Selasa, 11 Januari 2011

Penetapan, Esensi Keistimewaan ; Wayang Republik ’Yogya Istimewa’ Memukau

12/01/2011 08:36:33 YOGYA (KR) - Keistimewaan Yogyakarta adalah pada sistem nilai yang baku, jiwa merdeka dan demokratis yang menyatu antara rakyat dan pemimpinnya. Karena itu keistimewaan Yogyakarta tidak boleh lepas dari kepemimpinan daerah, dimana Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Paku Alam (PA) yang bertahta tetap pada kedudukan sebagai pimpinan di daerah itu. Simpulan itu terangkum dalam Dialog Budaya dan Gelar Seni ‘Yogya Semesta’ dengan topik ‘Yogyakarta Memang Istimewa’ di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Selasa (11/1) malam. Diskusi menghadirkan pembicara guru besar Sejarah FIB UGM Prof Dr Suhartono Wiryopranoto, pakar sejarah dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma Dr G Budi Subanar, serta pemerhati dan peneliti sejarah keistimewaan Yogyakarta HM Jazir ASP. * Bersambung hal 7 kol 4 Acara yang dipandu pimpinan Gerakan Rakyat Mataram (Geram) Widihasto Wasana Putra dan pengasuh ‘Yogya Semesta’ Hari Dendi itu diselingi pergelaran wayang revolusi, dengan lakon ‘Yogyakarta Memang Istimewa’ oleh Ki Catur ‘Benyek’ Kuncoro. HM Jazir mengungkapkan, keistimewaan Yogyakarta dengan sistem penetapan adalah kehendak rakyat, bukan semata-mata kemauan elite politik untuk mendapat dukungan. Menurutnya, daerah yang mendapatkan status daerah istimewa dan piagam kedudukan tidak hanya Yogyakarta, tapi juga Surakarta. Namun keistimewaan yang diberikan pemerintah itu ditolak oleh rakyat Surakarta. ”Di Solo timbul pergolakan rakyat anti-swapraja yang memaksa pemerintah mengeluarkan penetapan No 16/1946 tentang dihapuskannya Surakarta sebagai daerah swapraja. Sebaliknya, rakyat Yogyakarta tak menolak, justru menghendaki keistimewaan itu. Maka ketika keistimewaan akan diubah, rakyat Yogyakarta bereaksi,” terang Jazir. Budi Subanar mengatakan, untuk memahami keistimewaan DIY tidak bisa melulu ditempatkan pada unsur pimpinannya (Sultan HB dan PA), tetapi juga unsur kedua yaitu lingkup masyarakatnya. Maka ketika keistimewaan mau digantikan dengan pemahaman dan praktik pemerintahan baru, reaksi yang muncul pertama justru dari kalangan masyarakat. (R-3/Cil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar