Senin, 18 April 2011

Mengusik Tahta Jogja dari Istana




POSISI Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menjadi polemik. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang sistem monarki tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi memicu perdebatan tentang posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang selama ini digilir antara Sultan dan Sri Pakualam.

Di satu sisi, pemerintah ingin adanya proses pemilihan untuk mengisi kursi Gubernur DIY. Di pihak lain, pengisian gubernur dengan menetapkan Sultan atau Paku Alam merupakan bentuk keistimewaan.

Para pengamat sepakat bahwa keistimewaan DIY merupakan kontrak politik antara Presiden Soekarno sebagai representasi pemerintah pusat, dengan Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Merujuk ke belakang, Sultan HB IX pada 5 september 1945 mengeluarkan dekrit yang isinya tentang integrasi Kesultanan Yogya ke RI. Pada tanggal yang sama, dekrit serupa juga dikeluarkan Adipati Pakualam VIII. Tak hanya itu, Sultan HB IX juga merelakan sebagian wilayah Mataraman seperti Madiun, PAcitan, Tulungagung dan Trenggalek.

Sebagai balasannya, Presiden Soekarno mengeluarkan piagam penetapan tentang kedudukan bagi kedua penguasa tahta di Kesultanan dan Kadipaten Pakualam. Selanjutnya, DIY secara resmi dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950. Pembentukan Daerah istimewa pun bukannya tanpa dasar karena Pasal 18 UUD 1945 memungkinkan pembentukan daerah istimewa. Dalam UU pembentukan DIY, wilayah DIY meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan Paku Alaman.

Sementara UU Nomor 22 Tahun 1948 juga mengatur tentang penetapan kepala daerah di daerah Istimewa. Pada pasal 18 ayat (5) UU yang diundangkan pada 10 Juli 1948 itu disebutkan, Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

Karenanya, Sultan HB IX dan Pakualam VIII secara bergiliran memegang posisi Gubernur DIY. Mengutup Wikipedia, Sultan HB IX menjadi Gubernur terlama di Indonesia, yakni sejak 1945 hingga 1988. Namun karena aktifitas HB IX sebagai Wakil Presiden, posisi Gubernur DIY sempat ditempati Paku Alam VIII.

Lengser dari kursi Wapres pada 1978, HB IX yang memiliki gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo, kembali menjadi Gubernur DIY hingga meninggal pada 1988. Selanjutnya, Presiden Soeharto menetapkan Paku Alam VIII yang sebelumnya Wakil Gubernur DIY, sebagai penjabat Gubernur DIY, dan bukan sebagai gubernur definitif.

Persoalan muncul ketika Paku Alam VIII wafat pada 1998, sementara posisi Gubernur DIY tetap harus diisi. Saat itu muncul polemik yang melibatkan Pemerintah pusat di Jakarta, Kraton Kasultanan dan Pakualaman, DPRD DIY, serta masyarakat Yogya tentang siapa yang seharusnya jadi Gubernur DIY.

Karena kuatnya desakan masyarakat DIY, akhirnya Presiden BJ Habibie menetapkan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY periode 1998-2003. Namun ia tanpa didampingi wakil gubernur lantaran proses suksesi di Puro Paku Alam tidak berlangusng mulus paskameningalnya Paku Alam VIII.

Polemik tata cara pengisian Gubernur DIY muncul lagi ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir pada 2003. Karena UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur Kepala Daerah dipilih oleh DPRD sudah diberlakukan, maka DPRD DIY ingin posisi Gubernur diisi melalui pemilihan di DPRD.

Namun sekali lagi, masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Presiden Megawati pun akhirnya menetapkan Sultan HB X dan Sri Paku Alam XI sebagai gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2003-2008.

Seiring perjalanan waktu, pada Oktober 2008 masa jabatan Sultan HB X dan Sri Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berakhir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan tentang perpanjangan masa jabatan Sultan HB X dan PA IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama tiga tahun.

Kini, seiring bakal berakhirnya batas waktu perpanjangan masa jabatan Sultan HB X dan PA IX sebagai Gubernur dan Wagub DIY, pemerintah sudah mematangkan Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. Namun masalah yang masih mengganjal adalah tata cara pengisian Gubernur DIY.

Presiden SBY sudah dengan tegas melontarkan bahwa tidak boleh ada sistem monarki dalam pemerintahan di Jogjakarta. "Oleh karena itu, tentu tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata SBY saat membuka rapat kabinet terbatas yang salah satu agendanya adalah membahas RUUK Jogja, Jumat (26/11) pekan lalu.

Meski demikian Istana memberi garansi bahwa status istimewa DIY tidak akan dihilangkan. Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai mengatakan, revisi RUUK Jogja tidak dimaksudkan untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum.

Menurutnya, pemerintah pusat ingin mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif untuk menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang pada era reformasi. "RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak akan mengurangi keistimewaan Yogyakarta, bahkan akan semakin menguatkan unsur istimewa yang dimiliki," kata Velix.

Namun tetap saja pernyataan istana -khususnya komentar SBY soal monarki- mendapat tanggapan beragam. Sultan HB X bahkan mempertanyakan pernyataan SBY soal monarki di Jogja. Alasan Sultan, sistem yang belaku di Pemerintah DIY sama dengan daerah lain di Indonesia.

Pernyataan Sultan diamini mantan Wakil Ketua Komisi II DPR, Ferry Mursydan Baldan. "Di sana (Jogja) ada Sekda, kepala dinas, pengawasan DPRD, perda sebagai produk legislatif, dan penyusunan APBD. Jadi, sama sekali bukan sebuah monarki Jogjakarta, tetapi sebuah Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta," tegas Ferry yang sempat terlibat dalam pembahasan RUUK Yogyakarta di DPR periode 2004-2009.

Tudingan miring juga terlontar dari politisi di DPR RI. Anggota Komisi II DPR yang juga Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham, menyatakan, menafikkan Kesultanan Yogyakarta sama saja menafikkan perjalanan sejarah bangsa. "Dalam sejarah bangsa ada demokrasi, di konstitusi eksistensi kesultanan diakui," kata Idrus.

Penilaian berbeda muncul dari Politisi PDIP di Komisi II DPR, Arif Wibowo. Ia justru mensinyalir adanya persoalan pribadi antara SBY dengan Sultan. Menurutnya, kesan itu tampak jelas dari kengototan pemerintah mengubah sistem pemilihan Gubernur DIY dari penetapan ke pemilihan langsung.

”Saya kira ini dampak dari konflik pribadi Presiden SBY-Sultan Hamengku Buwono X. Mestinya konflik pribadi ini tidak dibawa ke arena yang lebih luas, selesaikan saja secara pribadi di antara keduanya,” kata Arif.

Pendapat serupa juga dilontarkan wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo. Politisi muda PDI Perjuangan ini mengaku tergelitik melihat sikap SBY yang terkesan hanya menyoroti proses pemilihan kepala daerah DIY semata. Padahal, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945, kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.

”Ini ada hubungan apa kok presiden bersikap seperti ini kepada Sultan? Mestinya presiden sebelum mengatakan itu panggil saja Sultan, panggil saja Paku Alam, panggil saja pakar politik, panggil saja elemen masyarakat Yogya, biar presiden mengerti. Ada apa dengan presiden?” kata Ganjar.

Namun Mendagri Gamawan Fauzi buru-buru meminta agar Presiden SBY dan Sultan tidak ditempatkan dalam posisi saling berhadapan. "Menurut saya, sesuatu yang tidak perlu diperhadap-hadapkan antara Presiden dengan Sultan," ucap Gamawan.

Kini, bola memang ada di pemerintah, karena RUUK Yogyakarta masih di tangan pemerintah. Mendagri sudah menjanjikan bahwa keputusan tentang tentang tata cara pengisian Gubernur DIY dalam RUUK Yogyakarta di tingkat pemerintah akan diputus Rabu (1/12). Meski demikian Mendagri sudah menyodorkan kalimat kunci. "Pasal 18 (UUD 1945) kan bilang (kepala daerah) dipilih secara demokratis, apa presiden mau melanggar itu?" tandasnya. (ara/ ngutip jpnn)

Senin, 11 April 2011

Kaukus Papua Dukung Yogyakarta


JAKARTA, KOMPAS.com — Koordinator Nasional Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, menyatakan, pihaknya bersama elemen Melanesia di tanah Papua mendukung sepenuhnya aspirasi rakyat Yogyakarta sebagaimana yang tercetus dalam rapat paripurna DPRD setempat.

"Bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta harus melalui penetapan, bukan pemilihan langsung, merupakan nilai keistimewaan Yogyakarta tertinggi yang harus dipertahankan sampai kapan pun," katanya di Jakarta, Selasa (14/12/2010).

Mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Papua yang juga anggota Komisi I DPR RI (Bidang Pertahanan Keamanan dan Hubungan Luar Negeri) itu menambahkan, elite jangan terbiasa main-main dengan kebinekaan sebagai patron hakiki kebangsaan Indonesia.

"Cara-cara itu sudah kuno dan gampang terbaca karena rakyat sudah berpengalaman menghadapi musuh bersama yang mau mengobok-obok keutuhan NKRI, apakah itu taktik devide et impera ataupun kini bermain di atas prosedural demokrasi dan konstitusi," ungkapnya.

Apa pun itu, demikian Paskalis Kossay, Kaukus Papua di Parlemen RI telah bulat atau sepakat mendukung aspirasi rakyat Yogya, terutama menyangkut penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Untuk itu, kami mendesak kepada pemerintah pusat agar memahami keinginan rakyat Yogya dan segera diakomodasi dalam RUU Keistimewaan Yogya. Jangan mau diatur oleh antek asing yang memang bertekad memorak-porandakan kita," ujarnya.

Ia juga mengajak semua elemen dan komponen bangsa untuk bersatu kukuh menentang setiap upaya elite tertentu yang berkolaborasi dengan pihak asing dalam merongrong segala identitas kebangsaan Indonesia.

"Saatnya daerah menyatu mendobrak elite tertentu yang diduga telah menjadi kaki tangan bangsa asing," kata Paskalis Kossay.

Menggugat Keistimewaan Yogyakarta

Data Buku Judul : Menggugat Keistimewaan Jogjakarta Penulis : Suro Sakti Hadiwijoyo Penerbit: Pinus Cetakan : I, 2009 Tebal : 240 halaman



Tak seperti nama besar yang disandangnya, "Daerah Istimewa Yogyakarta", nasib DIY justru sedang tak "istimewa". Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diharapkan meneguhkan keistimewaan itu tak kunjung lahir. Pusaran kepentingan politik menjadikan bangunan keistimewaan DIY dalam keadaan kritis.

Polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.

Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat- sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.

Posisi tawar dari aspek politik yang cukup kuat itu menyebabkan pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan bisa dikatakan lamban menyikapi polemik keistimewaan DIY. "RUUK DIY menjadi komoditas politik bagi elite-elite politik tertentu terutama dikaitkan dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 maupun pilpres 2009." (hal 190-191)

Suryo memandang ada empat pihak yang berperan penting bagi masa depan keistimewaan DIY, yaitu lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, rakyat, pemerintah pusat, dan elite politik. Keterlibatan Kasultanan dan Pakualamam diperlukan dalam memformulasikan substansi keistimewaan DIY. Dari sisi rakyat, keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan kehendak dan keinginan rakyatnya.

Suryo membandingkan apa yang terjadi di Surakarta, yang sebelumnya juga berstatus Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Kuatnya penolakan DIS oleh gerakan antiswapraja membuat pemerintah pusat mengganti DIS menjadi karesidenan. Namun, sesungguhnya kunci penyelenggaraan pemerintah daerah yang berbasis keistimewaan adalah kemauan politik pemerintah pusat, meski konstelasi politik dan kepentingan elite nasional dan lokal juga sangat berperan.

Menyoroti mekanisme suksesi gubernur/wakil gubernur, Suryo menawarkan empat alternatif. Pertama, penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Kedua, pemilihan langsung yang bisa diikuti setiap warga negara tanpa memandang kerabat Kasultanan/Pakualamam atau bukan. Ketiga, pemilihan terbatas, yaitu kandidat dari Kasultanan dan Pakualaman. Keempat, pemisahan institusi Keraton dan Pakualaman. Dilakukan pemisahan jabatan antara Sultan dan PA dengan jabatan gubernur/wakil gubernur. Keduanya ditempatkan pada kedudukan terhormat secara kultural, namun dapat memberi pertimbangan kepada gubernur dan DPRD. Keempatnya diurai keunggulan dan kelemahannya.

Berdasarkan riset

Buku ditulis berdasar riset tesis penulisnya yang berjudul Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta (Perspektif Sejarah Hukum dan Kekuasaan) saat menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui seputar persoalan keistimewaan DIY.

Buku dilengkapi sejarah dan kajian hukum perundang-undangan yang mendukung maupun yang melemahkan keistimewaan DIY, termasuk menyinggung isu perpecahan keraton. Dari sisi alternatif solusi, hampir tidak ada yang baru.

Buku ini lebih banyak berisi kajian pustaka. Menjadi lebih lengkap bila dilakukan wawancara langsung atau jajak pendapat warga DIY sehingga sejalan dengan semboyan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Buku juga tidak tegas memilih alternatif mana yang terbaik terkait suksesi gubernur/wakil gubernur DIY; hanya memaparkan preferensi pilihan yang tertuang dalam naskah akademik RUUK DIY yang disusun Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Itu adalah konsekuensi pilihan penulis untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan tidak memihak. Dari sisi teknis, banyak ditemukan salah ketik ejaan yang cukup mengganggu kenyamanan membaca. (ERWIN EDHI PRASETYA)

Keistimewaan Yogyakarta Harus Dipertahankan




Heru Wahyukismoyo, menyebutkan, pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tak sejalan dengan Sila IV Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat sebagai amanat demokrasi Pancasila. Jadi, jika gubernur-wakil gubernur DIY tak dipilih secara langsung, bukan pelanggaran atas konstitusi. ”Turbulensi politik ini akibat reformasi konstitusi yang tidak konsisten dengan akar kebangsaan,” katanya.

Guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, menuturkan, salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya. ”Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang makna keistimewaan DIY itu,” ujarnya.

Dari segi kesejarahan, Joko mengatakan, Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. ”Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda,” katanya.

Hal itu, kata Joko, tak terlepas dari ikatan kuat antara sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. ”Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat,” katanya. Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom.

Selo Soemardjan dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX.

Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, kata Joko, terus berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya.

Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan, Joko melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya.

Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.

Dari tinjauan ini, Joko menilai, secara historis, sosiologis, dan politis, pemerintahan di bawah kepemimpinan sultan adalah sistem yang paling tepat bagi Yogyakarta. ”Pemerintahan sultan menciptakan stabilitas bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau sistem itu diganti, justru bisa menyebabkan instabilitas,” katanya.

Ketua Senat Akademik UGM Sutaryo mengatakan, tak bisa dimungkiri, ruh keistimewaan DIY adalah kepemimpinan sultan sebagai kepala daerah. ”Tanpa itu, keistimewaan tidak ada maknanya,” katanya.