Minggu, 09 Januari 2011

SIMBOL KEBERSAMAAN WARGA YOGYA, DIPASANG 6 BULAN ; ’Nasi Bungkus’ Raksasa Hiasi Titik Nol

08/01/2011 09:52:16 ‘NASI bungkus’ raksasa setinggi 3 meter dan lebar 2,5 meter diarak dari Taman Budaya Yogya (TBY) melalui Pasar Beringharjo menuju titik nol (Perempatan Kantor Pos Besar), Jumat (7/1). Karya perupa Budi Ubrux ini lalu dipajang di trotoar depan Monumen 1 Maret selama 6 bulan ke depan sebagai karya seni ruang publik yang dapat dinikmati masyarakat luas. Kirab ‘nasi bungkus’ juga melibatkan puluhan buruh gendong, barisan prajurit lombok abang dan prajurit peranakan. Sesampai titik nol ‘nasi bungkus’ secara simbolik diserahkan oleh Budi Ubrux kepada Walikota Yogya Herry Zudianto. Pada kesempatan itu dibagikan pula 1.000 nasi bungkus untuk masyarakat. Dipilihnya ‘nasi bungkus’ sebagai penghias kawasan ujung Malioboro bukan tanpa alasan. Menurut Ong Hari Wahyu dari Magersaren Art Project, ‘nasi bungkus’ merupakan simbol spirit dan kebersamaan warga Yogya. ”Ketika terjadi bencana Merapi maupun gempa bumi 2006, masyarakat secara spontan melakukan gerakan nasi bungkus untuk membantu para korban,” katanya. Selain menambah keindahan kota, keberadaan ‘nasi bungkus’ raksasa diharapkan dapat terus mengingatkan masyarakat akan spirit kebersamaan yang selama ini sudah terbangun. Kebersamaan ini menjadi salah satu bagian dari keistimewaan Yogya. ”Kebersamaan masyarakat Yogya dapat menyelesaikan masalah dengan cepat tanpa harus menunggu bantuan atau instruksi dari pemerintah,” tuturnya. Karya seni yang menghabiskan biaya Rp 7 juta itu terbuat dari bahan metal yang dilukis hingga menyerupai bungkusan nasi yang menggunakan kertas koran dan daun pisang. Koran yang dijadikan pembungkus adalah koran KR yang memuat berita tentang keistimewaan Yogya. Dikatakan Ong, proses pembuatannya butuh waktu selama satu bulan. Selain nasi bungkus nantinya juga akan dipasang karya ruang publik lain, seperti becak berhias gambar tokoh-tokoh revolusi dan perahu kertas bertulis rumus fisika. Walikota mengatakan, nasi bungkus menjadi simbol kebersamaan. ”Tidak ada perbedaan derajat ketika menikmati nasi bungkus. Siapapun yang makan nasi bungkus pasti bitingnya terbuat dari bambu. Tidak mungkin kalau gubernur bitingnya emas, walikota perak. Semua sama. Itulah makna dari nasi bungkus,” tutur Herry yang juga menyantap nasi bungkus di atas podium. Hasil karya sejumlah perupa Yogya yang ditempatkan di ruang terbuka, menurut Herry, juga merupakan bagian dari keistimewaan Yogya. Menikmati seni tidak harus di galeri yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. ”Karya seni harus bisa dinikmati semua kalangan dan itulah keistimewaan Yogya. Apapun yang kita lakukan harus menjadi bagian dari keistimewaan Yogya,” tuturnya. (Ast)-e

Tidak ada komentar:

Posting Komentar