Selasa, 24 Mei 2011

SEPOTONG SEJARAH DALAM INGATAN

”Over mijn lijk heen!”

(Bila itu maksud Tuan, maka Tuan hanya bisa masuk Kraton ini dengan melangkahi mayat saya dulu)

Seluruh ruangan tercengang atas penolakan tegas Sri Sultan HB IX terhadap Belanda. Bagaimana tidak? Belanda telah merasa memberikan penawaran yang menggiurkan, yaitu menjadikan HB IX sebagai “Super Wali Nagari” atas Jawa dan Madura dalam kerangka negara federal versi penjajah. Kala itu, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda dalam agresi militer Belanda kedua sehingga RI dalam kondisi tak bertuan. HB IX lah yang menjadi tumpuan harapan eksistensi RI di kancah internasional. HB IX dan Paku Alam VIII rela menyediakan fasilitas dan finansial untuk memperlancar roda pemerintahan RI. Kedudukan dan wibawa Sri Sultan HB IX sangat diperhitungkan oleh Belanda. Tak lain karena dunia internasional mengakui secara de jure dan de facto bahwa Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ada sebelum Republik ini berdiri.

HB IX dan Paku Alam VIII laksana dwi tunggal yang menjadi pemimpin daerah Yogyakarta. Dalam kepemimpinannya, HB IX menganut filosofi tahta untuk rakyat. Prinsip-prinsip kepemimpinan beliau diwariskan ke HB X. Baik HB IX maupun HB X memegang teguh prinsip bahwa mereka bersedia menjadi kepala daerah selama warga Yogya merestui dan mempercayai mereka. Demikianlah demokrasi ala Mataram yang sudah mengakar kuat hingga membudaya dalam sanubari warga Yogyakarta. Sepertinya demokrasi seperti ini tidak membuat nyaman pemerintah pusat sehingga RUU Keistimewaan DIY bertahun-tahun ditelantarkan. Rezim SBY ingin menghembuskan nilai-nilai demokrasi langsung ala barat yang jelas memungkinan DIY disusupi multikepentingan oleh para petualang. Kami berharap pemerintahan SBY ingat dan memahami tentang sejarah keistimewaan DIY. Harap dicamkan, DIY bukanlah daerah yang merengek untuk diistimewakan, tapi keistimwewaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai embrio internasionalisasi kemerdekaan NKRI sudah diakui dan dihormati oleh para founding fathers Republik Indonesia.

Itulah Yogyakarta, Sultan, dan segala eksistensinya. Wilayah ini bukan sekadar areal dan pemukiman penduduk. Namun juga sebuah kerajaan dengan segala adat istiadatnya, kebijaksanaan hidup, dan sebuah kejayaan. Kebesaran Kasultanan Yogyakarta telah diakui dunia, dan mengakibatkan Indonesia turut melambung namanya. Kedaulatan Yogyakarta adalah kuasa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah Indonesia. Sebuah sejarah yang tak boleh ditiadakan begitu saja perjuangannya. Dan ketika sebuah pernyataan muncul dari bibir seorang kepala negara yang menyinggung eksistensi Yogyakarta, tak heran bila banyak pihak meradang.

Salah omong, tidak faham tentang Undang-Undang, atau memang belum mempelajari sejarah keistimewaan DIY. Komentar sinis itu menghujam untuk mementahkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengidentifikasi DIY sebagai representasi dari sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Pertanyaannya, apakah SBY menilai penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagai pengejawantahan wajah monarki? Dan perlu digarisbawahi, apakah SBY sadar bahwa DIY selama ini patuh mengikuti aturan otonomi daerah?

Meski SBY sudah mengklarifikasi ucapannya, warga Yogya terlanjur kecewa dengan ucapan pemimpin nomer satu RI itu. Spontan, puluhan ribu warga Yogya lantang memprotes dan mengumandangkan Amanat 5 September 1945 untuk mengingatkan pemerintah terkait perjanjian integrasi Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke NKRI. Suara akar rumput itu pun diamini oleh mayoritas fraksi DPRD DIY minus Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPRD DIY yang membahas polemik Keistimewaan DIY pada 13 Desember 2010. Hasilnya, aspirasi warga Yogya memutuskan bahwa DIY tetap Daerah Istimewa dan menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Kepala Daerah DIY. Namun lagi-lagi, pemerintah masih menafikkan suara warga Yogyakarta itu. Mendagri Gamawan Fauzi enggan mengakui keputusan mayoritas DPRD DIY. Ia bahkan mengatakan bahwa menurut survey pemerintah, sekitar 71 persen warga Yogya menghendaki Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung. Patut dipertanyakan, agenda politis serta latar belakang apa yang membuat pemerintah bersikukuh mengevaluasi keistimewaan DIY tanpa mempertimbangkan aspek historis, budaya, serta terkesan ogah-ogahan melibatkan sumbangsih pemikiran dari warga Yogya sendiri? Pemerintah ngotot, warga Yogya meradang, sementara Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai kepala daerah DIY pasrah bongkokan pada suara warga Yogya dan menolak mengeluarkan pernyataan sikap.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Begitulah pesan Sukarno sang Proklamator Indonesia yang sangat relevan untuk mengonstruksi kembali keistimewaan DIY. Sejarah berdirinya NKRI tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Yogyakarta karena di masa revolusi, Yogyakarta yang dipimpin HB IX dan PA VIII berjuang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia lewat pergerakan pemuda, diplomasi, hingga senjata. Berkat dukungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat terhadap kemerdekaan RI itulah, pada 19 Agustus 1945, Presiden Sukarno membuat dan menandatangani piagam kedudukan yang menekankan bahwa Pemerintah RI memberikan kedudukan dan kepercayaan penuh bahwa kedua penguasa Yogya akan mengabdi secara total kepada RI. Penegasan atas kedudukan dan tanggung jawab itu dituangkan oleh HB IX dan PA VIII dalam Amanat 5 September 1945 yang disetujui oleh Sukarno, Presiden Pertama RI. Momentum itu menjadi tonggak bergabungnya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke dalam keluarga besar NKRI.

Barangkali, sedikit yang mengetahui bahwa sebetulnya bukan pertama kali ini saja keistimewaan DIY diusik. Status keistimewaan DIY telah dipergunjingkan sejak orde lama, berlanjut ke orde baru dan selanjutnya orde reformasi. Pada zaman orde lama, pascaamanat 5 September 1945, pemerintah pusat sempat menawarkan konsep pengangkatan Komisaris Tinggi sebagai penghubung antara Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dengan pemerintah pusat. Namun HB IX dan Paku Alam VIII menolak keberadaan Komisaris Tinggi. Bahkan menilai bahwa posisi Komisaris Tinggi itu tak ubahnya Gubernur dalam zaman penjajahan Belanda dan Koti Zimu Koku Tyokan pada zaman penjajahan Jepang.

Di zaman kepemimpinan Soeharto, status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sempat akan dihapuskan. Tak ada polemik berarti dalam masyarakat kala itu, mengingat pemerintahan dipegang oleh rezim anti demokrasi. Reaksi hanya muncul secara merangkak, yakni percikan ketegangan yang terjadi di kalangan elit. Hamengkubuwono IX pun memilih mengunci mulutnya saat berada di depan publik. Adanya kompromi di tingkat elit itulah, membuat status keistimewaan DIY tetap terjaga. Ibarat bom waktu, ledakan penggembosan status keistimewaan DIY kembali berulang di masa periode kedua pemerintahan SBY. Seperti diketahui, DIY sebagai daerah istimewa pada prinsipnya diatur dalam UUD’45 pasal 18 yang dalam praktiknya diatur dengan Undang-Undang. Tapi ironisnya, pemerintah pusat sendirilah yang mengingkari semangat UUD’45.

Membaca ulang sejarah Yogyakarta, membuat kita bertanya-tanya kembali. Apakah ada agenda besar di balik polemik ini? Dua kali wilayah istimewa ini digoncang isu yang sama, secara mendadak, tanpa wacana berarti yang ditiupkan sebelumnya. Seolah-olah menggerogoti ketenangan Yogyakarta secara frontal.

Buku ini mengajak kita semua untuk membuka kembali lembaran sejarah mengenai berbagai kesepakatan yang pernah terjadi antara founding father Indonesia dengan Sri Sultan HB IX. Mari berpikir dengan bijak, berdialektika dengan tenang, dan merumuskan sesuatu dengan cerdas. Vox Populi Vox Dei. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Senin, 23 Mei 2011

Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara
Periode I: 1945 - 1946


Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)


Tanggal 18atau 19Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)


Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)


Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 Wikisource-logo.svg. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.


Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)


Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
   1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
   2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
   3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
   4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
   5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
   1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
   2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)


Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 Wikisource-logo.svg) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)


Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:
   1. Kedudukan Yogyakarta
   2. Kekuasaan Pemerintahan
   3. Kedudukan kedua raja
   4. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
   5. Pemilihan Parlemen
   6. Keuangan
   7. Dewan Pertimbangan
   8. Perubahan
   9. Aturan Peralihan
  10. Aturan Tambahan
Periode II:1946 - 1950


Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)


Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946


Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)


Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)


Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947


Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)


Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Periode III: 1950 - 1965


Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)


Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950


DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951


Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 Wikisource-logo.svg (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)


Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)


Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)


Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi.
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)


Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948). Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai "metamorfosis" abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.

Penyatuan Wilayah (1957-1958)


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957


Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 Wikisource-logo.svg (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 Wikisource-logo.svg (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)


Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV: 1965-1998


Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)


Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi  (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari . Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.

Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)


Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY


Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Periode V: 1998-sekarang (2008)


Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-sekarang[2008])


Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)


Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)


Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya ..
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)


Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)


Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008])


Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.

Massa Pro Penetapan Tolak Perpanjangan Jabatan Gubernur DIY Sampai 2013

Yogyakarta - Masyarakat Yogyakarta pendukung penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum patah arang menolak konsep pemerintah pusat. Sekretariat Bersama (Sekber) Gabungan Elemen Masyarakat Pendukung Keistimewaan Yogyakarta menolak perpanjangan kedua masa jabatan Gubernur dan Wagub DIY hingga 2013.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Djohermansyah, telah memberitahukan melalui surat bila jabatan Gubernur dan Wagub DIY akan diperpanjang hingga 2013. Ini adalah perpanjangan kedua, sejak perpanjangan pertama yang akan berakhir pada 9 Oktober 2011.

"Kami menolak perpanjangan jabatan Gubernur dan Wagub DIY. Bila ditetapkan, maka tidak perlu ada perpanjangan jabatan lagi," ungkap Ketua Sekber Widihasto Wasana Putra saat beraudiensi dengan DPRD DIY di Jl Malioboro, Yogyakarta, Jumat (13/5/2011).

Hasto menyatakan pihaknya menyayangkan sikap dewan yang datang ke Kemendagri untuk memberitahukan mengenai akan berakhirnya masa jabatan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dirjen Otda lantas menjawab jabatan Gubernur dan Wagub DIY akan diperpanjang 2 tahun untuk menyiapkan peralihan ke UU Keistimewaan dan sosialisasi untuk pengisian jabatan baru.

"Hal ini yang membuat masyarakat resah, kenapa DPRD konsultasi ke Kemendagri. Karena ada interpretasi DPRD mau mengikuti kehendak Kemendagri atau berada di bawah Kemendagri. Padahal dewan adalah lembaga politik," katanya.

Dia meminta agar DPRD DIY fokus mengawal pembahasan RUUK di DPR sampai selesai. Masyarakat Yogya juga tidak ingin pembahasan di DPR menjadi berlarut-larut.

"Kita ingin segera selesai dan isinya adalah penetapan untuk Sultan dan Paku Alam yang sedang bertahta. Bila penetapan maka tidak perlu lagi ada pembahasan," katanya.

Salah satu anggota Sekber lainnya, Totok, mengibaratkan perpanjangan masa jabatan Gubernur dan Wagub DIY seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) saja. Apabila masa jabatannya akan habis, harus melakukan perpanjangan agar tetap berlaku.

Sementara itu, Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Laksana mengatakan pihaknya datang ke Kemendagri hanya untuk memberitahukan bila jabatan Gubernur DIY akan berakhir lima bulan lagi. Sampai saat ini dewan belum mengambil sikap atas jawaban tersebut.

"Delegasi hanya menerima surat jabawan dari Dirjen Otda. Itu bukan sikap resmi dewan," pungkas dia.

(bgs/fay)