Selasa, 11 Januari 2011

Emosi SBY dan Sri Sultan HB X

Masyarakat Yogyakarta menunjukkan kemarahan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berbagai stiker bermunculan yang menyuarakan rakyat Yogyakarta siap referendum, menentukan sikap terhadap masa depan Kesultanan Yogyakarta. Kegerahan masyarakat Yogya ini muncul sebagai reaksi atas pernyataan SBY yang secara tidak langsung diinterpretasikan menuding pemerintahan Yogyakarta saat ini tidak demokratis dan menerapkan system monarki.



Kemarahan rakyat Yogyakarta itu diawali oleh reaksi Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang membantah pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta menerapkan system monarki dan apalagi disebut bertentangan dengan demokratis. Sri Sultan menyatakan, dirinya sebagai Gubernur DIY sama saja dengan gubernur yang ada di seluruh Indonesia, yaitu bertanggungjawab kepada pemerintah pusat dan pemerintahannya juga dilengkapi dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan berbagai perangkat pemerintahan lainnya sebagaimna pemerintahan daerah yang ada di republik ini.

Ada apa sesungguhnya dari pernyataan SBY tentang DIY ini? Secara faktual, SBY bicara soal DIY karena pemerintah akan menyerahkan draf RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang DIY yang sebetulnya sudah sejak lama akan diajukan ke DPR. Lantas, apakah substansi RUU itu menyangkut masalah system monarki dan demokrasi? Tampaknya, melihat polemik yang muncul, tanpa disadari SBY telah membuka ke publik tentang ketidakharmonisan hubungan dirinya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Oleh karena itulah, kini publik sudah tahu bahwa hubungan SBY-Sri Sultan HB X benar-benar sedang tidak serasi, selaras dan seimbang atau ringkasnya tidak harmonis. Sepanjang data yang terungkap selama era reformasi sekarang ini, hubungan SBY-Sri Sultan HB X dalam pentas elit nasional memang kurang terlihat begitu mesra, terlebih ketika berlangsung ajang persaingan pemilihan Presiden 2004 dan 2009.

Bahkan ketika awal reformasi, SBY-Sri Sultan bukanlah dua tokoh satu kelompok yang selalu disejajarkan dalam pembicaraan publik. Bila kita membuka lembaran pemberitaan media dalam awal reformasi 1998 – 2001, elit yang banyak disejajarkan adalah Sri Sultan bersama Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan KH Abdurrahman Wahid yang kala itu popular dengan sebutan tokoh kelompok Ciganjur. Nama SBY baru mencuat dan mulai disejajarkan dengan tokoh Ciganjur tersebut ketika ikut dalam bursa Wakil Presiden, pasca pemerintahan Gus Dur. Hal itupun baru mencuat ketika SBY mundur dari Kabinet Megawati menjelang Pilpres 2004.

Melihat realitas masa lalu itu, Sri Sultan HB X masa era kepemimpinan SBY memang tidak mengedepankan dirinya sebagai seorang Gubernur DIY yang harus tunduk kepada Presiden tetapi lebih menampilkan sosok dirinya sebagai tokoh sebagaimana seperti Amien Rais dan Megawati. Kita tahu, Amien Rais dan Megawati terlepas dari posisi mereka sebagai tokoh partai politik, juga memposisikan sebagai tokoh publik yang ikut menggulirkan dan memiliki peran utama dalam gerakan reformasi.

Sikap Sri Sultan HB X yang seolah menjaga jarak dengan kepemimpinan SBY sesungguhnya adalah sesuatu yang dapat dimaklumi dalam konteks kesejarahan, termasuk posisi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Kita sekarang ini melalui pemberitaan media dapat mengetahui peran DIY dalam sejarah berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Boleh dikatakan, tidak ada yang dapat membantah peran DIY dalam perjuangan kemerdekaan RI. Dapat juga diketahui, peran Sri Sultan HB IX, ayahanda Sri Sultan sekarang dalam mengambil sikap, keputusan berkomitmen untuk NKRI. Padahal patut diketahui, kesultanan Yogyakarta sangat terkait dengan sejarah Kerajaan Mataram yang terutama menguasai Pulau Jawa sehingga sampai saat ini Sri Sultan disebut pula sebagai satu-satunya Raja Jawa yang masih ada.

Tampaknya dengan pernyataanya soal demokrasi dan monarki, SBY lebih melihat Sri Sultan sebagai Gubernur DIY yang harus “tunduk” kepada dirinya sebagai Presiden RI. Sementara Sri Sultan sendiri lebih memposisikan diri sebagai pemimpin Kraton Yogya yang secara kultural tidak merasa perlu “tunduk” kepada SBY. Hal ini dapat dinilai dari berbagai pernyataan Sri Sultan menyikapi berbagai persoalan nasional, termasuk bergabungnya dia dalam “ormas” Nasional Demokrat bersama Surya Paloh. Oleh karena itu, ketika draf RUU DIY mau digulirkan, SBY seolah memberi warning kepada Sri Sultan tentang sikapnya yang cenderung tidak “tunduk” tersebut.

Lantas, mengapa masyarakat Yogya marah ketika SBY menyinggung tentang soal demokrasi dan monarki? Apakah karena sebelumnya Sri Sultan HB X telah menunjukkan jawaban cukup emosional terhadap tudingan SBY itu? Boleh jadi hal itu demikian, sebagai bentuk mendukung Sri Sultan HB X. Namun lebih dari itu, rakyat Yogya juga protes dalam arti sesungguhnya, membantah soal isu demokrasi dan monarki. Protes itu bukan sekadar sikap emosional tetapi dengan nalar, argumentasi dan berdasarkan fakta yang ada. Mereka yang unjuk protes secara lantang itu juga termasuk para kaum intelektual, akademisi berbagai perguruan tinggi di DIY, termasuk juga Universitas Gadjahmada.

Hebatnya lagi mereka yang memprotes pernyataan SBY juga dari mereka yang pernah tinggal di Yogya tapi sudah lama berkiprah di luar Yogya. Mereka membantah SBY, jika dikatakan demokrasi dapat bertabrakan dengan monarki, apalagi monarki ala Yogya sekarang ini. Bahkan dengan celetukan, ada yang menyebut, koq SBY menyamaratakan semua monarki dalam arti negatif, melupakan masih eksisnya system monarki seperti Inggeris yang demokratis? Apakah SBY secara emosional sengaja mengusik pribadi Sri Sultan HB X dengan menuding sebagai monarki absolute karena masa jabatan gubernur DIY yang dipegang seolah seumur hidup dan diwariskan kepada keturunan Sri Sultan?

Terlepas dari semua itu, monarki atau bukan, apa yang ada di Yogayakarta sekarang ini, banyak disebut oleh kalangan intelektual, terutama yang pernah tinggal di Yogya, merupakan suatu contoh kehidupan masyarakat Indonesia paling ideal. Bila ingin melihat kebhinekaan, semangat pluralism, jauh dari primordialisme dan sektarianisme, maka lihatlah Yogyakarta. Gubernur DIY boleh Sri Sultan, namun jajaran pemerintahannya tidaklah didominasi orang DIY asli, apalagi harus orang Jawa. Bupati pun di DIY bisa bukan orang Jawa. Coba juga lihat mereka yang pernah jadi Rektor UGM, tidak selalu orang Jawa, tapi pernah orang Aceh, NTT, dan lainnya. Bandingkan dengan Rektor PTN di luar DIY, apalagi sekarang ini. Bila ingin melihat kehidupan Indonesia yang harmonis, jauh dari konflik, perhatikanlah kehidupan masyarakat di Jl Malioboro yang penuh ragam, keriuhan yang tanpa gejolak.

Jadi selama ini, Sri Sultan HB X boleh-boleh saja adalah Gubernur DIY namun kehidupan Yogyakarta adalah milik rakyatnya, rakyat Indonesia. Yogyakarta daerah terbuka, dimukimi oleh siapa saja rakyat Indonesia asal manapun. Lewat ikon kota (daerah) pelajar dan wisata, siapapun boleh tingal di Yogya. Sebagaimana dikatakan ayahandanya, Sri Sultan HB IX, pahlawan nasional yang pernah menjabat Wakil Presiden: “tahta untuk rakyat.” Inilah sesungguhnya demokrasi, Sri Sultan sudah menyerahkan kedaulatannya kepada rakyat. Sri Sultan sebagai pemimpin Kraton Yogya lebih banyak bersifat mengayomi daripada unjuk kekuasaan.

Artinya, pernyataan SBY memang wajar mengundang reaksi tajam, dan tidak salah kalau ada yang menyebut pernyataannya itu menunjukkan tidak atau kurangnya penghayatan SBY terhadap sejarah NKRI yang terkait Yogyakarta. Lebih dari itu, SBY hanya menunjukkan emosi ketersinggungan melihat langgam kepemimpinan Sri Sultan HB X yang lebih menonjolkan pemimpin Kraton secara kultural ketimbang sebagai Gubernur DIY. Mudah-mudahan saja, soal ketersinggungan ini hanyalah karena komunikasi politik yang patut untuk dibenahi. SBY mau tidak mau patut belajar para pendahulunya, terutama Bung Karno dan Pak Harto, dua pemimpin yang lama berkuasa namun arif dalam menyikapi DI Yogya dan Sri Sultan.

(Penulis Alumni Sekolah Pascasarjana UGM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar