Selasa, 25 Januari 2011

Istimewa

Putu Setia
Kata "istimewa" memang tak ada pesaingnya. Sidang istimewa, misalnya, begitu ditakuti banyak orang jika itu terjadi dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat--presiden bisa dilengserkan di sini. Adapun martabak istimewa, ini bisa berbeda, tergantung kota. Ada yang telurnya tiga, di kota lain telurnya empat. Yang pasti, "statusnya" paling tinggi, pesaing terdekatnya hanya martabak spesial.
Yogyakarta sebagai provinsi adalah satu-satunya daerah istimewa di negara kesatuan ini. Dulu pesaingnya Aceh, tapi Nanggroe Aceh Darussalam kini berstatus "khusus", sama dengan Papua dan Jakarta, tapi beda kekhususannya. Provinsi lain sepertinya tak bisa menyandang istimewa maupun khusus, karena perannya tak sebesar yang dimiliki Aceh, Jakarta, Yogya, dan Papua. Provinsi Bali akan terus bermimpi panjang untuk mendapatkan gelar "khusus", meski sejak hampir 10 tahun wacana itu dibuka serta sudah menghabiskan biaya tak sedikit untuk seminar dan kajian, termasuk lobi ke pusat.
Sebagai orang yang pernah menumpang hidup di Yogya dan mengenal baik kawasan keraton--apalagi saat Sekatenan--saya ikut marah ketika keistimewaan Yogyakarta dipersoalkan. Tetapi, sebagai orang yang percaya bahwa hidup ini terdiri atas kelahiran dan kematian, saya pun mendua, bagaimana sebaiknya kedudukan Sultan jika itu menyangkut singgasana gubernur: penetapan atau pemilihan? Selama ini adalah penetapan. Soeharto sendiri, menurut pandangan saya yang mungkin salah, pada dasarnya juga memaksakan "penetapan" dalam kedudukannya sebagai presiden. Soeharto, yang lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta, tak pernah mau dipilih, selalu calon tunggal, meskipun itu dalam format Sidang Umum MPR.
Jika Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai wakilnya, diperlukan undang-undang yang sangat terperinci. Bangsa ini sudah banyak mengalami kekisruhan karena undang-undangnya tak terperinci. Kasus terakhir tentang masa jabatan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembuat undang-undang tak pernah mengantisipasi jika pemimpin KPK dipidana dalam masa jabatannya, sehingga penggantinya tak jelas seberapa lama menjabat. Terjadi multitafsir.
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta harus terperinci kalau penetapan yang dipilih. Bagaimana kalau Sultan mangkat, apakah Paku Alam otomatis jadi gubernur, lalu siapa wakilnya? Bagaimana kalau keduanya mangkat? Bagaimana kalau Sultan sepuh, sementara belum ada sultan yang baru? Bagaimana kalau sultan yang baru belum cukup umur, apakah seperti biksu di Burma yang bisa dikukuhkan walau usianya 12 tahun? Bagaimana kalau seperti Solo--baik Kesunanan maupun Mangkunegaran--yang saling berebut takhta, siapa yang memutuskan sahnya sultan itu? Banyak lagi "bagaimana kalau" yang harus dijawab dan dimasukkan dalam undang-undang.
Yang membuat saya heran, pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini. Lebih heran lagi mendengar pendapat orang bahwa, kalau draf versi pemerintah itu memutuskan "pemilihan", aksi penolakan akan membesar dan mengguncang Yogya. Kenapa emosional? Itu kan draf, tugas parlemen yang menyempurnakan draf itu, termasuk menolaknya dan membuat versi lain. Tugas Dewan Perwakilan Rakyat itu membuat undang-undang, bukan cuma bengong dan menunggu jatah pelesir ke luar negeri.
Jangan diulur urusan keistimewaan Yogyakarta. Provinsi ini punya peran amat besar dalam NKRI. Provinsi lain seperti Bali, misalnya, perannya kecil atau malah tak punya peran, jangan macam-macam. Kalau ingin berperan dalam sebuah negara, ya, buat negara baru, dong--ini bukan anjuran, hanya satu pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar