia, posisi kraton bisa dimasukkan ke dalam tata pemerintahan. Sayangnya, sebelum RUUK DIY rampung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terburu meluncurkan bola panas yang menyebut istilah monarkhi.

PITO AGUSTIN RUDIANA

Jimly: Ide Pemilihan Gubernur DIY Banyak Mudaratnya

TEMPO Interaktif, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Profesor Jimly Assiddiqie mengatakan penetapan Gubernur Yogyakarta tidak melanggar Undang Undang Dasar 1945.

Saat ini pemerintah sedang mengkaji opsi pemilihan gubernur dalam Rancangan Undang Undang Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta: apakah ditetapkan Presiden seperti yang berjalan sekarang atau dipilih lewat Pemilihan Umum seperti daerah lain. Opsi pemilihan mencuat karena tercantum dalam Pasal 18 ayat 4 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis."

"Membaca konstitusi harus satu kesatuan normatif, tidak boleh sepenggal-penggal," ujar mantan tenaga ahli dalam Amandemen UUD 1945 satu dasawarsa lalu kepada Tempo, Selasa (30/11).

Menurutnya, Indonesia menganut sistem desentralisasi yang asimetris. "Sehingga tidak mutlak seragam, ada variasi di sana-sini." Pada pasal 18B disebutkan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang." Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu dari empat daerah khusus/istimewa.

Keempat daerah itu dibolehkan memiliki keistimewaan. Aceh memiliki struktur pemerintahan dan peradilan Islam. Begitu juga Papua dan Papua Barat yang memiliki Lembaga Perwakilan dan Pengadilan Adat. "Yogyakarta istimewa secara eksekutif, itu saja," kata Jimly. Gubernur DIY tidak dipilih lewat Pemilihan Umum melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Keistimewaan ini, ujarnya, merupakan produk sejarah dan tidak pernah jadi masalah selama 65 tahun Indonesia berdiri.

"Pasal 18B original intend-nya untuk mengukuhkan apa yang sudah ada," katanya. Meski tidak menghapus kemungkinan untuk diubah, Jimly mengatakan ide baru tentang Gubernur DIY dipilih lebih banyak mudaratnya.

Dia membantah penetapan kepala daerah merupakan tindakan yang bertentangan dengan demokrasi. Tiga tahun lalu, katanya, pernah diajukan Judicial Review atas penetapan Wali Kota oleh Gubernur DKI Jakarta. "Kami sudah bersidang, dan hasilnya tidak bertentangan dengan demokrasi," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. "Sama dengan Yogyakarta."

REZA M

Putra Jawa Kelahiran Sumatera Dukung Sultan

TEMPO Interaktif, Medan - Forum paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) bertekad mendukung kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Yogyakarta sekaligus kepala daerah sebagaimana Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

Pujakesuma juga menolak istilah monarki yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pujakesuma Choking Soesilo Sakeh, warga Jawa kelahiran Sumatera akan segera berkoordinasi dengan warga Yogya merumuskan sikap bersama yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat.

"Pujakesuma akan melakukan rapat dan menelurkan sikap mendukung Sri Sultan HB X dan tetap mempertahankan hak keistimewaan Yogyakarta dengan menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur. Itu artinya kami menolak pemilihan gubernur dengan cara yang lazim dilakukan negara ini demi menegakkan hak keistimewaan Keraton Yogya," kata Choking kepada Tempo, Selasa (30/11) malam ini.

Sebelumnya, Yudhoyono menegaskan sistem yang akan dianut dalam pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki , "Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi," ujarnya. Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun konsep keistimewaan Yogyakarta dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY.

Komentar Yudhoyono tersebut membuat Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara. Ia tidak sreg dengan pernyataan Yudhoyono.

Menurut Choking, Pujakesuma akan menggalang dukungan yang lebih luas dari warga Jawa di luar Sumatera Utara. "Pernyataan SBY itu hanya akan merugikan pemerintahan terlebih popularitas SBY yang kian merosot,"ujar Choking.

Selain tokoh masyarakat Jawa di Sumatera, menurut Choking, pendiri Pujakesuma salah satunya Sri Sultan HB IX. "Sri Sultan HB X tercatat sebagai penasihat Pujakesuma saat ini. Beliau adalah teladan bagi warga Jawa dan tidak feodalistik. Salah besar jika monarki yang disebut Presiden menyamakan dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Kami menolak pernyataan itu dan tetap mendukung Sri Sultan HB X," ujar Choking.

SAHAT SIMATUPANG

Istimewa

Putu Setia
Kata "istimewa" memang tak ada pesaingnya. Sidang istimewa, misalnya, begitu ditakuti banyak orang jika itu terjadi dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat--presiden bisa dilengserkan di sini. Adapun martabak istimewa, ini bisa berbeda, tergantung kota. Ada yang telurnya tiga, di kota lain telurnya empat. Yang pasti, "statusnya" paling tinggi, pesaing terdekatnya hanya martabak spesial.
Yogyakarta sebagai provinsi adalah satu-satunya daerah istimewa di negara kesatuan ini. Dulu pesaingnya Aceh, tapi Nanggroe Aceh Darussalam kini berstatus "khusus", sama dengan Papua dan Jakarta, tapi beda kekhususannya. Provinsi lain sepertinya tak bisa menyandang istimewa maupun khusus, karena perannya tak sebesar yang dimiliki Aceh, Jakarta, Yogya, dan Papua. Provinsi Bali akan terus bermimpi panjang untuk mendapatkan gelar "khusus", meski sejak hampir 10 tahun wacana itu dibuka serta sudah menghabiskan biaya tak sedikit untuk seminar dan kajian, termasuk lobi ke pusat.
Sebagai orang yang pernah menumpang hidup di Yogya dan mengenal baik kawasan keraton--apalagi saat Sekatenan--saya ikut marah ketika keistimewaan Yogyakarta dipersoalkan. Tetapi, sebagai orang yang percaya bahwa hidup ini terdiri atas kelahiran dan kematian, saya pun mendua, bagaimana sebaiknya kedudukan Sultan jika itu menyangkut singgasana gubernur: penetapan atau pemilihan? Selama ini adalah penetapan. Soeharto sendiri, menurut pandangan saya yang mungkin salah, pada dasarnya juga memaksakan "penetapan" dalam kedudukannya sebagai presiden. Soeharto, yang lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta, tak pernah mau dipilih, selalu calon tunggal, meskipun itu dalam format Sidang Umum MPR.
Jika Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai wakilnya, diperlukan undang-undang yang sangat terperinci. Bangsa ini sudah banyak mengalami kekisruhan karena undang-undangnya tak terperinci. Kasus terakhir tentang masa jabatan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembuat undang-undang tak pernah mengantisipasi jika pemimpin KPK dipidana dalam masa jabatannya, sehingga penggantinya tak jelas seberapa lama menjabat. Terjadi multitafsir.
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta harus terperinci kalau penetapan yang dipilih. Bagaimana kalau Sultan mangkat, apakah Paku Alam otomatis jadi gubernur, lalu siapa wakilnya? Bagaimana kalau keduanya mangkat? Bagaimana kalau Sultan sepuh, sementara belum ada sultan yang baru? Bagaimana kalau sultan yang baru belum cukup umur, apakah seperti biksu di Burma yang bisa dikukuhkan walau usianya 12 tahun? Bagaimana kalau seperti Solo--baik Kesunanan maupun Mangkunegaran--yang saling berebut takhta, siapa yang memutuskan sahnya sultan itu? Banyak lagi "bagaimana kalau" yang harus dijawab dan dimasukkan dalam undang-undang.
Yang membuat saya heran, pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini. Lebih heran lagi mendengar pendapat orang bahwa, kalau draf versi pemerintah itu memutuskan "pemilihan", aksi penolakan akan membesar dan mengguncang Yogya. Kenapa emosional? Itu kan draf, tugas parlemen yang menyempurnakan draf itu, termasuk menolaknya dan membuat versi lain. Tugas Dewan Perwakilan Rakyat itu membuat undang-undang, bukan cuma bengong dan menunggu jatah pelesir ke luar negeri.
Jangan diulur urusan keistimewaan Yogyakarta. Provinsi ini punya peran amat besar dalam NKRI. Provinsi lain seperti Bali, misalnya, perannya kecil atau malah tak punya peran, jangan macam-macam. Kalau ingin berperan dalam sebuah negara, ya, buat negara baru, dong--ini bukan anjuran, hanya satu pilihan.

Istimewa

Putu Setia
Kata "istimewa" memang tak ada pesaingnya. Sidang istimewa, misalnya, begitu ditakuti banyak orang jika itu terjadi dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat--presiden bisa dilengserkan di sini. Adapun martabak istimewa, ini bisa berbeda, tergantung kota. Ada yang telurnya tiga, di kota lain telurnya empat. Yang pasti, "statusnya" paling tinggi, pesaing terdekatnya hanya martabak spesial.
Yogyakarta sebagai provinsi adalah satu-satunya daerah istimewa di negara kesatuan ini. Dulu pesaingnya Aceh, tapi Nanggroe Aceh Darussalam kini berstatus "khusus", sama dengan Papua dan Jakarta, tapi beda kekhususannya. Provinsi lain sepertinya tak bisa menyandang istimewa maupun khusus, karena perannya tak sebesar yang dimiliki Aceh, Jakarta, Yogya, dan Papua. Provinsi Bali akan terus bermimpi panjang untuk mendapatkan gelar "khusus", meski sejak hampir 10 tahun wacana itu dibuka serta sudah menghabiskan biaya tak sedikit untuk seminar dan kajian, termasuk lobi ke pusat.
Sebagai orang yang pernah menumpang hidup di Yogya dan mengenal baik kawasan keraton--apalagi saat Sekatenan--saya ikut marah ketika keistimewaan Yogyakarta dipersoalkan. Tetapi, sebagai orang yang percaya bahwa hidup ini terdiri atas kelahiran dan kematian, saya pun mendua, bagaimana sebaiknya kedudukan Sultan jika itu menyangkut singgasana gubernur: penetapan atau pemilihan? Selama ini adalah penetapan. Soeharto sendiri, menurut pandangan saya yang mungkin salah, pada dasarnya juga memaksakan "penetapan" dalam kedudukannya sebagai presiden. Soeharto, yang lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta, tak pernah mau dipilih, selalu calon tunggal, meskipun itu dalam format Sidang Umum MPR.
Jika Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai wakilnya, diperlukan undang-undang yang sangat terperinci. Bangsa ini sudah banyak mengalami kekisruhan karena undang-undangnya tak terperinci. Kasus terakhir tentang masa jabatan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembuat undang-undang tak pernah mengantisipasi jika pemimpin KPK dipidana dalam masa jabatannya, sehingga penggantinya tak jelas seberapa lama menjabat. Terjadi multitafsir.
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta harus terperinci kalau penetapan yang dipilih. Bagaimana kalau Sultan mangkat, apakah Paku Alam otomatis jadi gubernur, lalu siapa wakilnya? Bagaimana kalau keduanya mangkat? Bagaimana kalau Sultan sepuh, sementara belum ada sultan yang baru? Bagaimana kalau sultan yang baru belum cukup umur, apakah seperti biksu di Burma yang bisa dikukuhkan walau usianya 12 tahun? Bagaimana kalau seperti Solo--baik Kesunanan maupun Mangkunegaran--yang saling berebut takhta, siapa yang memutuskan sahnya sultan itu? Banyak lagi "bagaimana kalau" yang harus dijawab dan dimasukkan dalam undang-undang.
Yang membuat saya heran, pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini. Lebih heran lagi mendengar pendapat orang bahwa, kalau draf versi pemerintah itu memutuskan "pemilihan", aksi penolakan akan membesar dan mengguncang Yogya. Kenapa emosional? Itu kan draf, tugas parlemen yang menyempurnakan draf itu, termasuk menolaknya dan membuat versi lain. Tugas Dewan Perwakilan Rakyat itu membuat undang-undang, bukan cuma bengong dan menunggu jatah pelesir ke luar negeri.
Jangan diulur urusan keistimewaan Yogyakarta. Provinsi ini punya peran amat besar dalam NKRI. Provinsi lain seperti Bali, misalnya, perannya kecil atau malah tak punya peran, jangan macam-macam. Kalau ingin berperan dalam sebuah negara, ya, buat negara baru, dong--ini bukan anjuran, hanya satu pilihan.

Senin, 24 Januari 2011

Yogya Yang Istimewa

Siang itu, seperti biasa, Sunardi tampak gagah berdiri di selasar Kraton dengan surjan lurik berwarna hitam biru, serta blangkon bermondol. Wajahnya menyiratkan kebanggan, serta sebersit senyum keramahan khas Yogya. “Saya ini dulu tinggal di Tangerang, tetapi karena saya jatuh cinta dan merasa terpanggil, maka saya meninggalkan Tangerang dan mengabdi kepada Kraton Yogya ini,” paparnya sambil tersenyum.

Sudah lebih dari 30 tahun ia menjadi abdi dalem di Kraton Nyayogyakarta Hadiningrat. Bagi Sunardi, Yogya, khususnya Kraton, adalah pusat seluruh hidupnya. Yogya sungguh istimewa karena hanya di Kraton Yogyakarta ini, ia merasa menemukan makna-makna filosofis kehidupan yang hingga kini masih tetap lestari. “Ada budaya-budaya leluhur yang tetap dipertahankan, serta bagi saya, Yogya memiliki tradisi yang selalu selaras dengan alam sekitar,” imbuhnya.

Sunardi tidak sendiri, Yogya juga menjadi istimewa bagi ribuan manusia yang tinggal di dalamnya. Ada yang datang dari luar daerah, tetapi ada juga yang terlahir dan mengolah kehidupannya di kota yang akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak mata dan telinga, akibat isu keistimewaan yang lagi-lagi tidak juga purna dibahas. Isu keistimewaan yang akhir-akhir ini membuat ribuan manusia Jogja menjadi sedikit bergolak setelah hampir sembuh dari erupsi Merapi.

“Sesudah bencana Merapi mulai reda, Jogja terkena “bencana” kembali, yang kali ini datangnya dari pusat, yaitu tentang keistimewaan”, ucap adik kandung Sri Sultan HB X, GBPH Joyohadikusumo saat membuka prosesi Mubeng Benteng di Regol Keben, Selasa (7/12). Ungkapan adik Sultan itu, adalah cerminan suara ribuan orang yang merasa terusik ketika Jogja tercintanya yang selama ini tentram, “dikisruhkan” oleh sepatah kalimat “Monarki versus Demokrasi”.

Bagi banyak masyarakat Jogja, kalimat yang diucapkan oleh orang nomor satu di negara ini adalah seperti sebuah cubitan yang membuat sakit sekaligus menggelisahkan. Kalimat ini seperti mengingatkan kembali akan tidak pernah tuntasnya pembahasan tentang Undang-Undang soal keistimewaan. Ini pun melahirkan opsi “memilih” atau “ditetapkan”. Padahal selama ini, Jogja sudah tentram dengan fakta bahwa negrinya adalah provinsi istimewa yang berpusat di Kraton dan dengan keistimewaanya itu berarti secara otomatis Sultan adalah Gubernur dan Paku Alam adalah wakilnya.

Yogya Bagi Indonesia

Maklumat 5 September 1945 adalah salah satu momentum yang amat penting dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Maklumat yang diserukan oleh Sultan Hamengku Buwono ke-IX itu menandakan bahwa Yogya secara resmi berintegrasi kepada Republik Indonesia.

Setelah berintegrasi, Yogya seperti menjadi “ibu” yang memberi susu kepada anaknya yang sedang merangkak besar. Menurut budayawan yang juga Kepala Program Magister Studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Dr. Gregorius Budi Subanar, SJ, Republik Indonesia menghabiskan masa-masa “balita”nya di Yogyakarta. Begitu juga modal kapital pertama Republik ini disumbang dari kantong Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Inilah salah satu yang membuat Yogya jadi istimewa bagi Indonesia,” ucap Subanar atau akrab disapa Romo Banar ini.

Jika ditilik dari faktor kesejarahan, sebelum berintegrasi, Yogya memang sudah istimewa. Ia pada awalnya merupakan daerah yang memiliki pemerintahan sendiri. Hal ini berbeda dengan banyak daerah berpemerintahan sendiri lainnya karena kedudukan istimewa dari Yogyakarta diakui secara tegas oleh pemerintah Republik Indonesia sejak permulaan revolusi nasional Indonesia.

Kesultanan Yogyakarta serta Kadipaten Paku Alaman, sebelumnya, memiliki status “Kerajaan vasal/Negara bagian”. Oleh Belanda status itu disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pemerintahan penjajahan. Status ini pula yang kemudian diakui dan diberi payung hukum oleh Soekarno, Presiden pertama RI.

“Tentang masalah keistimewaan ini harusnya tidak dilihat sebagai sebuah pembahasan soal Yogya saja, tetapi bagaimana sebuah bangsa mengapresiasi sejarah kelahiran negrinya sendiri,” ucap Romo Banar. Baginya, pembahasan soal keistimewaan Yogya adalah sebuah pembahasan komprehensif yang juga harus melibatkan pembicaraan tentang Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Artinya, ketika berbicara tentang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tentu tidak bisa jika tidak membicarakan soal Indonesia, begitu juga sebaliknya.

Sultan Hamengku Buwono X pun sempat menegaskan bahwa persoalan Keistimewaan Yogyakarta bukan sebatas masalah politik, konstitusi atau hukum, tetapi ini adalah persoalan peradaban. Persoalan peradaban ini pun secara konstitusional telah diakui. Dalam UU No 32 Tahun 2004, Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, "Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini". Sehingga Undang-Undang ini pun sejalan dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang".

Yogya Kini dan Kedepannya

“Kini Yogya sedang menunggu pemerintah pusat berkeputusan,” ucap Inung Nurzani, salah seorang dari ribuan warga Yogya yang turut terlibat dalam Komite Independen Pengawal Referendum. Menurut dia, jika keputusannya adalah pemilihan maka sudah bisa diyakinkan Yogya akan bergolak. “Paling tidak, para warga yang sudah mendaftar menjadi relawan referendum ini akan bergerak,” imbuhnya.

Pada pertemuan di kantor DPRD tanggal 8 Desember yang lalu, sejumlah ormas dan, paguyuban kepala Dukuh dan perangkat desa se-Yogyakarta seperti Ismoyo dan Semar Sembogo juga bersepakat untuk mendukung opsi penetapan dan akan melakukan aksi boikot jika pemerintah tetap melakukan pilkada. Sikap ormas itu pun diamini oleh salah seorang anggota DPRD, bahwa DPRD Yogya tidak menganggarkan dalam APBD pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Bagi Inung, Roma Banar, Ismoyo, Semar Sembogo atau ribuan warga lainnya, Yogya adalah salah satu provinsi di Indonesia yang amat istimewa, bukan hanya dari latar sejarahnya, tetapi juga karena pada konteks kekinian, Yogya pun memiliki prestasi yang membanggakan serta terukur.

“Tahun lalu, Yogya berada di urutan pertama sebagai provinsi dengan tingkat korupsi paling rendah. Masyarakat Yogya juga memiliki harapan hidup tinggi hingga usia 70 tahun. Tingkat disiplin institusi pendidikannya pun tinggi. Yogya juga mendapat apresiasi dari badan Koordinasi Penanaman Modal. Dan yang tidak bisa dikesampingkan, Yogya juga memiliki 90 persen Kopertis dari seluruh wilayah di Indonesia, ini artinya administrasi bidang pendidikan di Yogya bisa dijadikan jaminan,” papar Romo Banar. Dari berbagai prestasi itu, maka seharusnya pemerintah pusat dapat melihat bahwa status keistimewan Yogya selama ini tidak pernah menjadi hambatan bagi kemajuan pemerintahan Yogya. “Lalu apa titik berangkat dari ucapan Presiden itu. Sepertinya ada agenda dari pemerintahan pusat untuk mempreteli kepemimpinan politik serta kepemimpinan kultural di Yogyakarta,”ungkap Romo Banar.

Padahal, lanjut Romo Banar, saat ini, dan kedepannya, pemerintah harus bisa bersikap bijak dan mengakomodir kekhasan tiap-tiap daerah yang ada di Indonesia. “Sudah saatnya pemerintah betitik tolak dari kepemimpinan politk yang berakar pada grass root,” ucapnya. Artinya, pemerintah mau dengan rendah hati mengambil berbagai kebijaksaanaan lokal yang telah ratusan tahun hidup dan dihidupi oleh masyarakat Nusantara. Dengan sikap seperti itu, maka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan bagian dari sejarah Indonesia, kedepannya dapat terus hidup tentram sebagai bagian dari Republik tercinta ini. “Jika tidak, maka bisa-bisa pemerintah pusat dipencundangi oleh sikap arogannya itu sendiri,” tegasnya.

Polemik tentang keistimewaan yang telah menimbulkan gejolak dari berbagai kalangan di Yogyakarta ini adalah salah satu tantangan bagi eksistensi Kraton Ngayogyakarta Hadinginrat. Sebuah tantangan yang harus dijawab dengan bijak oleh pihak Kraton juga pemerintah yang sejatinya adalah payung besar untuk masing-masing warganya. Bagi Sultan Hamengku Buwono X sendiri, saat ini ia merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan yang membutuhkan sikap berhati-hati untuk mencermatinya. Karena bagi Sultan, Keistimewaan Yogyakarta adalah sebuah identitas etnik yang menunjukkan kearifan lokal dalam proses berbangsa.


Referensi:
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Depok: Komunitas Bambu, 2009.
www.tempointeraktif.com, Sultan: Keistimewaan Yogya adalah Soal Peradaban, Kamis 02 Desember 2010.

DIPOSTING OLEH LUCIA DIANAWURI DI 8:35 PM

Kalau Pengen Tahu Istimewanya Keraton Jogjakarta, Baca Ini Dong…

Apa sih istimewanya keraton jogjakarta ? banyak daerah lain di Indonesia yang memiliki keraton. Berikut adalah sedikit cerita mengenai Istimewanya keraton jogjakarta tersebut.

Keraton ( istana ) Kesultanan Yogyakarta terletak dipusat kota Yogyakarta. Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat ini ini merupakan sebuah rawa dengan nama Umbul Pacetokan.

Kemudian dibangun oleh Pangeran Mangkubumi menjadi sebuah pesanggrahan dengan nama Ayodya.Pada tahun 1955 terjadilah perjanjian Giyanti yang isinya membagi dua kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dibawah pemerintah Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta dibawah pemerintah Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.



Pesanggrahan Ayodya selanjutnya dibangun menjadi Keraton Kasultanan Yogyakarta . Keraton Yogyakarta berdiri megah menghadap ke arah utara dengan halaman depan berupa alun- alun ( lapangan ) yang dimasa lalu dipergunakan sbg tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit, dan tempat penyelenggaraan upacara adat. Pada tepi sebelah selatan Alun- alun Utara , terdapat serambi depan istana yang lazim disebut Pagelaran. Ditempat ini Sri Sultan, kerabat istana dan para pejabat pemerintah Keraton menyaksikan latihan para prajurit atau beberapa upacara adat yang diselenggarakan di alun – alun utara.



Dihalaman lebih dalam yang tanahnya sengaja dibuat tinggi ( sehingga disebut Siti Hinggil ), terdapat balairung istana yang disebut bangsal Manguntur Tangkil. Ditempat ini para wisatawan dapat menyaksikan situasi persidangan pemerintahan Keraton jaman dulu, yang diperagakan oleh boneka – boneka lengkap dengan pakaian kebesaran. Keraton sebagai pusat pemerintahan dan Keraton sbg tempat tinggal Sri Sultan Hamengku buwono beserta kerabat istana, dipisahkan oleh halaman dalam depan yang disebut Kemandungan utara atau halaman Keben, karena disini tumbuh pohon yang dalam tahun 1986 dinyatakan Pemerintah Indonesia sbg lambang perdamaian , dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Internasional.



Didalam lingkungan Keraton sebelah dalam terdapat halaman Sri Manganti dengan regol ( gapuro ) Danapratopo yang dijaga sepasang Dwarapala : Cingkarabala dan Bala Upata, Bangsal Traju Mas, Bangsal Sri Manganti yang kini dipergunakan untuk menyimpan beberapa perangkat gamelan antik dan dari masa silam, yang memiliki laras merdu sewaktu diperdengarkan suaranya. Didalam halam Inti yang terletak lebih kedalam,para wisatawan dapat menyaksikan gedung Kuning yang merupakan gedung tempat Sri Sultan beradu, bangsal Prabayekso. Bangsal manis, tempat Sri Sultan menjamu tamu – tamunya, lingkungan Kasatriyan sbg tempat tinggal putera putera Sri Sultan yang belum menikah. Tempat terakhir ini terlarang bagi kunjungan wisatawan.



Keraton merupakan sumber pancaran seni budaya jawa yang dapat disaksikan melalui keindahan arsitektur dengan ornamen- ornamennya yang mempesonakan. Setiap hari Keraton terbuka untuk kunjungan wisatawan mulai pukul 08.30 hingga pukul 13.00, kecuali hari Jumat Keraton hanya buka sampai dengan pukul: 11.00.



Hal apa lagi yang membuat istimewanya keraton Jogjakarta ini dibanding keraton-keraton lain di nusantara ini, untuk saat ini?

Keraton jogja merupakan salah satu dari banyak keraton yang tersebar di penjuru nusantara ini. Keraton jogja bisa dibilang paling istimewa dibanding keraton lain yang ada, kenapa? Karena masih sampai sekarang, bertahan dalam budaya modern yang ada. Keraton lain juga banyak yang masih bertahan. Tapi keraton keraton yang lain itu tidak bisa mempertahankan eksistensi budaya sebagai tempat yang dijadikan tempat memerintah sebuah wilayah. Mungkin hanya tinggal keraton Yogyakarta yang memiliki keistemawaan seperti itu. Memiliki keistemewaan sebagai tempat yang dihormati penduduknya, sebagai tempat tinggal kepala pemerintahan. Jarang jarang ada keraton yang seperti ini kan,..

Istimewanya lagi, begitu banyak pendatang yang memasuki kota Jogjakarta, begitu banyak budaya yang meng infiltrasi budaya keraton Jogjakarta, tapi sampai sekarang budaya itu masih bertahan.



Bisa kita lihat pada waktu kerusuhan mei 1998, begitu banyak massa yang mulai brutal, massa yang berasal dari banyak budaya dari seluruh Indonesia, massa yang sebagian besar terdiri dari anak muda yang egonya meledak ledak. Tapi Sri Sultan HB X bisa menenangkan mereka semua yang ada. Jadi Jogjakarta menjadi tempat yang aman sepanjang kerusuhan mei 1998 itu, hanya sedikit kejadian yang tidak bisa dibandingkan dengan aman nya situasi yang ada.

Keraton jogjakarta masih bertahan sebagai tempat yang dihormati baik sebagai tempat budaya dan politik oleh masyarakat yogyakarta yang datang dari banyak wilayah lain di indonesia menjadikan keraton ini sangat istimewa.

Minggu, 23 Januari 2011

Tyasno Sudarto : Tak Hargai Istimewa DIY= Tak Paham Sejarah

YOGYA (KRjogja.com) - Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto mengatakan pemikiran keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bila pemerintah pusat tidak mengikuti kemauan masyarakat DIY terkait keistimewaan bukan pilihan tepat.

"Pemikiran itu justru pemikiran yang berbahaya, karena bisa memunculkan negara-negara federal di Indonesia," kata Tyasno saat Sarasehan Kebangsaan Yogyakarta Istimewa untuk Indonesia di Gedung Widyamandala Yogyakarta, Minggu (16/1).

Menurut dia, pilihan yang justru tepat untuk dilakukan dalam menyikapi pemerintah pusat apabila tidak mengikuti kemauan masyarakat Yogyakarta adalah meminta pemerintah pusat untuk turun.

"Ini saya pertanggungjawabkan. Siapa yang tidak menghargai keistimewaan Yogyakarta berarti tidak memahami sejarah, pihak tersebut juga tidak memahami budaya, tidak mengerti tentang NKRI," kata Tyasno.

Masyarakat Yogyakarta juga perlu terus menggalang kesatuan dan persatuan sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang nantinya justru akan membuat perpecahan, karena sudah banyak intrik masuk yang berusaha memecah masyarakat Yogyakarta.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu juga mengingatkan bahwa mengusik-usik keistimewaan Yogyakarta, sama halnya dengan bermain pisau bermata dua, yaitu mengubah demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal, sedang sisi lainnya adalah menjadikan negara-negara federal di Indonesia.

Di dalam demokrasi Pancasila, lanjut Tyasno, sebuah keputusan tidak harus dilakukan berdasarkan pemilihan, namun semua keputusan dilakukan berdasar musyawarah mufakat dari seluruh masyarakat.

Hal ini seperti halnya dalam penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Sri Paduka Paku Alam (PA) yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur.

"Itu sudah merupakan hasil permufakatan dari masyarakat, sehingga tidak perlu lagi diusik-usik," katanya.

Keistimewaan DIY, lanjut dia juga tidak hanya sekadar sejarah tetapi juga mempertahankan ide, falsafah, kepribadian bangsa sebagai landasan NKRI.

Sementara itu, kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyohadikusumo mengatakan, masyarakat Yogyakarta termasuk raja dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak pernah berkhianat kepada NKRI, termasuk saat terjadi tatanan pemerintahan di Indonesia pada masa reformasi 1998.

"Pada 20 Mei 1998, masyarakat Yogyakarta melakukan pisowanan agung untuk menyikapi kepentingan nasional," katanya. (AntTom)

warta keistimewaan edisi 1

Minggu, 16 Januari 2011

RUUK DIY Dibahas Komisi II DPR;Demokrat Kota Pro Penetapan

14/01/2011 08:10:12 YOGYA (KR) - Berbeda dengan lainnya di provinsi dan kabupaten/kota, Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Yogyakarta menyatakan mendukung penetapan Sultan dan Paku Alam yang bertahta menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY masuk dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK DIY). Dengan sikap ini, maka DPRD Kota Yogyakarta dalam Rapat Paripurna (Rapur), Kamis (13/1) secara bulat mendukung penetapan. Dalam Rapur yang dihadiri Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur KGPAA Paku Alam IX, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dan sejumlah pejabat di jajaran Pemkot, para anggota melakukan tanda tangan sebagai bukti dukungan terhadap penetapan. Suasana Rapur yang dipimpin Ketua DPRD Kota, Henry Kuncoroyekti berjalan lancar, berbeda dengan Rapur di kabupaten lain yang diwarnai kecaman kepada Partai Demokrat yang menolak penetapan. Kali ini, mereka justru dipuji karena keberanian untuk menyatakan mendukung penetapan. Sementara di Jakarta dikabarkan, poembahasan RUUK DIY dilakukan di Panja Komisi II. Dengan keputusan ini, maka pembahasan RUUK tidak dilakukan di Panitia Khusus (Pansus). ”Saya yakin ini akan memberikan strugle politik yang cukup tinggi. Pembahasan tetap di Komisi II DPR karena ini menjadi tugas dan kewenangan Komisi II DPR,” ujar Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Panja sendiri akan dibentuk tanggal 20 Januari mendatang. Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo akan memimpin Panja ini. Dalam Rapur di DPRD Kota Yogya kemarin, tidak mengagendakan pandangan fraksi dan hanya menyatakan kebulatan tekad. Namun ketika akan ditutup, salah satu anggota dari FPDIP, Sujanarko mendesak dilakukannya pandangan fraksi yang kemudian akhirnya disetujui. Dalam pandangannya, Juru Bicara Fraksi Partai Demokrat, Marwoto Hadi semakin menegaskan bahwa fraksinya mendukung keistimewaan Yogyakarta berdasarkan aspek yuridis, historis dan filosofis. Selain itu pihaknya juga berkomitmen untuk mengawal pembahasan RUUK, menyampaikan aspirasi warga Kota Yogya ke pusat dan mendukung penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam bertahta menjadi gubernur dan wakil gubernur seumur hidup. ”Saya minta kepada rekan-rekan Fraksi Demokrat yang saat ini hadir semuanya untuk berdiri sebagai wujud dukungan kita pada penetapan keistimewaan,” tegas Marwoto disambut sorak dan tepuk tangan. Meski demikian, ketika dikonfirmasi usai rapur, seluruh anggota Fraksi Demokrat enggan memberikan keterangan lebih lanjut. ”Kami no comment dahulu, semuanya kami serahkan pada pimpinan dewan,” ujar Ketua Fraksi Demokrat, Danang Wahyu Broto sambil berlalu pergi. Senada dengan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat, Sinarbiyat Nujanat juga menyatakan hal serupa. ”Pokoknya sikap kami ya sudah jelas sampaikan dalam pandangan umum fraksi kami di rapur. Selanjutnya kami akan coolling down dahulu,” jelasnya. Sedangkan Sultan menyatakan terimakasih dan memberikan selamat kepada semua fraksi, termasuk Fraksi Demokrat yang telah menyampaikan pendapatnya dengan penetapan. ”Ya karena Kota Yogyakarta kan memang berbeda dengan yang lain. Kalau soal perbedaan itu (Demokrat-red), ya tanyakan saja pada Fraksi Demokrat, mosok tanya sama saya,” ungkap Sultan. Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti menyatakan legislatif sudah berusaha mengakomodir aspirasi warga Kota Yogyakarta. Ditanya mengenai berubahkan mekanisme pelaksanaan rapur, secara pribadi ia menyatakan kekecewaanya. Meski demikian ia merasa puas karena bisa mengakomodir aspirasi masyarakat. Pada rapat paripurna tersebut juga dihadiri oleh ratusan masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Mataram Binangun (GRMB) dan menyajikan beragam atraksi budaya seperti nyanyian dan tarian tradisional. Sementara di DPR RI, Badan Musyawarah (Banmus) memutuskan bahwa pembahasan Anggota Komisi II DPR dari FPG Nurul Arifin yang juga calon anggota Panja menuturkan pembicaraan di Panja akan berkutat di posisi gubernur. Nurul menuturkan akan banyak sekali perdebatan terkait posisi strategis tersebut. Secara terpisah, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengakui kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang demikian berkuasa pada zamannya, tapi masih memikirkan kemajuan perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan diberikannya tanah yang luas yang menjadi tempat perempuan berkiprah untuk maju dan setara secara jender. ”Karena itu Kowani tetap mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono X yang sedang memperjuangkan keistimewaan DIY. Sebab sejarah adalah sejarah yang tak bisa dilupakan begitu saja,” tandas Ketua Umum Kowani Pusat Dr Dewi Motik dalam puncak peringatan HUT Yayasan Hari Ibu (YHI) Kowani di Balai Shinta Mandala Bhakti Wanitatama, Kamis (13/1). Peringatan dihadiri pula tokoh perjuangan perempuan Ny Imam Sudiyat dan tokoh perempuan DIY lain seperti BRAy Poeger, Ny Sri Hartami Brotomulyono SH dan yang lain. Dalam laporan Ketua Panitia Peringatan HUT YHI Kowani ke-57, Hj Toeti Indarsih Loekman mengemukakan, serangkaian kegiatan telah dilaksanakan dalam memperingati ulangtahun. Selain ziarah ke TMP, lomba juga memberikan bantuan pada korban erupsi Merapi termasuk menyediakan fasilitas laundry bekerjasama dengan TP PKK DIY. ”YHI Kowani bekerjasama dengan Yayasan Palem juga menghijaukan lereng Merapi dengan 12.350 batang pohon yang penanaman simbolis dilakukan di Petung Kepuharjo oleh Dr Dewi Motik, Kamis (13/1). Ada tanaman petai cina, durian, jati dan buah-buah lainnya,” jelas Toeti I Loekman. (M-1/Sim/Mgn/Fsy)

Dukung Penetapan Sultan Sebagai Gubernur: Demokrat Kota Terancam Sanksi

15/01/2011 08:23:33 YOGYA (KR) - Keberanian Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Yogyakarta untuk mendukung penetapan Sultan dan Paku Alam bertahta menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur masuk dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY ternyata disesalkan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat DIY. Sanksi bisa diberikan karena dukungan terhadap partai dianggap melanggar garis partai. ”Saya sangat menyesalkan sikap FPD dalam rapat paripurna (Rapur) DPRD Kota, itu di luar dugaan saya. Sebelum Rapur DPRD Kota Yogyakarta, saya sudah berkomunikasi dengan Ketua DPC PD Kota dan saya ingatkan bahwa sikap FPD harus satu dengan garis partai, yang sama mulai dari DPP, DPD hingga DPC. Namun instruksi kami tidak dilaksanakan,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat (PD) DIY H Sukedi di Gedung DPRD DIY, Jumat (14/1) menanggapi sikap Fraksi Demokrat DPRD Kota dalam Rapur soal sikap RUUK, Kamis (13/1). DPD sangat menyesalkan sikap yang diambil Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPRD Kota Yogyakarta, yang menyatakan dukungan terhadap mekanisme penetapan kepala daerah di DIY. Sikap tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap garis partai dan pihak DPD telah melaporkan kejadian itu kepada Dewan * Bersambung hal 7 kol 3 Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD). Sukedi mengungkapkan, ia telah memanggil pengurus DPC PD Kota pada Kamis (13/1) sore seusai Rapur DPRD Kota. Ia menegaskan, partai tidak bisa menerima alasan DPC bahwa mereka mengambil sikap karena mempertimbangkan aspirasi konstituen dan takut ditinggal pengurus anak cabang (PAC). ”Partai tidak bisa menerima alasan DPC, karena mereka telah menyimpang dari aturan organisasi. Dalam partai politik hanya ada satu garis kebijakan yang sama dari pusat sampai ke bawah. Saya telah mengirimkan laporan kepada DPP mengenai sikap DPC PD dan FPD Kota Yogyakarta,” katanya. Dikatakan, garis kebijakan PD mengenai keistimewaan DIY sangat jelas, yaitu keistimewaan DIY adalah final, lalu Gubernur Sultan HB X dan Wakil Gubernur Paku Alam IX masih yang terbaik. ”Kalau masalah pemilihan atau penetapan, kami kan masih menunggu UU Keistimewaan yang sedang dibahas di DPR RI. Kami ngikut aja kok,” ujarnya. Ketua FPD DPRD DIY Putut Wiryawan mengatakan, sikap FPD DPRD Kota telah menyimpang dari garis partai, karena fraksi merupakan kepanjangan tangan dari partai. Ia menolak sinyalemen bahwa penyimpangan itu menunjukkan kelengahan dan kurangnya koordinasi di tubuh PD. Kamis (13/1) pagi sebelum Rapur, Ketua DPD sudah berkomunikasi dengan Ketua DPC Kota dan memerintahkan agar sikap FPD Kota sama dengan sikap yang diambil FPD DPRD Provinsi DIY. Tapi instruksi itu tak dijalankan ke DPC Kota. Kalau FPD Kota tidak berani menyampaikan itu, mereka tak perlu datang di Rapur. Tapi yang terjadi, mereka tidak tunduk pada perintah Ketua DPD,” tuturnya. Putut menambahkan, pelanggaran garis partai tersebut bisa berujung pada sanksi pemecatan sebagai kader partai. ”Sanksi yang terberat adalah dipecat. Penilaian itu nanti akan diambil DPP, kita hanya melaporkan melalui ketua DPD,” ujarnya. Terpisah, Direktur Parliament Watch Indonesia (Parwi) B Hestu Cipto Handoyo kepada KR menilai sikap FPD Kota merupakan sebuah langkah aman untuk menghindari sikap antipati masyarakat Kota Yogyakarta dengan partainya. Momen Pemilukada September mendatang juga memegang peranan penting atas keberanian dari sikap FPD Kota Yogyakarta. Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh secara tegas menyatakan dukungan terhadap mekanisme pengisian kepala daerah di DIY dengan sistem penetapan. Parlemen Aceh menilai sistem penetapan tidak menyalahi prinsip demokrasi dan dilindungi dalam konstitusi RI. Dukungan itu disampaikan dalam kunjungan kerja Komisi A DPR Aceh ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY di Gedung Pracimosono Kepatihan, Jumat (14/1). (R-3/M-1)-b

Selasa, 11 Januari 2011

Emosi SBY dan Sri Sultan HB X

Masyarakat Yogyakarta menunjukkan kemarahan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berbagai stiker bermunculan yang menyuarakan rakyat Yogyakarta siap referendum, menentukan sikap terhadap masa depan Kesultanan Yogyakarta. Kegerahan masyarakat Yogya ini muncul sebagai reaksi atas pernyataan SBY yang secara tidak langsung diinterpretasikan menuding pemerintahan Yogyakarta saat ini tidak demokratis dan menerapkan system monarki.



Kemarahan rakyat Yogyakarta itu diawali oleh reaksi Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang membantah pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta menerapkan system monarki dan apalagi disebut bertentangan dengan demokratis. Sri Sultan menyatakan, dirinya sebagai Gubernur DIY sama saja dengan gubernur yang ada di seluruh Indonesia, yaitu bertanggungjawab kepada pemerintah pusat dan pemerintahannya juga dilengkapi dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan berbagai perangkat pemerintahan lainnya sebagaimna pemerintahan daerah yang ada di republik ini.

Ada apa sesungguhnya dari pernyataan SBY tentang DIY ini? Secara faktual, SBY bicara soal DIY karena pemerintah akan menyerahkan draf RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang DIY yang sebetulnya sudah sejak lama akan diajukan ke DPR. Lantas, apakah substansi RUU itu menyangkut masalah system monarki dan demokrasi? Tampaknya, melihat polemik yang muncul, tanpa disadari SBY telah membuka ke publik tentang ketidakharmonisan hubungan dirinya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Oleh karena itulah, kini publik sudah tahu bahwa hubungan SBY-Sri Sultan HB X benar-benar sedang tidak serasi, selaras dan seimbang atau ringkasnya tidak harmonis. Sepanjang data yang terungkap selama era reformasi sekarang ini, hubungan SBY-Sri Sultan HB X dalam pentas elit nasional memang kurang terlihat begitu mesra, terlebih ketika berlangsung ajang persaingan pemilihan Presiden 2004 dan 2009.

Bahkan ketika awal reformasi, SBY-Sri Sultan bukanlah dua tokoh satu kelompok yang selalu disejajarkan dalam pembicaraan publik. Bila kita membuka lembaran pemberitaan media dalam awal reformasi 1998 – 2001, elit yang banyak disejajarkan adalah Sri Sultan bersama Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan KH Abdurrahman Wahid yang kala itu popular dengan sebutan tokoh kelompok Ciganjur. Nama SBY baru mencuat dan mulai disejajarkan dengan tokoh Ciganjur tersebut ketika ikut dalam bursa Wakil Presiden, pasca pemerintahan Gus Dur. Hal itupun baru mencuat ketika SBY mundur dari Kabinet Megawati menjelang Pilpres 2004.

Melihat realitas masa lalu itu, Sri Sultan HB X masa era kepemimpinan SBY memang tidak mengedepankan dirinya sebagai seorang Gubernur DIY yang harus tunduk kepada Presiden tetapi lebih menampilkan sosok dirinya sebagai tokoh sebagaimana seperti Amien Rais dan Megawati. Kita tahu, Amien Rais dan Megawati terlepas dari posisi mereka sebagai tokoh partai politik, juga memposisikan sebagai tokoh publik yang ikut menggulirkan dan memiliki peran utama dalam gerakan reformasi.

Sikap Sri Sultan HB X yang seolah menjaga jarak dengan kepemimpinan SBY sesungguhnya adalah sesuatu yang dapat dimaklumi dalam konteks kesejarahan, termasuk posisi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Kita sekarang ini melalui pemberitaan media dapat mengetahui peran DIY dalam sejarah berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Boleh dikatakan, tidak ada yang dapat membantah peran DIY dalam perjuangan kemerdekaan RI. Dapat juga diketahui, peran Sri Sultan HB IX, ayahanda Sri Sultan sekarang dalam mengambil sikap, keputusan berkomitmen untuk NKRI. Padahal patut diketahui, kesultanan Yogyakarta sangat terkait dengan sejarah Kerajaan Mataram yang terutama menguasai Pulau Jawa sehingga sampai saat ini Sri Sultan disebut pula sebagai satu-satunya Raja Jawa yang masih ada.

Tampaknya dengan pernyataanya soal demokrasi dan monarki, SBY lebih melihat Sri Sultan sebagai Gubernur DIY yang harus “tunduk” kepada dirinya sebagai Presiden RI. Sementara Sri Sultan sendiri lebih memposisikan diri sebagai pemimpin Kraton Yogya yang secara kultural tidak merasa perlu “tunduk” kepada SBY. Hal ini dapat dinilai dari berbagai pernyataan Sri Sultan menyikapi berbagai persoalan nasional, termasuk bergabungnya dia dalam “ormas” Nasional Demokrat bersama Surya Paloh. Oleh karena itu, ketika draf RUU DIY mau digulirkan, SBY seolah memberi warning kepada Sri Sultan tentang sikapnya yang cenderung tidak “tunduk” tersebut.

Lantas, mengapa masyarakat Yogya marah ketika SBY menyinggung tentang soal demokrasi dan monarki? Apakah karena sebelumnya Sri Sultan HB X telah menunjukkan jawaban cukup emosional terhadap tudingan SBY itu? Boleh jadi hal itu demikian, sebagai bentuk mendukung Sri Sultan HB X. Namun lebih dari itu, rakyat Yogya juga protes dalam arti sesungguhnya, membantah soal isu demokrasi dan monarki. Protes itu bukan sekadar sikap emosional tetapi dengan nalar, argumentasi dan berdasarkan fakta yang ada. Mereka yang unjuk protes secara lantang itu juga termasuk para kaum intelektual, akademisi berbagai perguruan tinggi di DIY, termasuk juga Universitas Gadjahmada.

Hebatnya lagi mereka yang memprotes pernyataan SBY juga dari mereka yang pernah tinggal di Yogya tapi sudah lama berkiprah di luar Yogya. Mereka membantah SBY, jika dikatakan demokrasi dapat bertabrakan dengan monarki, apalagi monarki ala Yogya sekarang ini. Bahkan dengan celetukan, ada yang menyebut, koq SBY menyamaratakan semua monarki dalam arti negatif, melupakan masih eksisnya system monarki seperti Inggeris yang demokratis? Apakah SBY secara emosional sengaja mengusik pribadi Sri Sultan HB X dengan menuding sebagai monarki absolute karena masa jabatan gubernur DIY yang dipegang seolah seumur hidup dan diwariskan kepada keturunan Sri Sultan?

Terlepas dari semua itu, monarki atau bukan, apa yang ada di Yogayakarta sekarang ini, banyak disebut oleh kalangan intelektual, terutama yang pernah tinggal di Yogya, merupakan suatu contoh kehidupan masyarakat Indonesia paling ideal. Bila ingin melihat kebhinekaan, semangat pluralism, jauh dari primordialisme dan sektarianisme, maka lihatlah Yogyakarta. Gubernur DIY boleh Sri Sultan, namun jajaran pemerintahannya tidaklah didominasi orang DIY asli, apalagi harus orang Jawa. Bupati pun di DIY bisa bukan orang Jawa. Coba juga lihat mereka yang pernah jadi Rektor UGM, tidak selalu orang Jawa, tapi pernah orang Aceh, NTT, dan lainnya. Bandingkan dengan Rektor PTN di luar DIY, apalagi sekarang ini. Bila ingin melihat kehidupan Indonesia yang harmonis, jauh dari konflik, perhatikanlah kehidupan masyarakat di Jl Malioboro yang penuh ragam, keriuhan yang tanpa gejolak.

Jadi selama ini, Sri Sultan HB X boleh-boleh saja adalah Gubernur DIY namun kehidupan Yogyakarta adalah milik rakyatnya, rakyat Indonesia. Yogyakarta daerah terbuka, dimukimi oleh siapa saja rakyat Indonesia asal manapun. Lewat ikon kota (daerah) pelajar dan wisata, siapapun boleh tingal di Yogya. Sebagaimana dikatakan ayahandanya, Sri Sultan HB IX, pahlawan nasional yang pernah menjabat Wakil Presiden: “tahta untuk rakyat.” Inilah sesungguhnya demokrasi, Sri Sultan sudah menyerahkan kedaulatannya kepada rakyat. Sri Sultan sebagai pemimpin Kraton Yogya lebih banyak bersifat mengayomi daripada unjuk kekuasaan.

Artinya, pernyataan SBY memang wajar mengundang reaksi tajam, dan tidak salah kalau ada yang menyebut pernyataannya itu menunjukkan tidak atau kurangnya penghayatan SBY terhadap sejarah NKRI yang terkait Yogyakarta. Lebih dari itu, SBY hanya menunjukkan emosi ketersinggungan melihat langgam kepemimpinan Sri Sultan HB X yang lebih menonjolkan pemimpin Kraton secara kultural ketimbang sebagai Gubernur DIY. Mudah-mudahan saja, soal ketersinggungan ini hanyalah karena komunikasi politik yang patut untuk dibenahi. SBY mau tidak mau patut belajar para pendahulunya, terutama Bung Karno dan Pak Harto, dua pemimpin yang lama berkuasa namun arif dalam menyikapi DI Yogya dan Sri Sultan.

(Penulis Alumni Sekolah Pascasarjana UGM).

mensikapi perseteruan SBY – Yogya : jika yogyakarta jadi negara sendiri maka…

kalo jogja jadi negara sendiri maka….
» Kalo jogja jadi negara sendiri, PD jadi partai terlarang
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, dari Solo deket ke luar negeri
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, Sunat di Bogem musti bawa Paspor )
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, udah punya bukit di negara bagian Mbantul!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, Ratu Laut Selatan boleh deh jadi Panglima Angkatan Laut. *eh? *ngapunten, Ibu
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, jangan bikin isu Reaktor Nuklir di kawah Merapi lho ya!!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, hubungan diplomatik pasti canggih. Banyak diplomat! Diploma 1, 2, 3
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, Prameks Solo berhenti di Kalasan. Ganti Prameks Jogja. Semua diperiksa paspor
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, banyak mahasiswi asing dong, dong, dong *asyeeeeek*Kalo » Jogja jadi negara sendiri, Kompas nyesel pindah dari Bernas. Jadi kantor berita asing tuh
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, Obama teriak,”Gudeeeg! Bakpia! Semua enak!”
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, wartawan Indonesia paling kemaki. Liputan Merapi aja nulisnya: Laporan dari Mancanegara!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, DPR RI studi banding ke Sarkem boleh gak? Boleh, boleh, boleh…
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, plat AB dilarang di Indonesia. Dianggap subversif. AB = Anti Beye. *eh?
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, DPP Muhammadiyah langsung rapat besar. Kantor di Kauman gimana? Nah!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, Boediono makin bangga bilang: “Saya orang UGM! lulusan luar negeri!!”
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, helm-nya cukup blangkon! Motoran pake jarik awas kesrimpet!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, jangan lagi ada ide mindah ibukota RI dari Jakarta ke Jogja. Jujur, itu ide mumet!
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, orang Jogja di luarnegeri kemaki: “I am from NY.” “New York?” “Yes. New-Yorkarto.”
» Kalo Jogja jadi negara sendiri, kantor2 Kedubes di mana? Di Gunung Kidul aja. Bule suka yg panas. Renang deket laut.

wkwkwkwkwkkwk….

AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN

AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kamipegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden RepublikIndonesia.

4.Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat,
28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

Asal mula Keistimewaan Yogyakarta

Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat antara Istana dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana referendum mengemuka. Sultan meminta keputusan penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung harus disepakati melalui referendum. Pemerintah dan DPR, kata Raja Yogyakarta itu, tak bisa menentukan itu sendiri.

Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan? Pada Jumat 26 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi.

Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi,” kata SBY. Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah). Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.

Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”.

Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.

Penetapan, Esensi Keistimewaan ; Wayang Republik ’Yogya Istimewa’ Memukau

12/01/2011 08:36:33 YOGYA (KR) - Keistimewaan Yogyakarta adalah pada sistem nilai yang baku, jiwa merdeka dan demokratis yang menyatu antara rakyat dan pemimpinnya. Karena itu keistimewaan Yogyakarta tidak boleh lepas dari kepemimpinan daerah, dimana Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Paku Alam (PA) yang bertahta tetap pada kedudukan sebagai pimpinan di daerah itu. Simpulan itu terangkum dalam Dialog Budaya dan Gelar Seni ‘Yogya Semesta’ dengan topik ‘Yogyakarta Memang Istimewa’ di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Selasa (11/1) malam. Diskusi menghadirkan pembicara guru besar Sejarah FIB UGM Prof Dr Suhartono Wiryopranoto, pakar sejarah dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma Dr G Budi Subanar, serta pemerhati dan peneliti sejarah keistimewaan Yogyakarta HM Jazir ASP. * Bersambung hal 7 kol 4 Acara yang dipandu pimpinan Gerakan Rakyat Mataram (Geram) Widihasto Wasana Putra dan pengasuh ‘Yogya Semesta’ Hari Dendi itu diselingi pergelaran wayang revolusi, dengan lakon ‘Yogyakarta Memang Istimewa’ oleh Ki Catur ‘Benyek’ Kuncoro. HM Jazir mengungkapkan, keistimewaan Yogyakarta dengan sistem penetapan adalah kehendak rakyat, bukan semata-mata kemauan elite politik untuk mendapat dukungan. Menurutnya, daerah yang mendapatkan status daerah istimewa dan piagam kedudukan tidak hanya Yogyakarta, tapi juga Surakarta. Namun keistimewaan yang diberikan pemerintah itu ditolak oleh rakyat Surakarta. ”Di Solo timbul pergolakan rakyat anti-swapraja yang memaksa pemerintah mengeluarkan penetapan No 16/1946 tentang dihapuskannya Surakarta sebagai daerah swapraja. Sebaliknya, rakyat Yogyakarta tak menolak, justru menghendaki keistimewaan itu. Maka ketika keistimewaan akan diubah, rakyat Yogyakarta bereaksi,” terang Jazir. Budi Subanar mengatakan, untuk memahami keistimewaan DIY tidak bisa melulu ditempatkan pada unsur pimpinannya (Sultan HB dan PA), tetapi juga unsur kedua yaitu lingkup masyarakatnya. Maka ketika keistimewaan mau digantikan dengan pemahaman dan praktik pemerintahan baru, reaksi yang muncul pertama justru dari kalangan masyarakat. (R-3/Cil)

Senin, 10 Januari 2011

TERBUKA, PELUANG RUUK DIY GAGAL ; Jabatan Gubernur Bisa Diperpanjang

11/01/2011 07:48:33 JAKARTA (KR) - Anggota Komisi II DPR Agus Purnomo SIP minta warga Yogyakarta sabar menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY yang akan dibahas oleh DPR RI. Sebab pembahasan tersebut, tidak melanjutkan pembahasan tahun sebelumnya, tapi harus dimulai dari awal. ”Kita berharap masyarakat Yogyakarta untuk bersabar dulu untuk melihat hasil akhir pembahasan RUUK tersebut,” katanya usai pembukaan Sidang Paripurna DPR RI Jakarta, Senin (10/1). Dijelaskan, pembahasan RUUK DIY rencananya baru dibicarakan setelah pada sidang Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang akan dilaksanakan Kamis (13/1) mendatang. Dari Bamus DPR tersebut akan menjadwalkan pembahasan agenda kerjanya selama setahun. ”Kebetulan RUUK DIY termasuk yang diprioritaskan untuk dibahas,” jelasnya. Sedangkan untuk menyerahkan pembahasan RUUK, masih belum jelas apakah akan dibahas melalui Komisi II atau panitia Khusus (Pansus). Jika dibahas di komisi II, ujar Agus yang politisi dari FPKS itu, pembahasannya akan cepat, paling tidak April mendatang sudah selesai. Namun jika melalui Pansus, akan memakan waktu lebih lama. Menurutnya, jika pembahasan melalui pansus ada dua kemungkinan, yaitu * Bersambung hal 7 kol 4 pansus besar dan pansus kecil. ”Tapi saya khawatir jika Demokrat meminta pansus besar, ini akan memakan waktu lebih lama. Sebab koordinasi fraksi lebih lama dan bahkan bisa mengulur-ulur waktu untuk melakukan negoisasi,” ujarnya. Padahal, tambahnya, RUUK Yogyakarta yang dibahas kali ini, bukanlah kelanjutan dari RUUK Yogyakarta sebelumnya yang gagal diluncurkan menjadi UU. Sebab draf yang diajukan oleh pemerintah banyak yang berubah, begitu juga orang-orang yang di DPR juga banyak yang baru. Sehingga pembahasan harus dimulai dari awal lagi. Dengan panjangnya masa pembahasan tersebut, diharapkannya masyarakat Yogyakaarta tetap sabar untuk menunggu hasilnya. Meski hasilnya itu sendiri masih belum jelas, apakah tuntutan penetapan dari masyarakat Yogyakarta bisa dipenuhi atau tidak. Jika tidak tercapai kesepakatan lagi, maka peluang RUUK DIY gagal menjadi UU juga cukup terbuka, karena pemerintah dari sejak awal sudah menginginkan adanya pemilihan dalam menentukan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika hal itu terjadi, ujar Agus, masa jabatan Gubernur untuk Sultan Hamengku Buwono X kemungkinan akan diperpanjang lagi untuk ke tiga kalinya. Meski sebelumnya Sultan Hamengku Buwono X pernah menolak untuk diperpanjang lagi, namun keputusan pemerintah, akan sulit untuk ditolak. Sebab tidak mungkin pemerintahan daerah Yogyakarta menjadi kosong. Sementara itu beberapa waktu lalu Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, juga mengharapkan masalah polemik RUUK Yogjakarta sebaiknya diselesaikan dengan kepala dingin. Ia menjelaskan, perbedaan pandangan memang wajar muncul di permukaan, karena hal ini merupakan proses terwujudnya Undang-Undang yang berkualitas. Berlarut-larutnya pembahasan RUUK DIY ini sangat disayangkan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Puteri. Karena pada akhirnya rakyat dipaksa untuk memilih antara kesetiaan kebangsaan atau kedaerahan. ”Ini merupakan sebuah ironi dalam pengelolaan kekuasaan negara, karena lunturnya pemahaman terhadap sejarah,” tegas Megawati saat menyampaikan orasi politiknya pada peringatan 38 tahun kelahiran PDIP di kantor DPP PDIP Jalan Raya Lenteng Agung Jaksel, Senin (10/1). Menurut mantan Presiden RI ini, adanya debat tanpa kesudahan kasus keistimewaan Yogyakarta itu juga menunjukkan bahwa di lahan demokrasi sedang menghadapi masalah. Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan merupakan garis yang jelas dalam membangun tatanan demokrasi di Indonesia. ”Yang kita saksikan sekarang justru sebaliknya. Kita berdemokrasi dengan sepenuhnya percaya pada keajaiban angka dan pencitraan belaka,” tegas Megawati. (Sim/Mgn/Edi)-a

Minggu, 09 Januari 2011

Kraton Siap Bertemu DPR Untuk Bahas RUUK;93.2% Warga DIY Pro Penetapan

31/12/2010 09:01:51 YOGYA (KR) - Pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY akan menjadi salah satu bentuk ketegangan hubungan pusat dan daerah pada tahun 2011. Bahkan permasalahan keistimewaan DIY mulai menjadi perdebatan sejak tahun 1998, kemudian berulang secara periodik setiap habis masa jabatan gubernur dan wakil gubernur. Setiap pembahasan mengenai keistimewaan dilakukan, selalu berujung runcing pada mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. ”Masyarakat DIY yang masih memiliki ikatan emosional secara sosial kultural dengan kraton akan sulit menerima bila raja mereka dikonteskan dalam pemilu. Hal itu diperkuat dengan adanya hasil penelitian laboratorium politik UMY yang menyatakan 93,2 persen warga DIY mendukung penetapan Sultan sebagai gubernur,” kata Eko Priyo Purnomo MSI MRes tim peneliti UMY dalam diskusi akhir tahun Otonomi Daerah, Pilkada * Bersambung hal 7 kol 1 dan Keistimewaan DIY dalam Bhineka Tunggal Ika di ruang sidang Fisipol UMY, Kamis (30/12). Selain Eko Priyo diskusi akhir tahun tersebut juga menghadirkan staf pengajar Tunjung Sulaksono SIP, dekan Fisipol UMY Dr Achmad Nurmadi MSc, Dian Eka Rahmawati MSi dan Ane Permatasari MSi dengan moderator Pemred SKH Kedaulatan Rakyat Drs Octo Lampito MPd. Menurut Eko, berdasarkan data yang ada dari 5 kabupaten/kota yang ada di DIY, wilayah loyalitas terhadap keistimewaan DIY yang paling tinggi berada di Kabupaten Gunungkidul mencapai 96 persen. Dalam penelitian tersebut tidak ada perbedaan antara responden yang berpendidikan rendah, sedang dan tinggi. Artinya adanya asumsi yang menyatakan bahwa yang mendukung penetapan adalah warga DIY yang berpendidikan rendah tidak benar. Dalam kesempatan itu Dian Eka menyatakan, Sultan dan Paku Alam hanya bisa menduduki jabatan politik di level lokal (Provinsi). Dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur yang otomatis melekat pada Sultan dan Paku Alam, tidak memungkinkan mereka bertarung di tingkat pusat dan meninggalkan jabatan gubernur. Sebab apabila hal itu dilakukan dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah baru untuk pengisian jabatan Gubernur. Untuk itu seandainya ingin berkiprah di level nasional, Sri Sultan dan Paku Alam lebih tepat sebagai figur negarawan dan bukan politisi. ”Mekanisme rekrutmen internal kraton untuk menentukan pengganti Sultan dan Paku Alam belum tentu mengakomodir sisi kapabilitas dan kompetensi calon, karena didasarkan pada silsilah. Artinya, pihak kraton memiliki kewajiban moral untuk menyiapkan pengganti yang kapabel dan kompeten sebagai gubernur dan wakil gubernur,” paparnya. Sementara Ane Permatasari mengungkapkan, setiap kali publik membicarakan tentang keistimewaan DIY selalu dikaitkan dengan pemilihan atau penetapan. Padahal keistimewaan DIY tidak hanya terkait dengan hal itu, tapi juga persoalan lain. Misalnya yang terkait pertanahan seperti Sultan Ground. Achmad Nurmandi menambahkan, desentralisasi politik di Indonesia tidak harus seragam, termasuk dalam Pilkada. Hal itu dikarenakan kondisi daerah satu dengan daerah yang lainnya tidak sama. Jika dipaksakan melakukan, dikhawatirkan justru menimbulkan persoalan baru. ”Saya kira pemilihan daerah secara langsung cukup bagus karena bisa mencerminkan sistem demokrasi. Tapi bukan berarti model tersebut bisa diterapkan disemua daerah di Indonesia,” tambahnya. Terpisah, GBPH Joyokusumo mengatakan, pada masa reses tidak ada rencana dari keluarga Kraton Yogyakarta untuk bertemu dengan anggota DPR RI kaitannya dengan pembahasan RUUK DIY. Justru kemungkinan besar pihak DPR RI yang akan memanggil keluarga Kraton Yogya setelah masa reses dan sidang awal pembahasan RUUK dilakukan di DPR RI. ”Kami siap, andai setelah sidang awal mengundang kami,” ujarnya usai menjadi pembicara diskusi di Aula KR, Kamis (30/12). Menurut Gusti Joyo, meski ada pertemuan antara Sultan dengan SBY beberapa waktu lalu, tetap saja keputusan ada di tangan DPR RI. Sehingga pihak kraton menunggu hasil dalam pembahasan di DPR RI. (Ria/Apw)-f KR-Franz Boedisukarnanto Caption: Para narasumber dalam acara refleksi akhir tahun jurusan Ilmu Pemerintahan di UMY

BERI MASUKAN SOAL RUUK DIY ; Warga Yogya Bakal Gruduk DPR

10/01/2011 08:05:58 JAKARTA (KR) - Setelah melakukan gugatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), salah satu elemen masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam Paguyuban Kawulo Alit Yogyakarta Senin (10/1) hari ini berencana bertemu Ketua DPR RI dan fraksi-fraksi. Langkah serupa juga akan dilakukan jajaran Pemkab dan DPRD Bantul untuk menyampaikan aspirasi tentang mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Menurut Ketua Paguyuban Kawulo Alit Yogyakarta, Yohanes Ayug Khan, surat yang akan diajukan itu intinya adalah sehubungan dengan gugatan TUN kepada Presiden RI, terkait prosedur penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). ”Kami memohon pimpinan DPR RI untuk mempertimbangkan kembali rencana pembahasan RUUK DIY. Apakah perlu dilanjutkan atau ditunda hingga ada keputusan tetap di pengadilan terhadap gugatan tersebut,” kata Yohanes di Jakarta, Minggu (9/1). Dari pengaduan ke PTUN tersebut, diakui pihaknya telah menerima Surat Panggilan Resmi dari PTUN Jakarta tertanggal 3 Januari lalu dengan nomor W2.TUN1.09/HK.06/1/2011. * Bersambung hal 7 kol 6 ”Yang intinya meminta kami datang ke PTUN Jakarta tanggal 17 Januari mendatang menghadap Ketua PTUN Jakarta, untuk dimintai keterangan sehubungan gugatan kami ke Presiden RI. Untuk panggilan itu kami telah siap datang untuk memenuhinya,” katanya. Sedangkan jajaran Pemkab dan DPRD Bantul, akan membawa hasil rapat paripurna DPRD setempat yang berisi dukungan agar Gubernur DIY diangkat melalui mekanisme penetapan. Rombongan akan bertemu dengan Pimpinan DPR, Selasa (11/1) mendatang. Diharapkan, penyerahan hasil sidang paripurna ini akan jadi masukan bagi anggota DPR RI dalam membahas RUUK DIY. ”Dalam pernyataan sikap DPRD Bantul tersebut terkandung tekad untuk mempertahankan DIY sebagai daerah istimewa dalam bingkai dan sistem pemerintahan NKRI. Selanjutnya juga mengusulkan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui mekanisme penetapan,” kata Bambang Legowo, Kepala Humas dan Informasi Pemkab Bantul. Sementara Ketua Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Bantul Agus Subagyo menyatakan, penyampaian hasil rapat paripurna dengan agenda mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kepada pimpinan DPR sudah menjadi agenda dan keputusan pimpinan DPRD Kabupaten Bantul. ”Kami berharap aspirasi dari masyarakat Bantul ini menjadi pertimbangan komisi II dalam membahas RUUK DIY,” ujarnya. Terpisah Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berharap proses pembahasan RUU berjalan lancar. ”Nanti kami langsung membahas penetapan atau pemilihan, tidak seperti 2010 yang menjadi tarik ulur. Saat ini masih ada satu partai, yaitu Partai Demokrat yang menginginkan pembahasan RUU itu diulang. Kalau ditarik ulur terus lima tahun tidak akan selesai,” ujarnya. (Sim/Mgn/Edi)-b

‘SERATUS PENYAIR MEMBACA JOGJA’ ; Keistimewaan Tak Perlu Dipertanyakan

08/01/2011 09:52:16 YOGYA (KR)- Ratusan penyair lintas usia menganggap Yogyakarta istimewa. Bukan hanya daerahnya, tapi juga masyarakat yang berada di dalamnya. Apalagi mengingat besarnya peran Yogya sebagai tempat awal para penyair ini berproses dan menghasilkan karya-karya besar yang selalu menjadi bagian dari sejarah. Karena itu pula, ratusan sastrawan membacakan pemikiran dan perasaan mereka atas Yogya melalui puisi acara Seratus Penyair Membaca Jogja di depan Gedung Agung, Jumat (7/1). Dalam acara yang digelar Paguyuban Sastrawan Mataram dan hampir semua penyair yang hadir menyatakan sikap untuk penetapan. Mereka tidak ingin keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. “Semua penyair ini tidak ingin keistimewaan Yogya berubah dengan adanya pencalonan. Jika pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan, akan mempengaruhi seluruh sistem sosial masyarakat. Semua tidak lagi berdasarkan budaya dan guyub rukun, tapi money oriented dan permainan politik. Yogya itu ruang yang berbeda, semuanya berakar pada filosofi. Dan itulah jati diri Yogya yang mendarah daging pada kami di tengah era globalisasi,” terang salah satu anggota Paguyuban Sastrawan Mataram, Evi Idawati. Yogyakarta, lanjut Ida, sebagai ‘kawah candradimuka’ bagi sastrawan. Tempat untuk berkarya, menempa ilmu dan merupakan titik awal hadirnya orang-orang hebat dan berbakat. Jika semua ini berubah dengan adanya pemilihan, maka Yogya tidak akan sama lagi 10 tahun ke depan. Ditambahkan Koordinator Paguyuban Sastrawan Mataram, Sigit Sugito, acara ini juga sebagai upaya untuk membaca Yogya dulu, kini dan masa depan. Saat ini dinamika masyarakat di Yogyakarta berusaha meneguhkan keistimewaan Yogyakarta. Semua elemen masyarakat berpartisipasi sebagai bentuk untuk memotret keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya. Memperlihatkan inilah kota budaya yang kaya sejarah dan makna filosofi. “Karenanya, banyak yang marah ketika Yogyakarta ‘dianiaya’. Dan semua sastrawan yang dulu pernah berproses atau sekadar tinggal di Yogya tidak terima dengan kondisi tersebut. Mereka jauh-jauh datang dari berbagai kota seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, menyempatkan hadir,” terang Sigit. (*-3)-e Seniman yang hadir antara lain Hari Leo, Imam Budi Santosa, Bambang Widiatmoko, Bambang Nursinggih, Mustofa W Hasyim dan sebagainya. (*-3)-

Soal RUUK Jika Tak Sejalan Siapkan Langkah Antisipasi;DPD 33 Provinsi Dukung Penetapan

10/01/2011 08:05:58 JAKARTA (KR) - Anggota DPD asal Yogyakarta, Drs HA Hafidh Asrom MM menegaskan, sikap semua anggota DPD dari 33 provinsi sudah jelas, mendukung penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika nantinya hasil penggodokan RUUK Yogyakarta di DPR nanti tidak sejalan dengan hasil keinginan DPD tersebut, sudah disiapkan langkah antisipasinya. ”Pokoknya saat ini semua anggota DPD RI mewakili 33 provinsi di Indonesia mendukung penetapan Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY,” kata Hafidh Asrom, anggota DPD RI asal Yogyakarta kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (8/1). Seperti diketahui, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta yang diserahkan pemerintah beberapa waktu lalu masih berada di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belum dibahas. Kendati demikian, menurut Hafidh dukungan terhadap mekanisme suksesi Gubernur Provinsi DIY dalam bentuk penetapan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur DIY terus menguat. Meski begitu, ujar Hafidh, jika DPR nanti memutuskan mekanisme suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam bentuk pemilihan, pihaknya akan melakukan advokasi dengan mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi. ”Kalau di MK menang berarti penetapan, tapi kalau kalah masyarakat yang akan bersikap”, katanya lagi. Terpisah, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) menegaskan, partainya tetap pada sikapnya memilih penetapan untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. ”Kami mendukung pola penetapan Sultan-Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,” kata Sekretaris FPPP, Romahurmuziy. Secara historis, Yogyakarta dan Kraton memiliki peran vital dan tak tergantikan dalam menyambung eksistensi Republik Indonesia pada era perang kemerdekaan. Bahkan, Sultan Hamengku Buwono IX yang membiayai jalannya pemerintahan dengan kantong pribadinya, sehingga memungkinkan RI masih ada seperti saat ini. ”Selain itu, alasan historis lainnya adalah memaknakan Amanat 5 September 1945 dalam bingkai sejarah tatanegara RI”, ucap Romahurmuziy yang memberikan beberapa alasan lainnya seperti alasan yuridis, yakni sikap Presiden yang ingin membingkai tiga pilar secara simultan dalam sebuah pranata, yakni sistem nasional dan NKRI, keistimewaan dan nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya telah terakomodir secara tuntas dalam UUD 1945 sebagai dasar negara. ”Lex spesialisnya daerah istimewa dan khusus ada dalam ketentuan pasal 18 ayat (4) UUD 1945, sebagaimana dilandasi oleh ketentuan pasal 18A ayat (1) dan pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), serta dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan DIY selama ini,” jelasnya. Atas dasar itu pula politikus PPP itu menilai warga DIY, yang secara sosiologis berada dalam kesatuan kultur, sangat mendukung mekanisme penetapan kepala dan wakil kepala daerah, sebagaimana terpotret dalam berbagai survei yang sudah termuat di media, maupun fakta yang sekarang muncul dalam penyampaian aspirasi masyarakat. (Sim)-a

SIMBOL KEBERSAMAAN WARGA YOGYA, DIPASANG 6 BULAN ; ’Nasi Bungkus’ Raksasa Hiasi Titik Nol

08/01/2011 09:52:16 ‘NASI bungkus’ raksasa setinggi 3 meter dan lebar 2,5 meter diarak dari Taman Budaya Yogya (TBY) melalui Pasar Beringharjo menuju titik nol (Perempatan Kantor Pos Besar), Jumat (7/1). Karya perupa Budi Ubrux ini lalu dipajang di trotoar depan Monumen 1 Maret selama 6 bulan ke depan sebagai karya seni ruang publik yang dapat dinikmati masyarakat luas. Kirab ‘nasi bungkus’ juga melibatkan puluhan buruh gendong, barisan prajurit lombok abang dan prajurit peranakan. Sesampai titik nol ‘nasi bungkus’ secara simbolik diserahkan oleh Budi Ubrux kepada Walikota Yogya Herry Zudianto. Pada kesempatan itu dibagikan pula 1.000 nasi bungkus untuk masyarakat. Dipilihnya ‘nasi bungkus’ sebagai penghias kawasan ujung Malioboro bukan tanpa alasan. Menurut Ong Hari Wahyu dari Magersaren Art Project, ‘nasi bungkus’ merupakan simbol spirit dan kebersamaan warga Yogya. ”Ketika terjadi bencana Merapi maupun gempa bumi 2006, masyarakat secara spontan melakukan gerakan nasi bungkus untuk membantu para korban,” katanya. Selain menambah keindahan kota, keberadaan ‘nasi bungkus’ raksasa diharapkan dapat terus mengingatkan masyarakat akan spirit kebersamaan yang selama ini sudah terbangun. Kebersamaan ini menjadi salah satu bagian dari keistimewaan Yogya. ”Kebersamaan masyarakat Yogya dapat menyelesaikan masalah dengan cepat tanpa harus menunggu bantuan atau instruksi dari pemerintah,” tuturnya. Karya seni yang menghabiskan biaya Rp 7 juta itu terbuat dari bahan metal yang dilukis hingga menyerupai bungkusan nasi yang menggunakan kertas koran dan daun pisang. Koran yang dijadikan pembungkus adalah koran KR yang memuat berita tentang keistimewaan Yogya. Dikatakan Ong, proses pembuatannya butuh waktu selama satu bulan. Selain nasi bungkus nantinya juga akan dipasang karya ruang publik lain, seperti becak berhias gambar tokoh-tokoh revolusi dan perahu kertas bertulis rumus fisika. Walikota mengatakan, nasi bungkus menjadi simbol kebersamaan. ”Tidak ada perbedaan derajat ketika menikmati nasi bungkus. Siapapun yang makan nasi bungkus pasti bitingnya terbuat dari bambu. Tidak mungkin kalau gubernur bitingnya emas, walikota perak. Semua sama. Itulah makna dari nasi bungkus,” tutur Herry yang juga menyantap nasi bungkus di atas podium. Hasil karya sejumlah perupa Yogya yang ditempatkan di ruang terbuka, menurut Herry, juga merupakan bagian dari keistimewaan Yogya. Menikmati seni tidak harus di galeri yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. ”Karya seni harus bisa dinikmati semua kalangan dan itulah keistimewaan Yogya. Apapun yang kita lakukan harus menjadi bagian dari keistimewaan Yogya,” tuturnya. (Ast)-e

Pemerintah jangan Ambil Resiko Politik;raton Minta Paugeran Diakomodir

08/01/2011 09:52:16 YOGYA (KR) - Pemerintah diminta tidak mengabaikan sistem suksesi kepemimpinan di Kraton Ngayogyokarto yang sudah berjalan, karena sebetulnya telah ada ‘Paugeran’ yang berlaku di kraton. Kekhawatiran tersebut menjadi salah satu alasan penolakan Sultan dan Paku Alam bertahta menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY, karena takut nanti gubernurnya terlalu tua atau terlalu muda. ”Mendagri khawatir kalau nanti sultan sudah sangat tua, atau masih sangat muda, apakah layak tetap menjadi gubernur. Dengan paugeran dan perjalanan sejarah selama ini, tidak ada sultan usia muda dan sangat tua,” ungkap GBPH Prabukusumo, adik Sultan Hamengku Buwono X dalam Diskusi dan Pemaparan Akademik tentang Keistimewaan Yogyakarta dengan tema ‘Mendengar Suara Jogja’ di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (7/1). Diskusi selain menghadirkan pembicara GBPH Prabukusumo, juga tampil KPH Tjondrokusumo (Puro Pakualaman), Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar Pranowo serta tim peneliti Fisipol UMY yang meneliti tentang pendapat masyarakat terkait dengan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY masing-masing Dekan Fisipol UMY Ahmad Nurmandi dan pengajar ilmu pemerintahan Tunjung Sulaksono serta Eko Priyo Purnomo membeberkan jajak pendapat serta analisanya. Diskusi yang dimoderatori Pemred KR, Octo Lampito dihadiri sejumlah tokoh seperti, Prof Dr Soetaryo, anggota DPD RI Hafidz Asrom dan M Afnan Hadikusumo, dr Soetomo Parastho, Subechi (Kagama) * dan Ketua Fraksi Amanat Nasional (FAN) DPRD DIY, Istianah. Gusti Prabu mengusulkan tiga hal dalam Rancangan Undang - Undang Keistimewaan (RUUK) DIY. Pertama bagaimana mekanisme jika Sultan secara otomatis menjadi Gubernur dalam artian memenuhi syarat internal. Sebagai contoh Sultan secara otomatis ditetapkan menjadi Gubernur saat sudah berusia 30 tahun sampai 70 tahun. Bagaimana jika Sultan tidak bersedia menjadi Gubernur dan bagaimana ketika Sultan tak bisa menjadi Gubernur sesuai syaratnya. Tiga hal itu harus dimasukkan dalam RUUK DIY. Bagaimana, bentuknya pihaknya terbuka dan mempercayakan agar diatur sedemikian rupa. Termasuk didalamnya, rakyat pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk ikut menentukan. ”Kraton sudah mengatur soal paugeran seandainya usia Sultan kurang dari 30 tahun atau saat beliau sudah berusia lanjut,” ungkap Mantan Ketua DPD Partai Demokrat DIY itu. Tjondrokusumo juga menyatakan hal senada. Menurutnya, tidak perlu ada kekhawatiran soal suksesi, karena sudah diatur dalam internal kraton dan puro. Menurut Ganjar Pranowo mengungkapkan, pemerintah hendaknya tidak mengambil risiko politik yang lebih besar dalam menyikapi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya mengenai mekanisme pengisian jabatan gubernur. ”Saya selalu menyarankan pemerintah jangan mengambil risiko-risiko politik lebih besar. Istilahnya kalau tidak gatal jangan digaruk. Sebab kalau sampai lecet akan lebih bahaya lagi,” jelasnya Ganjar menyatakan, sampai saat ini juga bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya diinginkan pemerintah terkait dengan keistimewaan DIY. Sementara hampir mayoritas fraksi di DPR telah menyatakan dukungannya terhadap penetapan gubernur. Walaupun begitu dirinya belum tahu apa keinginan pemerintah di balik pro kontra RUUK DIY tersebut. Hal itu dikarenakan kondisi di DIY cukup aman dan tidak ada pergolakan. Istianah dalam kesempatan itu mengingatkan bahwa dalam draf RUUK DIY yang dibuat pemerintah, salah satu tujuannya adalah untuk mensejahterakan dan menentramkan rakyat. Karena itu, pihaknya minta kepada DPR RI untuk mencermati apakah draf usulan pemerintah itu (pemilihan gubernur) sesuai dengan tujuannya. Seharusnya kalau sesuai dengan tujuannya, maka kehendak rakyat lah yang menjadi pegangan. Sementara itu, terkait dengan adanya pelemparan bom molotov di rumah Ketua Paguyuban Lurah Ismoyo, Mulyadi, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berharap, aksi teror tidak terulang lagi. Sultan juga mengimbau sejumlah pihak agar tetap berhati-hati untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. ”Saya mohon kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kalau pendapat saya apapun yang terjadi, ya kita berhati-hati saja,” kata Sultan kepada wartawan di Kepatihan, Jumat (7/1). Pelemparan molotov, Kamis (6/1) dini hari, menurut Sultan, merupakan bagian dari risiko dalam memperjuangkan keistimewaan DIY. ”Dalam perjuangan apapun bisa terjadi.,” tutur Sultan. Ditambahkan, perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat merupakan hal wajar. Pelemparan molotov di kediaman Mulyadi bukan berarti sebagai indikasi kerawanan sosial di Yogya mulai meningkat. ”Saya kira beda pendapat itu wajar-wajar saja,” ujarnya. (Ria/Jon/Ast/*-1)

Kamis, 06 Januari 2011

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950

 Naskah Undang-Undang
1.1 Menimbang:
1.2 Mengingat:
1.3 M e m u t u s k a n :
1.4 Bab I.
1.4.1 P a s a l 1.
1.4.2 P a s a l 2.
1.4.3 P a s a l 3.
1.5 Bab II.
1.5.1 P a s a l 4.
1.5.2 P a s a l 5
1.5.3 P a s a l 6.
1.6 Bab III.
1.6.1 P a s a l 7.
2 Lampiran Undang-Undang
2.1 Lampiran A
2.1.1 I. Urusan Umum (tata Usaha), jang meliputi:
2.1.2 II. Urusan Pemerintahan Umum, meliputi:
2.1.3 III. Urusan Agraria (tanah), meliputi:
2.1.4 IV. Urusan Pengairan, Djalan-djalan dan Gedung-gedung, meliputi:
2.1.5 V. Urusan pertanian dan perikanan, meliputi:
2.1.6 VI. Urusan kehewanan, meliputi:
2.1.7 VII.U[r]usan Keradjinan, Perdagangan Dalam Negeri, Perindustrian, dan Koperasi, meliputi bagian-bagian jang akan ditetapkan pada waktu penjerahannja.
2.1.8 VIII.Urusan perburuhan dan Sosial, meliputi,
2.1.9 IX. Urusan Pengumpulan Bahan Makanan dan Pembagiannja, meliputi:
2.1.10 X. Urusan Penerangan, meliputi:
2.1.11 XI. Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudajaan, meliputi:
2.1.12 XII. Urusan Kesehatan, meliputi:
2.1.13 XIII. Urusan Perusahaan, meliputi:
3 Referensi
4 Catatan
5 Lihat juga

Naskah Undang-Undang

UNDANG-UNDANG No. 3 TAHUN 1950
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Menimbang:
bahwa perlu lekas dibentuk Daerah Istimewa Jogjakarta, jang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri, sebagai termaksud dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah;

Mengingat:
pasal 5 ajat (1), pasal 20 ajat (1), pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar, Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 No. X. dan Undang undang No. 22 tahun 1948;
Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat.

M e m u t u s k a n :
Menetapkan pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dengan peraturan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN
DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA.

Bab I.
PERATURAN UMUM.

P a s a l 1.
(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.
(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi.

P a s a l 2.
(1) Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta berkedudukan di Kota Jogjakarta.
(2) Dalam waktu luar biasa kedudukan itu untuk sementara waktu oleh Presiden dapat dipindahkan kelain tempat.

P a s a l 3.
(1) Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Istimewa Jogjakarta terdiri dari 40 orang anggauta.
(2) Djumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta, kecuali anggauta – Kepala Daerah dan anggauta - Wakil Kepala Daerah, adalah 5 orang.


Bab II.
TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA.

P a s a l 4.
(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:
I. Urusan Umum.
II. Urusan Pemerintahan Umum.
III. Urusan agraria.
IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
V. Urusan pertanian dan perikanan.
VI. Urusan kehewanan.
VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan koperasi.
VIII. Urusan perburuhan dan sosial.
IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja.
X. Urusan penerangan.
XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
XII. Urusan kesehatan.
XIII. Urusan perusahaan.
(2) Urusan-urusan tersebut dalam ajat (1) diatas didjelaskan dalam daftar terlampir ini (lampiran A) dan dalam peraturan-peraturan peleksanaan pada waktu penjerahan.
(3) Dengan Undang-undang tiap-tiap waktu, dengan mengingat keadaan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Jogjakarta dan kewadjiban Pemerintah jang diserahkan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta di tambah.
(4) Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.

P a s a l 5
(1) Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-perusahaan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuknja Undang-undang ini mendjadi milik Daerah Istimewa Jogjakarta, jang selanjutnja dapat menjerahkan sesuatunja kepada daerah-daerah dibawahnja.
(2) Segala hutang piutang Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, mendjadi tanggungan Daerah Istimewa Jogjakarta.

P a s a l 6.
Peraturan-peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, belum diganti dengan Peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta berlaku terus sebagai peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta; Peraturan-peraturan tersebut tidak akan berlaku lagi, sesudah 5 tahun terhitung dari berdirinja Daerah Istimewa Jogjakarta menurut Undang-undang ini.

Bab III.
PERATURAN PENUTUP.

P a s a l 7.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari jang akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.

Agar Undang-undang ini diketahui umum, maka diperintahkan supaja diundangkan dalam Berita Negara.

Ditetapkan di Jogjakarta,
pada tanggal 3 Maret 1950

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
(PEMANGKU DJABATAN)
ASSAAT

MENTERI DALAM NEGERI
SOESANTO TIRTOPRODJO

Diundangkan pada tanggal 4 Maret 1950
MENTERI KEHAKIMAN
A.G. PRINGGODIGDO
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 3

Lampiran Undang-Undang

LAMPIRAN
UNDANG–UNDANG No. 3 TAHUN 1950
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA MENURUT PASAL 4 AJAT (2)

Lampiran A

I. Urusan Umum (tata Usaha), jang meliputi:
1. pekerdjaan persiapan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah sendiri;
2. persiapan rentjana anggaran pendapatan dan belandja, perhitungan anggaran pendapatan dan belandja dan hal-hal lain jang mengenai anggaran pendapatan dan belandja;
3. pekerdjaan keuangan sendiri;
4. Urusan pegawai;
5. Arsip dan ekspedisi;
6. penjelidikan anggaran pendapatan dan belandja dan perhitungan anggaran pendapatan dan belandja Kabupaten dan Kota-Besar, untuk disahkan;
7. pengawasan keuangan Kabupaten dan Kota Besar.

II. Urusan Pemerintahan Umum, meliputi:
1. pengawasan djalanja peraturan daerah Istimewa Jogjakarta;
2. Pimpinan dan pengawasan pekerdjaan daerah-daerah autonom dibawahnja;
3. perlaksanaan, penetapan atau perubahan batas-batas daerah dibawahnja;
4. urusan minoriteit dan bangsa asing (medebewind);
5. pekerdjaan rupa-rupa jang tidak termasuk pada salah suatu kewadjiban bagian urusan lain.

III. Urusan Agraria (tanah), meliputi:
1. penerimaan pejerahan hak ,,eigendom” atas tanah ,,eigendom” kepada negeri (medebewind);
2. penjerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada djawatan-djawatan atau Kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind);
3. pemberian idzin membalik nama hak ,,eigendom” dan [,,]opstal” atas tanah, djika salah satu fihak atau keduanja masuk golongan bangsa asing (medebewind);
4. pengawasan pekerdjaan daerah autonom dibawahnja (sebagian ada jang medebewind).

IV. Urusan Pengairan, Djalan-djalan dan Gedung-gedung, meliputi:
1. kekuasaan atas perairan umum ialah sungai-sungai, sumber-sumber, danau-danau dan selokan-selokan air temasuk tanah-tanah bantarannja, tepi-tepi dan tanggulnja beserta bangun-bangunan milik Pemerintah jang ada diatas atau ditepi perairan itu jang dipergunakan untuk pengangkutan, pembangunan atau penahan air jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;
2. kekuasaan atas pemakaian dari perairan umum untuk pertanian dan lain-lain kepentingan daerah dan Negara jang diserahkan oleh pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;
3. kekuasaan atas djalan-djalan termasuk tanah-tanah, bangunan-bangunan dan pohon-pohon dalam lingkunganja jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;
4. kekuasaan atas gedung-gedung Negeri jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;
5. penjerahan tersebut dalam angka 1 hingga 4 diatas ada jang termasuk medebewind.

V. Urusan pertanian dan perikanan, meliputi:
Pertanian.
1. inspeksi, dan merentjanakan hal-hal jang dapat menghidupkan djiwa tani modern dan menambah dinamisering masjarakat tani;
2. penjelenggaraan koordinasi pada lapangan teknik (medebewind);
3. penjelenggaraan kebun buat penjelidikan buah-buahan, sajuran, obat-obatan dan tanaman pedagangan;
4. pimpinan pemberantasan hama, jang meluas lebih dari satu Kabupaten;
5. pusat propaganda pertanian.
Perikanan.
1. inspeksi ke daerah-daerah dibawahnja (medebewind);
2. penjelidikan dan pengumpulan bahan-bahan untuk memperbaiki mempertinggi deradjat perikanan darat, membantu pekerdjaan Kementerian (medebewind).

VI. Urusan kehewanan, meliputi:
1. inspeksi kedaerah-daerah dibawahnja, mengerdjakan pemberantasan dan pentjegahan penjakit menular, ketjuali karantine dan laboratorium (medebewind);
2. koordinasi pemberantasan penjakit jang tidak menular didaerah-daerah dibawahnja;
3. pengawasan terhadap veterinaire hygiene jang mengenai daging dan susu;
4. pemeriksaan tiap-tiap waktu atas chewan pengangkutan;
5. pengawasan terhadap penganiajaan chewan;
6. pengawasan pemeliharaan babi;
7. penjelenggaraan peraturan perdagangan chewan dalam negeri diluar Daerah Istimewa Jogjakarta dan koordineeren perdagangan chewan seluruh daerah Istimewa Jogjakarta;
8. penjelenggaraan fokstation, koordinasi dan pengawasan peternakan di daerah dibawahnja, pemberantasan potongan gelap.

VII.U[r]usan Keradjinan, Perdagangan Dalam Negeri, Perindustrian, dan Koperasi, meliputi bagian-bagian jang akan ditetapkan pada waktu penjerahannja.

VIII.Urusan perburuhan dan Sosial, meliputi,
Perburuhan.
1. penerimaan-penerimaan keterangan-keterangan (gegevens) tentang pengangguran dari daerah-daerah dibawahnja jang diteruskan kepada Kementerian Perburuhan dan Sosial (medebewind);
2. segala sesuatu mengenai statistik pengangguran pada waktu jang tertentu dilaporkan kepada Kementerian tersebut (medebewind);
3. urusan jang mengenai permintaan pekerdjaan baik jang langsung diterima dari madjikan maupun jang diterima dengan perantaraan daerah-daerah dibawahnja, dengan menghubungkan madjikan itu dengan penganggur-penganggur dari daerah-daerah tersebut;
4. sokongan pengangguran;
5. pekerdjaan relief.

IX. Urusan Pengumpulan Bahan Makanan dan Pembagiannja, meliputi:
1. penetapan djumlah dan djenis bahan makanan jang harus dikumpulkan ditiap-tiap Kabupaten (Kota Besar);
2. mengadakan peraturan tentang tjara pengumpulan dan pembagian didaerah;
3. menetapkan harga pembelian padi dan bahan-bahan makanan lain;
4. penetapan besarnja uang honorarium komisi untuk pengumpulan dan
5. penetapan percentage kenaikan harga pendjualan barang2 distributie untuk mengganti biaja (1 hingga 5 medebewind).

X. Urusan Penerangan, meliputi:
1. membantu Kementerian Penerangan akan lantjarnja penerangan umum;
2. menjelenggarakan penerangan local.

XI. Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudajaan, meliputi:
1. inspeksi, pengawasan-pengawasan terhadap sekolah-sekolah rendah (medebewind);
2. pendirian penjelenggaraan kursus-kursus pengetahuan umum jang bertingkat tertinggi (tingkatan C) di Kota-kota besar serta pendirian dan penjelenggaraan perpustakaan Rakjat dikota-kota tersebut;
3. memimpin dan memadjukan kesenian daerah;

XII. Urusan Kesehatan, meliputi:
1. pendidikan tentang teknik menengah/rendah;
2. pekerdjaan curatief, menjelenggarakan rumah-rumah sakit pusat dan umum, pengawasan atas rumah-rumah sakit partikelir;
3. pekerdjaan preventief; urusan transmigrasi dalam daerah Istimewa Jogjakarta;
4. memimpin, mengawasi dan mengkoordineer djawatan-djawatan kesehatan daerah dibawahnja.

XIII. Urusan Perusahaan, meliputi:
perusahaan-perusahaan jang dapat selenggarakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta menurut kebutuhan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 3

Referensi

Kumpulan Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Koleksi Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Catatan

Naskah UU terdapat pada Berita Negara halaman 1-4 Lampiran UU terdapat pada Berita Negara halaman 5-8

Tujuh alasan mengapa jogja menjadi daerah istimewa

BY VAGABOND – DECEMBER 10, 2010


Akhir-akhir ini baik di media atau pun di situs-situs jejaring sosial meributkan pernyaan SBY yang seolah2 bisa menghapuskan keistimewaan yogyakarta, Tujuh pedia kali ini akan mengulas sejarah dan tujuh alasan mengapa yogyakarta menjadi daerah istimewa. Berikut ini adalah 7 alasan mengapa Yogyakarta menjadi daerah istimewa versi &pedia

Kebudayaan sistem kerajaan yang telah melekat.


Sebelum bergabung dengan Negara kesatuan Republik indonesia Yogyakarta merupakan kerajaan (Kasultanan ngayogyokato hadi ningrat dan pakualaman), dan kebudayaan sistem pemerintahan kerajaan masih melekat pada masyarakat ataupun aparat di pemerintahan jogja yang selalu patuh dan mengukuti semua peraturan yang di keluarkan oleh raja. Seperti halnya individu yang tak ingin kehilangan identitasnya, maka masyarakat Yogyakarta akan mempertaruhkan diri untuk identitas budaya tersebut. Keistimewaan yogyakarta merupakan Mahar atas bergabungnya Ngayogyakarto ke Negara kesatuan Republik indonesia.

Amanat Sri Sultan yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI. Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.”

Amanat Paku Alam VIII yang menyatakan, “Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.”
Keistimewaan Yogyakarta juga di dukung oleh para founding father terutama soekarno dengan payung hukum piagam penetapan.Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam penetapan itu adalah, “Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX, Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.

Keistimewaan Yogyakarta dikuatkan dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende landschaappen).
Berdasar putusan Mahkamah tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, saat ini Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa yang dimiliki Indonesia. “Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena faktor sejarah.
Karena Jogja begitu indah, ramah dan kaya akan budaya, saya kira semua setuju dengan saya , maka saya katakan jogja ISTIMEWA

Teror Molotov di DIY, Pro Penetapan Merapat

VIVAnews - Rumah pendukung penetapan gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Mulyadi, dilempar bom molotov pukul 02.30 dini hari, Kamis 6 Januari 2011. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk teror kepada penggerak pro penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY.

"Kejadian bom Molotov langsung maupun tidak langsung memang bisa dihubungkan dengan usaha teror kepada penggerak pro penetapan," kata Sukiman, Ketua Paguyuban Dukuh se DIY "Semar Semogo", Kamis, 6 Januari 2011.

Selain teror terhadap penggerak pro penetapan, pelemparan bom Molotov ini juga sebagai upaya oleh kelompok tertentu untuk melakukan adu domba antar masa pro penetapan dan pro pemilihan. Meski, hingga saat ini masa pro pemilihan masih bersifat pasif di Yogyakarta. "Saya tidak ingin menuduh kelompok mana atau siapa, namun ini bentuk adu domba antar warga," tuturnya.

Sukiman melanjutkan, adanya teror bom Molotov di rumah ketua paguyuban lurah se DIY ini akan semakin merapatkan barisan masa pro penetapan dan juga masyarakat Yogyakarta. Perapatan barisan itu terutama dalam memperjuangkan keistimewaan Yogyakarta dengan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dengan mekanisme penetapan.

"Bagi kami penetepan adalah harga mati. Kejadian bom Molotov ini juga akan semakin menguatkan barisan untuk memperjuangkan keistimewaan DIY," ujar dia.

Kapolres Sleman, Ajun Komisaris Besar Polisi Irwan R, Jumat pagi menyempatkan diri datang melihat kondisi rumah Mulyadi. Irwan mengatakan dirinya tidak ingin berspekulasi apakah aksi bom ini merupakan teror oleh sekelompok orang tertentu terhadap massa pro penetapan.

"Sebagai polisi, saya memandang aksi ini merupakan aksi yang melanggar situasi kamtibmas biasa. Kami tentunya akan menyelidiki semuanya," tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, rumah Mulyadi dilempar molotov oleh seseorang yang menggunakan dua sepeda motor dari arah jalan di sebelah timur rumahnya. Saat kejadian ada suara sepeda motor dan ditemukan tas plastik bekas pembungkus bom molotov.

Bom molotov berisi bensin dikemas dalam botol minuman keras dan berisi paku kecil-kecil serta sekrup (mur dan baut). Tujuannya selain membakar juga melukai orang di sekitarnya.

Dalam kejadian itu bom molotov mengenai dan membakar bangku panjang dan tirai bambu yang berada di rumah Mulyadi di Dusun Pirak Bulus, Sidomulyo, Godean, Sleman. Untungnya, tidak ada korban jiwa maupun luka dari keluarganya. (art)
Laporan: Juna Sunbawa l DIY
• VIVAnews