Senin, 07 Maret 2011

Mencari Jalan Keluar Penyelesaian RUU Keistimewaan Jakarta-Jogja: Perspektif Government Networking

Oleh: Marwanto

Akhirnya, lewat Surat Presiden bernomor R99 tahun 2010, pemerintah mengajukan RUU Keistimewaan ke DPR. Meski kondisi di Jogja sekarang relatif tenang, hal tersebut tidak menjamin ketegangan antara Jakarta dan Jogja reda. Apalagi dalam draf RUUK yang diajukan tersebut, pemerintah tetap bersikeras pengisian jabatan gubernur dilakukan dengan cara pemilihan. Sementara Jogja tetap bersikukuh penetapan.

Dilihat dari kacamata sistem pemerintahan, ketegangan antara Jakarta dan Jogja merupakan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Dan jika megacu pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal tersebut bisa diselesaikan dengan mudah. Sebab pada prinsipnya, konsep NKRI mendudukkan kepentingan negara dan bangsa (pusat) di atas kepentingan golongan dan daerah.

Namun ketegangan antara Jakarta dan Jogja kali ini tidak bisa dilihat dari kacamata sistem pemerintahan konvensional. Artinya, ketegangan tersebut bukan sebuah problem yang mesti didekati dengan kerangka NKRI an sich. Hal ini karena dari alur sejarah ada hubungan khusus (istimewa) antara Jakarta dan Jogja. Dengan demikian, perlu sebuah terobosan dan solusi yang sedikit banyak keluar dari “pakem, atau tidak sekedar berdasar kerangka formal kelembagaan yang telah ada.


Dari Government ke Government

Kompleksitas hubungan pusat-daerah pasca era reformasi, seiring menguatnya tuntutan otonomi di sejumlah daerah, telah mendorong terjadinya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan. Dulu, di era Orde Baru (Orba) yang kita ketahui segala pengelolaan serba sentralistik, penerapan paradigma government mungkin lebih sesuai. Ide dasar government adalah menempatkan pemerintah (pusat) sebagai pemain kunci dalam regulasi, redistribusi ekonomi dan perluasan ranah politik masyarakat.

Konsep government tersebut pada kenyataannya tidak membuat pemerintahan berjalan efektif. Bahkan dapat dikatakan gagal, terutama ketika relasi antar pemerintah dengan masyarakat kian kompleks dan tuntutan demokratisasi di segala aspek kehidupan menguat. Dari sinilah para pakar pemerintahan lalu meresponnya dengan melontarkan ide good government.

Beda dengan government yang merupakan rejim aturan (rule) dengan penekanan pada peran negara (pemerintah pusat) sebagai sumber kuasa, government menekankan pola kepemerintahan antara state (negara), market (pasar atau sektor bisnis) dan civil society (masyarakat sipil) melalui mekanisme yang demokratis. Perubahan paradigma ini membuat karakter relasi dalam tata pemerintahan dari yang sebelumnya satu arah (top-down) dan bersifat instructing berubah ke pola jejaring (networking).

Dalam pola jejaring (networking), posisi antar aktor yang saling berhubungan baik dari komponen pemerintah, swasta maupun masyarakat bersifat sederajat, otonom, sukarela dan tanpa ada hirarki yang ketat seperti diatur dalam kerangka regulasi legal-formal (Pratikno, 2007). Dengan posisi demikian, maka logika yang dibangun para aktor adalah kesetaraan, sinergisitas dan koordinasi. Melalui tiga logika yang dibangun tersebut diyakini segala persoalan yang dibahas akan mudah selesai dengan cara-cara yang elegan.

Networking dan Problem RUUK


Dalam konteks problem Jakarta-Jogja, kesan yang ada menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjalin masih antara pusat dan daerah dengan berpegangan kerangka legal-formal an sich. Sehingga, logika yang dibangun pun adalah antara atas dan bawah dalam mekanisme top-down. Dapat dipastikan, logika tersebut sulit diterima publik, apalagi untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah krusial dan menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Disamping itu, para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dilibatkan terkesan hanya untuk alat legitimasi terhadap mindset yang telah dimiliki pusat. Hal ini bisa dilihat dengan pelibatan kalangan akademisi dalam membuat draf RUUK. Draf RUUK versi Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM yang mengusung Parardya konon telah dibelokkan. Konsep parardya diredusir (menjadi konsep gubernur utama?), sementara aspek lain yang ditawarkan draf versi JIP tersebut (yakni pengisian gubernur dengan pemilihan) diterima sekedar untuk pembenar ilmiah bahwa dalam alam demokrasi pengisian jabatan publik harus lewat jalur pemilihan.

Sementara itu, pembahasan RUUK di DPR nantinya bisa diprediksi kurang memberi ruang peran stakeholders. Argumentasinya, suara stakeholders sudah diwakili anggota dewan. Dan ketika yang terjadi adalah kontrol Sekretariat Gabungan (Setgab) terhadap suara dewan berjalan efektif, maka sejatinya dalam pembahasan itu yang ada hanya suara pemerintah dengan“pemerintah Dengan demikian, logika networking dalam penyelesaian RUUK belum berjalan.

Jika hendak menjalankan pola government networking dalam menyelesaikan problem Jakarta-Jogja maka meski RUUK sudah dibahas di dewan tetap harus mendengarkan (terlebih melibatkan secara intes dan sungguh-sungguh) suara dan aspirasi stakeholders. Proses pembahasan RUUK tidak hanya berpedoman pada kerangka legal formal (pemerintah dan dewan), tapi juga melibatkan stakeholders di luar dua pihak tersebut. Dengan pelibatan peran stakeholders dalam posisi yang otonom dan sederajat, niscaya ketegangan antara Jakarta-Jogja bisa diurai.

Dengan menggunakan perspektif government networking maka nantinya RUUK tersebut tidak hanya berisi atau memuat aturan yang demokratis, tapi dilihat dari aspek pembuatannya (proses lahirnya) juga harus melewati mekanisme yang demokratis. Sangat ironi jika nantinya RUUK itu menghendaki pemilihan, tapi dihasilkan dalam proses dan mekanisme yang tidak demokrasi. Sebaliknya, jika nantinya RUUK nantinya mengamatkan penetapan, jika itu memang dihasilkan dalam proses yang demokratis tentu semua pihak harus berlapang dada. ***

*) Marwanto, mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar