Kamis, 31 Maret 2011

Penetapan Tinggal Tunggu Putusan Politik

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pemberian keistimewaan berupa penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah IstimewaYogyakarta tinggal menunggu keputusan politik. Pengalaman sejarah sudah cukup kuat untuk memberikan kekhususan Yogyakarta sesuai dengan keinginan masyarakat.

Demikian diungkapkan Anggota Komisi II DPR Nurul Arifin, Jumat (11/3/2011) pada pertemuan Komisi II DPR bersama Pemerintah Kabupaten Sleman dan jajaran camat, kepala desa, serta kepala dusun se-Sleman di Pendopo Rumah Dinas Bupati Sleman, Yogyakarta. Pertemuan ini bertujuan menjaring aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam rangka proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.

"Negara ini memiliki utang kehormatan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bicara tentang konstitusional dan sejarah, sudah sewajarnya penghargaan ini (penetapan) diberikan," kata Nurul.

Menurut Nurul, demokrasi tidak serta-merta harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku secara universal. Tapi, bisa juga dijalankan dengan menghargai budaya yang tumbuh secara partikular di suatu negara.

"Kenapa negara (pemerintah) justru tidak legowo memberikan kekhususan ini kepada DIY yang sudah jelas memberikan kontribusi bagi negara? Padahal, jika negara melindungi (Yogyakarta), ini justru akan menguntungkan negara," paparnya.

Kepentingan politik dan ekonomi

Menanggapi lambannya proses pembahasan RUUK Yogyakarta, Nurul mengungkapkan, ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan tidak adanya penetapan. Diduga, sikap tersebut muncul karena adanya kepentingan politik dan ekonomi.

"Apabila masyarakat Yogyakarta sekarang menginginkan penetapan seharusnya negara memberikan hal itu karena memang rakyat yang menghendaki," tambahnya.

Dalam pertemuan ini, Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap memberikan kesempatan pada jajaran pemerintah daerah Kabupaten Sleman, DPRD Sleman, para camat, perangkat desa, hingga kepala dusun se-Kabupaten Sleman. Hadir dalam pertemuan itu, para camat se-Kabupaten Sleman, Paguyuban Kepala Desa Ismaya se-DIY, dan Paguyuban Dukuh Semar Sembogo se-DIY.

"DPRD Tingkat II seluruh DIY dan DPRD I Provinsi DIY sudah sepakat terkait keistimewaan Yogyakarta, khususnya penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX. Tapi, mengapa rekomendasi mereka tak didengar DPR? Kami meminta DPR untuk bersikap arif dan bijaksana. Masyarakat prihatin RUUK Yogyakarta ini terkatung-katung tak kunjung selesai," kata Ketua Paguyuban Kepala Desa se-DIY Ismaya Mulyadi.

Perwakilan pemda Kabupaten Sleman, camat, perangkat desa dan dusun sepakat adanya penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Untuk menggalang usulan ini, Paguyuban Kepala Dusun se-DIY Semar Sembogo bahkan telah membentuk satuan petugas penetapan yang siap menggagalkan rencana pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan pemerintah

Jangan Kaitkan Keistimewaan dan Monarki

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Nasional Demokrat Ferry Mursyidan Baldan mengingatkan, keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta jangan dikaitkan dengan isu monarki.

"Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikaitkan dengan isu monarki seolah mengabaikan pesan konstitusi tentang kekhususan dan keistimewaan wilayah budaya yang bersejarah itu," katanya di Jakarta, Senin (29/11/2010).

Dia mengatakan, mengibaratkan keberadaan keistimewaan Yogyakarta sebagai monarki dalam NKRI tentu saja mengagetkan banyak pihak dan mengganggu spirit ke-NKRI-an. "Pernyataan yang seolah mempermasalahkan posisi DIY sebagai provinsi di NKRI harus segera diklarifikasi agar secara semua kita dalam spirit yang sama dalam menjaga NKRI," kata mantan anggota Komisi II DPR RI dari Partai Golkar itu.

Ia mengingatkan pula, "Bukankah keragaman, termasuk pengakuan bentuk keistimewaan dan kekhususan, merupakan hal yang sudah ada sejak Indonesia merdeka?"

"Makanya, pertanyaan berikutnya, perlukah kita mengungkit sesuatu yang merupakan kekayaan bangsa ini. Apalagi, DIY menjadi wilayah yang paling terbuka untuk menjadi tempat hidup dan berkehidupan bagi semua rakyat Indonesia," ujar mantan Ketua Pansus RUU Pemilu pada DPR RI periode sebelumnya ini.

Posisi sejarah

Hal kedua yang diingatkan Ferry Mursyidan Baldan, DIY merupakan salah satu provinsi dalam negara Indonesia. "Ada sejarah yang telah kita lalui dan telah menegaskan tentang posisi Yogya menjadi bagian dari NKRI sepenuhnya," katanya, mengingatkan lagi.

Selama ini, menurutnya, Sultan sebagai kepala daerah bagi Provinsi DIY menjalankan tugas, peran, dan fungsi sebagaimana kepala daerah lainnya, bahkan kewajibannya.

"Malahan, perangkat DIY sebagai provinsi pun tidak berbeda. Ada sekda, kepala dinas, fungsi pengawasan oleh DPRD, adanya perda sebagai produk legislatif, dan penyusunan APBD," katanya.

Jadi, menurutnya, DIY sama sekali bukan sebuah monarki, melainkan sebuah Provinsi DIY. "Yang berbeda adalah hanya dalam tata cara penetapan kepala daerah. Bukankah pengaturan tentang kepala daerah pun sudah mendapat legitimasi oleh negara?" katanya.

Jika pernyataan Presiden Yudhoyono bermaksud mempersoalkan tata cara penetapan kepala daerah, ia menilai, hal itu berdampak jauh dalam konteks NKRI. "Karena pernyataan tentang monarki seolah menempatkan DIY bukan bagian dari NKRI," tegas Ferry Mursyidan Baldan.

Rabu, 23 Maret 2011

Menggugat Keistimewaan Yogyakarta

Data Buku Judul : Menggugat Keistimewaan Jogjakarta Penulis : Suro Sakti Hadiwijoyo Penerbit: Pinus Cetakan : I, 2009 Tebal : 240 halaman



Tak seperti nama besar yang disandangnya, "Daerah Istimewa Yogyakarta", nasib DIY justru sedang tak "istimewa". Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diharapkan meneguhkan keistimewaan itu tak kunjung lahir. Pusaran kepentingan politik menjadikan bangunan keistimewaan DIY dalam keadaan kritis.

Polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.

Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat- sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.

Posisi tawar dari aspek politik yang cukup kuat itu menyebabkan pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan bisa dikatakan lamban menyikapi polemik keistimewaan DIY. "RUUK DIY menjadi komoditas politik bagi elite-elite politik tertentu terutama dikaitkan dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 maupun pilpres 2009." (hal 190-191)

Suryo memandang ada empat pihak yang berperan penting bagi masa depan keistimewaan DIY, yaitu lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, rakyat, pemerintah pusat, dan elite politik. Keterlibatan Kasultanan dan Pakualamam diperlukan dalam memformulasikan substansi keistimewaan DIY. Dari sisi rakyat, keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan kehendak dan keinginan rakyatnya.

Suryo membandingkan apa yang terjadi di Surakarta, yang sebelumnya juga berstatus Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Kuatnya penolakan DIS oleh gerakan antiswapraja membuat pemerintah pusat mengganti DIS menjadi karesidenan. Namun, sesungguhnya kunci penyelenggaraan pemerintah daerah yang berbasis keistimewaan adalah kemauan politik pemerintah pusat, meski konstelasi politik dan kepentingan elite nasional dan lokal juga sangat berperan.

Menyoroti mekanisme suksesi gubernur/wakil gubernur, Suryo menawarkan empat alternatif. Pertama, penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Kedua, pemilihan langsung yang bisa diikuti setiap warga negara tanpa memandang kerabat Kasultanan/Pakualamam atau bukan. Ketiga, pemilihan terbatas, yaitu kandidat dari Kasultanan dan Pakualaman. Keempat, pemisahan institusi Keraton dan Pakualaman. Dilakukan pemisahan jabatan antara Sultan dan PA dengan jabatan gubernur/wakil gubernur. Keduanya ditempatkan pada kedudukan terhormat secara kultural, namun dapat memberi pertimbangan kepada gubernur dan DPRD. Keempatnya diurai keunggulan dan kelemahannya.

Berdasarkan riset

Buku ditulis berdasar riset tesis penulisnya yang berjudul Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta (Perspektif Sejarah Hukum dan Kekuasaan) saat menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui seputar persoalan keistimewaan DIY.

Buku dilengkapi sejarah dan kajian hukum perundang-undangan yang mendukung maupun yang melemahkan keistimewaan DIY, termasuk menyinggung isu perpecahan keraton. Dari sisi alternatif solusi, hampir tidak ada yang baru.

Buku ini lebih banyak berisi kajian pustaka. Menjadi lebih lengkap bila dilakukan wawancara langsung atau jajak pendapat warga DIY sehingga sejalan dengan semboyan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Buku juga tidak tegas memilih alternatif mana yang terbaik terkait suksesi gubernur/wakil gubernur DIY; hanya memaparkan preferensi pilihan yang tertuang dalam naskah akademik RUUK DIY yang disusun Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Itu adalah konsekuensi pilihan penulis untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan tidak memihak. Dari sisi teknis, banyak ditemukan salah ketik ejaan yang cukup mengganggu kenyamanan membaca. (ERWIN EDHI PRASETYA)

Hip Hop Jawa Juga Istimewa

Lahir dari jalanan, musik hip hop berbahasa Jawa terus berkembang. Saat ini, jenis musik itu menjadi bagian keistimewaan Yogyakarta. Lagu mereka, ”Jogja Istimewa” berkumandang di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta untuk meneguhkan dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta.

Holobis kuntul baris, Jogja tetap istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya. Jogja istimewa untuk Indonesia,” demikian syair pembuka ”Jogja Istimewa” mengumandang dari panggung di depan Gedung DPRD DIY, Senin lalu.

Lagu rap itu dinyanyikan kelompok musik hip hop Jawa Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) untuk mendorong DPRD DIY mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Senin siang itu, ”Jogja Istimewa” mengalun di radio-radio di Yogyakarta. Lagu itu dinilai pas mewakili perasaan warga Yogyakarta di tengah polemik pemilihan-penetapan kepala daerah DIY.

Meski dinyanyikan selengekan, lagu itu mengandung filosofi kuat. Sepenggal liriknya, ”Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, kesaktian tanpa ajian, kekayaan tanpa kemewahan,”. Lirik itu ajaran kerendahhatian.

Ki Jarot adalah kelompok musik gabungan penyanyi hip hop Jawa Marzuki Mohammad alias Kill The DJ alias Chebolang, Jahanam, dan Rotra. Mereka konsisten menyanyikan lagu rap dengan lirik berbahasa Jawa. Mereka mempertemukan musik afro-amerika dengan tradisi Jawa. Lagu Jahanam berjudul ”Tumini” sempat diputar berulang di televisi nasional.

Selasa, 22 Maret 2011

Yogyakarta Memang Istimewa!

Holopis kuntul baris holopis kuntul baris (3x) Jogja.. Jogja.. tetap istimewa… Istimewa negerinya… istimewa orangnya… Jogja.. Jogja.. tetap istimewa.. Jogja istimewa untuk Indonesia…(2x) Rungokna iki gatra saka ngayogyakarta Nagari paling penak rasane koyo swarga Ora peduli donya dadi neraka Neng kene tansah edi peni lan merdika.... ...

Kalian pasti akrab kan dengan bait lagu di atas? Saat Sidang Rakyat Yogya pertengahan Desember lalu lagu itu sering diperdengarkan di berbagai media, terutama televisi.

Lagu itu judulnya ”Jogja Istimewa”, salah satu lagu di album kompilasi Jogja Istimewa 2010 yang baru saja dirilis. Ki Jarot menyanyikannya secara hip-hop, dengan balutan gamelan yang kuat, unik terdengarnya. Aransemen dan lirik ditulis Kill The DJ & Balance, menggambarkan bagaimana istimewanya Yogyakarta.

”Yogya itu Istimewa!”, inilah yang ingin disampaikan musisi Yogyakarta dalam peluncuran album Jogja Istimewa 2010 di Kedai Kebun, Yogyakarta, Jumat (19/11). Dalam acara itu, dijelaskan latar belakang diluncurkannya album kompilasi musisi Yogyakarta dari berbagai macam genre musik tersebut.

”Album ini adalah sebuah dokumentasi dari musik yang ada di Yogyakarta sekarang ini,” kata Mas Adi ”Gufi” Adriandi selaku produser pelaksana.

Buat teman-teman Kompas Kampus yang ingin tahu banyak tentang musik-musik ”khas” bernuansa Yogya, bisa dengerin 10 musikus ciamik dari Kota Gudeg ini.

Musisi yang mewakili Yogya dalam album ini adalah Ki Jarot, Serigala Malam, Armada Racun, Individual Live, Frau, Risky Summerbee & The Honeythief, ZOO feat Wukir, Cranial Incisored, DOM 65, dan Dubyouth.

Ki Jarot bukan kiprah baru, tetapi bisa dibilang veteran, terutama jika dikaitkan dengan fenomena hip-hop ”Jow o ” atau hip-hop berbahasa Jawa. Ki Jarot ini singkatan dari Kill The DJ, Jahanam, dan Rotra, yang berada di bawah bendera Jogja Hip Hop Foundation, mereka inilah dedengkot hip-hop khas Yogyakarta.

Beragam genre

Musisi yang ada dalam album kompilasi ini mempunyai gaung yang cukup keras di dalam scene musik dalam negeri, bahkan luar negeri. Zoo dengan ”kegilaan” bereks - presi dalam lagu ”Bambu Runcing”, Risky Summerbee & The Honeythief yang membuat orang terbuai dengan alunan musiknya.

Serigala Malam dengan hardcore music- nya; Armada Racun dengan eksperimen berbeda dalam musiknya; Individual Live dengan lantunan nadanya yang harmonis; Cranial Incisored dengan chaotic math metal- nya; DOM 65 dengan semangat mereka membawakan musik punk; dan Dubyouth yang selalu membakar lantai dansa dalam penampilan mereka.

Rasa Yogya yang kreatif, unik, dan sangat menarik ini bisa ditemukan dalam setiap lagu yang dibawakan dalam album ini. Jogja Hip Hop Foundation, misalnya, yang mengusung hip-hop berbahasa Jawa dalam lagu ”Jogja Istimewa”. Frau yang membawakan nuansa bercerita dalam lagunya ”Confiden - tal” yang sangat jarang dibawakan musik- musik zaman sekarang.

Ternyata bukan perkara mudah untuk membentuk album kompilasi yang dianggap mewakili rasa Yogya. Musikus yang dipilih oleh kurator merupakan pilihan terbaik, terlepas dari beberapa kendala berkaitan dengan pemilihan musikus seperti kontrak dengan label tertentu atau personel dari salah satu musikus tak ada.

”Album ini dibuat tidak main-main karena musisi yang dipilih pun yang memiliki kriteria tertentu dari kurator. Dari 60 musikus yang diseleksi, dipilihlah 10 band yang dianggap cukup kuat, tapi bukan berarti musikus yang tidak masuk adalah musikus yang jelek,” ungkap Gufi.

Jadi kalau ingin merasakan sensasi musik Yogya yang mellow , bisa membawa teman- teman semua terbuai ke alam mimpi, sampai musik yang dentumannya cepat dan bisa membangkitkan semangat, teman-teman bisa dengerin di album kompilasi Jogja Istimewa 2010 ini. Salam istimewa dari Yogyakarta!

(RESA SETODEWO Volunter Batch II Kompas Muda ”Tim Gamelan”, Kini Kuliah di Jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada)

Senin, 14 Maret 2011

Warga DIY geram!

GUNUNGKIDUL: Warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersuara, menanggapi komentar Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X soal kemungkinan bakal tamatnya DIY jika konsep gubernur utama menang di Mahkamah Agung.
Sejumlah warga dari kabupaten dan kota di DIY menyatakan pendapatnya pada Harian Jogja, Kamis (3/3). Secara khusus mereka membuka suara soal gonjang-ganjing keistimewaaan. Banyak yang geram, ada juga yang khawatir.
Kegeraman diungkapkan dengan berbagai ekspresi kata. Seperti misalnya Parjono, 50, penjual soto asal Dusun Siyono Kidul, Logandeng, Playen, Gunungkidul. "Yang jelas saya masih senang dengan sistem yang dulu, kalau sudah baik ngapain diubah-ubah. Nek ana Pilkada mengka malah kisruh [kalau ada Pilkada nanti malah kisruh], apa bener memilih Gubernur DIY yang memiliki aura Keraton tapi nantinya seperti itu. Ya mending penetapan,” ujarnya.
Sebagai rakyat, Parjono pun berusaha menafsirkan maksud pemerintah pusat dalam memberikan kebijakan keistimewaan DIY. Menurutnya ketidakmauan pusat dalam menetapkan Gubernur DIY merupakan upaya untuk memperoleh keuntungan dari Jogja.
Sementara itu Abdurrohman, 29, pemuda dari Dusun Curug, Desa Giriwungu, Pangang, menyebutkan jika terdapat dua gubernur akan terjadi konflik di tengah masyarakat, karena ada dualisme keputusan yang menghilangkan citra keistimewaan. "Jangan aneh-aneh lah, yang sudah berjalan mari kita hormati, DIY sudah tentram kok diusik,” ucap pemuda yang juga menjadi guru di salah satu sekolah swasta ini.
Kegeraman juga disuarakan Suyanti, mahasiswa Universitas Gunungkidul (UGK) yang mengatakan menjadikan dua gubernur berarti sama dengan mengkhianati sejarah. "Saya khawatir pahlawan bangsa, seperti Sri Sultan HB IX menangis di alam sana, melihat keputusan pemerintah terkait keistimewaan ini," katanya.
Senada dengan warga Gunungkidul, warga Jogja juga mengekspresikan pendapatnya. Agus Prihatin Susanto, 44, warga Ngupasan, Gondomanan, Jogja menyatakan kecewa. "Di Jogja itu sekarang sudah ayem tentrem, kenapa harus diusik dengan adanya ontran ontran RUUK," katanya. Lebih lanjut Agus mengatkaan hal itu yang membuatnya panas dan secara pribadi tidak setuju, dia tetap mendukung keistimewaaan DIY.
"Khawatir juga jangan jangan gubernur baru tidak sama dengan kita dan hanya mengeruk uang lalu pergi, kalau sultan kan jelas kita sudah merasakan sampai sekarang tidak pernah neka neka,” katanya.
Pernyataan menolak DIY akan ditamatkan oleh pemerintah pusat pula disayangkan oleh Susanto, 28, warga Mancasan, Wirobrajan, Jogja. Saat diwawancarai Harian Jogja Susanto menjelaskan saat ini Jogja tidak pernah ada konflik yang berarti menyangkut kepemimpinan kesultanan.
Susanto berharap pemerintah pusat dapat mendengar suara dari unsure warga ditingkat bawah. "Kami hanya bisa berharap mbok pemerintah ini bisa mendengar suara masyarakat yang ada di sini, jangan hanya sekadar di meja pusat saja,” katanya.
Sepakat Sultan
Selain geram dan kecewa, sebagian warga juga tegas menyebut sepakat dengan komentar Sultan. Ketua Paguyuban Dukuh (Pandu) Bantul Sulistyo Admojo mengatakan pihaknya sepakat dengan pernyataan Sultan, bahwa jika konsep gubernur utama itu diterapkan, keistimewaan DIY itu berarti tamat.
Menurutnya, ketentuan itu mengada-ada karena secara konstitusi, hal itu tidak ada aturan yang dapat digunakan sebagai payung. Dan takutnya kebijakan itu justru menjadi yurispundensi bagi daerah lain untuk mendapatkan keistimewaan.
Sedangkan warga Bantul lainnya, Rohadi, 47 menyebut tak sepakat dengan istilah gubernur utama. Karena hal itu akan menimbulkan kerancuan. Konkretnya, ujar warga Kasihan, Tirtonirmolo itu gubernur yang tidak utama dan dipilih justru bisa jadi tidak dipercaya masyarakat dan hanya semacam boneka saja.
Soal Sultan ini Wagiman, warga Seyegan, Sleman menyebutkan bahwa Sultan melekat sebagai raja dan kepala pemerintahan. Sebagai pemimpin sudah terbukti, membwa Jogja sebagai kota daerah yang aman dan damai. Saat kota lain dan daerah lain bergolak, Jogja tetap aman.
"Kalau dari dulu sudah tenteram lantas apa yang salah? Kenapa warga saja tidak memperosalkan kok pemerintah mempersoalkan. Saya orang kecil, warga Jogja yang tetap akan mendukung keistimewaan Jogja dan penetapan," kata dia.
Warga Seyegan lainnya, Ariyanto bahkan mengatakan Pemerintah pusat harus belajar sejarah lagi. Jangan takabur dan merasa sudah menguasai kehendak rakyat. Kepentingan keistimewaan adalah kepentingan warga Jogja karena merasa bagian dari sejarah Republik.
"Saat itu kasultanan setara dengan calon negara Indenesia. Baru kemudian setelah merdeka, Sri Sultan HB IX secara ikhlas menyatakan bergabung dengan NKRI. Pusat itu pinter-pinter tapi kok seolah melupakan sejarah," ujar tokoh pemuda dusun Ngino yang juga mahasiswa Universitas Widya Mataram Jogja.
Tak paham demokrasi
Dari beragam komentar yang bernada sama itu ada juga Haryono, seniman asal Kulonprogo yang menyebut jika memang pemerintah pusat ngotot untuk mengobok-obok keistimewaan DIY, berarti pemerintah tidak paham azas dasar demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Demokrasi bukan berarti harus pemilihan, musyawarah untuk mufakat juga merupakan bentuk dari sebuah demokrasi. Ada ungkapan dalam bahasa latin yang mengatakan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi seharusnya sudah sah Sultan HB X menjadi pemimpin di DIY karena yang menginginkannya adalah rakyat Jogja.
Senada dengan Haryono, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Amandra Gunadharma, selama ini sistem yang ada telah baik.
Jika ada perubahan, tujuan perubahan itu harus jelas, karena sistem dibuat untuk menyejahterakan masyarakat. "Jika memang alasan kepentingan politik semata berarti mencerminkan negara yang memang berantakan," katanya.
Mahasiswa UAJY lainnya, Johanna Anindya, dari Mahasiswi Prodi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik menyebut ada kemungkinan sistem baru nanti, akan memecah belah Jogja. Sebagian orang pasti akan memilih mengikuti perintah Sultan dari pada gubenur terpilih. "Selain itu, muncul ketakutan Jogja menjadi kota besar yang semakin berkembang tanpa memperhatikan kultur lagi," tegasnya.(SUN/AMU/TON/DAS/AYA/NIN)
Oleh Maya Herawati
HARIAN JOGJA

DPR-Pemprov DIY 'curhat' soal RUUK

JOGJA: Rombongan Komisi II DPR RI mengadakan acara rapat dengar pendapat dengan pemerintah provinsi (Pemprov) DIY terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY di Gedung Praimosono, Kepatihan.

Acara dengar pendapat itu dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap. Sejumlah pimpinan daerah mulai dari Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Tri Harjun dan Wakil Walikota (Wawali) Jogja Haryadi Suyuti yang dimintai pendapatnya. Dalam pandangannya baik Tri Harjun maupun Haryadi Suyuti mengatakan kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY tidak berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD DIY Tutik Widyo menandaskan pihaknya tidak pernah merasa ewuh pekewuh dalam memberikan kritik terhadap eksekutif meskipun gubernurnya adalah Sultan. Selama ini, kata dia, situasi DIY tetap aman dan terkendali.

"Namun ketidakpastian pembahasan RUUK membuat masyarakat di DIY bergejolak," ungkap dia.(Harian Jogja/Rina Wijayanti)

Kawal RUUK, Cokro Pamungkas siap jemput Komisi II

SLEMAN: Dukungan Rancangan Undang-undanga Keistimewaan (RUUK) DIY terus mengemuka. Paguyuban Dukuh se-Sleman, Cokro Pamungkas siap menjemput rombongan Komisi II DPRRI yang menggelar kunjungan kerja (kunker) ke Jogja, hari ini (10/3/2001). Para dukuh ini akan mengawal penyerapan aspirasi warga Jogja.

Ketua Cokro Pamungkas, Sukiman Hadi Wijoyo berharap anggota dewan bisa benar-benar adil dan objektif. Kunker hendaknya dimanfaatkan untuk melihat secara jeli apa yang diinginkan rakyat Jogja.

Sebanyak 39 anggota Komisi II DPR RI dijadwalkan tiba di Yogyakarta pagi ini pukul 08.00 WIB. Selanjutnya langsung mengadakan pertemuan di kompleks Kepatihan Yogyakarta dilanjutkan ke Kabupaten dan Kota hingga Sabtu (12/3/2011) mendatang.

"Kami sudah siapkan massa untuk turut serta dalam penyerapan aspirasi. Sedang esok harinya saat ke Pemkab Sleman, kami juga sudah siapkan massa," imbuh Sukiman di sela pengukuhan satgas penetapan Sri SultanHamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai dwi tunggal gubernur dan wakil gubernur DIY.

Tak hanya itu, satgas akan methuk langusng ke Bandara Adistjipto dan mendampingi seluruh agenda dewan selama di Jogja. "Kamisiap mengawal," tandasnya.(Harian Jogja/Sumadiyono)

Sultan: DIY bisa tamat!

GUNUNGKIDUL: Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mulai menunjukkan sikap tegas dalam polemik RUUK DIY. Sultan memastikan nasib DIY akan tamat jika pemerintah pusat berkukuh dengan konsep dua gubernur dalam satu wilayah.

“Kalau sampai dilakukan judicial review dan konsep gubernur utama menang di MK [Mahkamah Konstitusi], DIY akan dihapus. Artinya itu tamat,” kata Sultan usai mewakili Mendagri melantik Bupati Gunungkidul Badingah di gedung DPRD Gunungkidul, Rabu (2/3).

Dia menegaskan Maklumat 5 September 1945 yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX bukan berarti penyerahan wilayah DIY kepada Republik Indonesia. Maklumat 5 September adalah integrasi antara Keraton Ngayogyakarta dengan Indonesia. Oleh karena itu, Ngayogyakarta adalah daerah istimewa yang kepala pemerintahannya otomatis adalah kepala dearah.

“Jadi yang tepat itu intregrasi, bukan menyerahkan wilayah Ngayogyakarta ke Indonesia,” terangnya.

Gubernur juga menegaskan DIY bukanlah provinsi melainkan daerah setingkat provinsi dengan jabatan kepala daerah melekat pada Sultan dan Paku Alam. Seusai menyampaikan pendapat kepada Komisi II DPR, Sultan juga menyatakan jenis kelamin bukan pengikat dalam kedudukan sultan. Menurutnya Sultan Ngayogyakarta bisa saja dipegang oleh seorang perempuan.

“Seorang sultan itu semestinya adalah laki-laki. Akan tetapi dalam perkembangannya bisa saja perempuan yang memegang takhta. Presiden saja boleh perempuan, masa sultan tidak boleh,” ujarnya.

Referendum
Sementara itu, Komite Independen Pengawal Referendum (Kiper) menyatakan siap melaksanakan referendum secara damai apabila pemerintah maupun DPR tidak mempertimbangkan dukungan terhadap penetapan.

Koordinator Lapangan (Korlap) Kiper Kota Jogja Wiwin Winarno menjelaskan referendum bakal diambil jika hasil pembahasan RUUK tidak menetapkan Sri Sultan dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, sesuai dengan Maklumat 5 September 1945.

“Namun referendum yang kami maksud adalah referendum secara damai, artinya Provinsi DIY tetap dalam bingkai NKRI, tidak seperti Timor Timur yang melepaskan diri dari Indonesia. Semua prosesnya dilakukan secara damai dan tidak ada makar di dalamnya,” papar Wiwin kepada Harian Jogja di kantor Kiper, Rabu (2/3).

Ia menjelaskan, konsep referendum damai tidak bertujuan untuk mengubah sistem kenegaraan NKRI secara umum. Referendum dijalankan untuk meluruskan sejarah keistimewaaan DIY. Menurutnya Maklumat 5 September merupakan ijab kabul yang menjelaskan 'lamaran' Republik Indonesia yang diwakili oleh Bung Karno sebagai Presiden terhadap Sri Sultan HB IX sebagai penguasa Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. 'Lamaran' itu telah 'diterima' dengan 'mahar' yang tertuang dalam amanah Sri Sultan HB IX pada 5 September 1945.

“Mekanisme penetapan itulah yang sesuai dengan proses ijab kabul atau dasar peristiwa bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI. Soal ijab kabul inilah yang juga menjadi tuntutan kami kepada pemerintah agar dimasukan kedalam RUUK, agar ke depan tidak muncul polemik lagi,” tegasnya.

Dalam pelaksanaanya, untuk mendukung dan mengawal proses pembahasan RUUK tersebut, pihaknya juga terus melakukan berbagai upaya diantaranya dengan menyebarkan 30.000 pamflet keistimewaan kepada masyarakat luas. Termasuk dengan menghimpun sejumalah elemen organisasi pendukung penetapan seperti relawan referendum dan relawan Ijab Qobul yang katanya sudah memiliki ribuan anggota yang tersebar di seluruh wilayah DIY.

Jangka waktu
Terpisah, saat dihubungi melalui telepon, Ichlasul Amal, pengamat politik dari UGM menilai tidak ada kekuasaan di dunia yang melekat dan turun temurun. Dia mengatakan gubernur adalah jabatan publik yang menuntut ruang keterbukaan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

“Sebaiknya kalau mau penetapan ya penetapan saja, tapi harus ada jangka waktunya,” ujarnya.

Abdul Ghafar, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat berpendapat pembahasan RUUK DIY harus mengutamakan dan mengedepankan kepentingan nasional, jangan hanya bersifat kedaerahan.

“Penetapan dan pemilihan itu tipis perbedannya, tidak perlu perdebatan yang panjang. Masih ada kepentingan nasional dalam RUUK DIY yang harus dibahas secara mendalam,” ujarnya di gedung DPR.(Harian Jogja/ Endro Guntoro, M Fikri AR & Wahyu Kurniawan)

Keistimewaan DIY, Demokrat Tak Pahami Sejarah

BANTUL (KRjogja.com) - Koordinator Presidium Gerakan Rakyat Mataram Binangun, Rustam Fathoni menyatakan, tidak konsistennya partai politik dalam menyikapi polemik Keistimewaan DIY dikarenakan tidak paham sejarah. Rustam menilai, Partai Demokrat selaku penguasa pemerintahaan ternyata sangat egois dan tidak memahami aspirasi masyarakat DIY.

Keistimewaan DIY yang dilindungi oleh undang-undang, kata Fathoni, ternyata diabaikan oleh pemerintah pusat untuk kepentingan politik sesaat. Ada beberapa daerah lain yang memiliki kekhususan, seperti DKI yang tidak memilih walikota, namun pemerintah tidak mengusiknya. “Jika demokrasi berarti pemilihan, maka semua daerah juga harus diberlakukan sama,” kata Kepala Desa Jambidan, Banguntapan ini, Minggu (13/3).

Menyoal sejarah DIY, diakui Fathoni sama saja tidak menghargai sejarah dan pengorbanan yang diberikan untuk Republik Indonesia. “DIY turut berperan dalam menjaga kemerdekaan dan menjaga Negara ini dalam percaturan internasional, jika terus diusik, maka rakyat akan marah,” buka dia.

Perjuangan dan pergerakan yang saat ini digelorakan oleh warga DIY adalah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia pun meminta kepada DPRD Kota serta Kabupaten dan DPRD DIY untuk terus mengawal semangat keistimewaan DIY yang ditandai dengan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

“Dalam rapat paripurna di setiap DPRD, keputusan sudah jelas yakni penetapan, ini harus terus dikawal hingga DPR RI,” pinta Fathoni.

Menurutnya, karena sudah diputuskan dalam rapat paripurna DPRD, yang merupakan representasi perwakilan rakyat, maka aspirasi tersebut harus dijaga. “Komisi II DPR RI telah mendapat kenyataan bahwa rakyat DIY sangat mendukung keistimewaan dan penetapan, ini jangan dipelintir lagi,” tegasnya.

Fathoni mengungkapkan, partai-partai yang mempermainkan perasaan rakyat DIY hanya demi kepentingan sesaat dan mengatasnamakan demokrasi namun tidak memperhtikan sejarah. (*-7)

Masalah Keistimewaan, Jadi Pembahasan Musda Pemuda Muhammadiyah Kota

YOGYA (KRjogja.com) - Organisasi Pemuda Muhammadiyah Kota Yogyakarta pagi hari ini mengelar musyawarah daerah (musda), di kompleks SMK Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Salah satu agenda yang dibahas dalam musda ini adalah menyikapi masalah Keistimewaan Yogyakarta.

"Tema khusus kami dalam musda ini adalah "Yogya Istimewa dalam Bingkai Indonesia". Yogyakarta kini memang sedang ontran-ontranan (berpolemik) keistimewaan. Kita juga mendukung keistimewaan apapun hasilnya, asalkan masih sesuai dalam konstitusi bangsa," terang Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Yogya Iwan Setiawan, Minggu (13/3).

Ia meneruskan, sebagai bukti keistimewaan lainnya, seluruh peserta musda kali ini mengenakan pakaian batik. padahal dalam musda sebelumnya, para peserta memakai berbagai jenis pakaian. "Sebelumnya pakaiannya bermacam-macam, kebenyakan baju takwa. Namun kini, kita sepakat pakai batik, sebagai bentuk pengakuan batik sebagai warisan nasional. Pemuda Muhammadiyah memang mengakui sebagai bagian dari Bangsa Indonesia," terangnya.

Sementara, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kota Yogya Nur Ahmad Ghozali menjelaskan, visi Muhammadiyah adalah menjadikan masyarakat menjadi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Meski dirasa berat, visi ini harus dapat diwujudkan di tingkat akar rumput, salah satunya dengan membentuk satu pimpinan cabang baru, yakni di Tegalrejo.

"Dari 14 kecamatan, hanya ada satu pimpinan cabang yang belum terbentuk, yakni di Tegalrejo. Kami merasa prihatin, karena di wilayah yang cukup luas tersebut, tidak ada Pemuda Muhammadiyah-nya. Karena itu kami mengharap dapat segera terbentuk," ujarnya.

Di acara ini, dilakukan pula pelantikan Ketua Pemuda Muhammadiyah baru, yakni Ridwan Furkhori. Selain itu, dilakukan pula seleksi pengurus baru, dari 31 calon anggota formatur pimpinan daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Yogya 2010-2014. (Den)

Melawan Keistimewaan DIY Bisa Kualat

BANTUL (KRjogja.com) - Anggota DPD asal Maluku, John Pieren menyatakan, semua yang melawan keistimewaan DIY akan kualat dan menanggung dosa tak terampuni. Menurutnya, dari hasil kunjungan ke DIY, hampir seluruh rakyat DIY menyatakan dukungannya untuk keistimewaan yang ditandai dengan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

“Karenanya, jika ada yang berani sama Tuhan, tentu akan kualat,” ujarnya di hadapan ratusan warga Bantul dalam Kunjungan Kerja Komisi II DPR RI dan DPD Panja RUUK DIY, di Pendopo Parasamya, Jumat (11/3).

Dia menyampaikan, hubungan komunikasi antara rakyat dengan Raja, seharusnya tidak dirusak oleh kepentingan dari pelawan Tuhan. “Suara rakyat adalah suara Tuhan,” katanya. (*-7)

'Punakawan' Dukung Keistimewaan DIY

YOGYA (KRjogja.com) - Kunjungan kerja Komisi II DPR untuk mendapat masaukan soal RUUK DIY di Kompleks Kepatihan, Kamis (10/3) siang ini disambut dengan aksi menarik berupa beberapa orang menggunakan kostum punakawan dan prajurit jawa sebagai bentuk dukungan keistimewaan.

Ketua sekretariat Bersama Elemen Pendukung Keistimewaan DIY, Widhihasto Wasana Putra menjelaskan lakon dimainkan oleh Paguyuban Budaya Surojoyo Gunungkidul. Rombongan lain berbusana jawa datang dari paguyuban dukuh dan lurah se-DIY.

"Punakawan menjadi simbol rakyat kecil seperti filosofis dunia pewayangan. Dan, menegaskan bahwa rakyat kecil tetap mendukung penetapan Ngarso Dalem atau kawulo alit yang diperankan Semar, Petruk, Bagong dan Gareng," ungkapnya.

Dia menambahkan juga mengirim delegasi dari perwakilan dukuh dan lurah untuk berdiskusi sebagai perwakilan dari elemen pemerintah propinsi DIY.

"Kami akan terus melakukan dukungan dan mengawalnya. Termasuk untuk agenda besok di beberapa kabupaten dan pertemuan Komisi II DPR RI dengan semua elemen masyarakat di Gedung Graha Wana Bhakti Yasa. Disana kita akan melakukan pengerahan massa sekitar 500 orang," tandasnya. (Ran)

Ancam Keistimewaan, Jangan Politisir Hukum

BANTUL (KRjogja.com) - Adanya gerakan masyarakat yang mencoba melakukan politisasi hukum dapat mengancam Keistimewaan DIY yang sedang diperjuangkan. Pasalnya, perbuatan tersebut dilakukan untuk menggerogoti daerah yang getol menyuarakan penetapan, seperti Kabupaten Bantul.

Koordintor Paguyuban Rakyat Bantul, Ariesman mengatakan, saat ini beredar selebaran dan SMS gelap yang meresahkan. “Ada beberapa pihak yang mencari-cari kesalahan, ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya di Bantul, Rabu (9/3).

Ariesman menegaskan, Bantul merupakan pendukung utama dari Keistimewaan DIY. Karenanya, politisasi hukum yang dilakukan secara berjenjang, dapat menganggu konsetrasi dukungan masyarakat, meski tetap berprinsip menjaga keistimewaan DIY.

Bentuk intimidasi tersebut adalah ada beberapa oknum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempertanyakan asal dana untuk mobilisasi massa saat mendukung Keistimewaan DIY. “Itu adalah otonomi desa, kenapa diutik-utik oleh orang yang tidak berkepentingan,” herannya.

Politisasi yang paling kentara, menurutnya, dapat terlihat dari proses hukum yang saat ini membelit Drs Gendut Sudarto, mantan Sekda Bantul. “Hormati hukum yang sedang berjalan, jangan terus dikaitkan dengan hal lain,” ucapnya.

Penggiat Paguyuban Rakyat Bantul, Untoro Hariadi menyatakan, rakyat jangan termakan opini yang belum tentu kebenarannya. “Jika terus membuat resah, maka itu tidak produktif dan mengadu domba,” jelasnya. (*-7)

Rabu, 09 Maret 2011

Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa...

Pada tahun 1998, menjelang keruntuhan rezim Soeharto, sejumlah kota besar di negara ini mengalami kerusuhan yang mengakibatkan korban rakyat sipil. Ketika itu, tanggal 20 Mei pada tahun yang sama, ada gerakan rakyat yang melibatkan sejuta orang dari seluruh penjuru Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak yang memperkirakan, Yogyakarta pasti akan rusuh seperti kota-kota lain. Bahkan, Solo yang hanya berjarak 60 kilometer dari Yogyakarta ternyata mengalami kerusakan sangat dahsyat akibat amuk rakyat yang tak terkendali.

Perkiraan terjadinya kerusuhan di Yogyakarta meleset. Memang benar semua penduduk keluar rumah. Mereka berupaya menuju ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Jalan penuh, sampai ke lorong-lorong sempit di sekitar kawasan Malioboro yang padat penduduk. Pemilik toko tidak membuka usahanya. Sebagai ganti, mereka berpartisipasi dengan menyediakan makanan dan minuman untuk rakyat yang melalui kawasan di sekitar toko.

Pengaruh Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X jelas besar dalam menentukan keamanan di wilayahnya. Waktu itu pemerintahan Provinsi DIY masih dijalankan oleh Paku Alam (PA) VIII, yang juga turut menemui massa di Alun-alun.

Sultan HB X sebagai raja yang mengayomi masyarakat dalam kondisi yang genting, penuh ketegangan dan provokasi, sering kali berkeliling ke seluruh Yogyakarta menenteramkan hati rakyat yang panas. Konsentrasi massa di pusat perbelanjaan yang sangat rawan dengan aksi perusakan dan pembakaran berhasil dilunakkannya. Semua merasa berterima kasih karena merasa diayomi Sang Raja.

Peristiwa itu sering disebut Pisowanan Ageng, yang menunjuk sebuah ritual pertemuan antara rakyat dan raja dalam tradisi keraton. Namun, banyak juga yang mengatakan sebagai gerakan rakyat Yogyakarta. Ini karena peran rakyat dalam aksi satu juta orang menjelang runtuhnya Soeharto di Yogyakarta itu sangat nyata.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman KH Abdul Muhaimin mengungkapkan, peristiwa ratusan ribu warga Yogyakarta yang turun ke jalan pada 20 Mei 1998 itu adalah gerakan rakyat.

”Saya salah satu yang menjadi organisator bersama-sama dengan Pak Loekman Sutrisno (almarhum guru besar Universitas Gadjah Mada/UGM). Dalam rapat-rapat sebelum peristiwa itu, saya selalu ikut. Pada tanggal 19, sehari sebelumnya, saya menandatangani 300 kartu identitas untuk relawan di Wisma Bethesda. Untuk menyelesaikan tanda tangan itu sampai pukul 3.00 dini hari. Rapat itu membahas rencana aksi dengan detail,” katanya.

Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, juga menjelaskan kenapa gerakan rakyat Yogyakarta yang melibatkan jutaan warga ini bisa berlangsung damai, tidak seperti Solo atau Jakarta yang sedemikian bergolak.

”Faktornya banyak. Sultan juga merupakan salah satu faktor sehingga aksi menjadi tidak beringas. Di Yogyakarta juga banyak mahasiswa yang terlibat dan mereka berpikir lebih ilmiah. Tetapi, saya kira kalau gerakan ini terjadi di kota lain, akan beda. Bisa hancur-hancuran. Kami semua sadar, kota ini selalu menjadi barometer, jika Yogyakarta ini bergolak, seluruh Indonesia juga akan bergolak. Kalau sudah demikian, yang akan menjadi korban justru rakyat. Inilah yang disadari oleh kami semua,” lanjutnya.

”Peristiwa ini tentu menunjukkan adanya keistimewaan Yogyakarta. Coba saja lihat, rompi yang dipakai oleh relawan pada waktu itu hanya terbuat dari kain belacu yang dilubangi. Kekompakan antara rakyat Yogyakarta dan para aktivis ini berlangsung sangat erat. Penggalangan terjadi di kantor Pak Loekman Sutrisno yang berada di UGM, termasuk kita merancang pertemuan di tingkat rukun tetangga (RT). Semua ini dilakukan untuk membuat Yogyakarta damai. Sampai-sampai kami ini mengidentifikasi wilayah yang rawan bergolak, seperti Kricak, Gondomanan, dan Tukangan, itu kami datangi. Di samping juga menggerakkan para dermawan untuk membuat spanduk yang kami pasang di seluruh wilayah Yogyakarta. Semua itu keluar dari kantong warga dengan sukarela,” papar Muhaimin.

Dihubungi secara terpisah, sejarawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM Bambang Purwanto mengatakan, yang paling besar dalam menentukan keistimewaan Yogyakarta itu rakyat, sedangkan elite itu hanya ”katut”.

”Di zaman kemerdekaan 1945 merupakan masa awal-awal peran rakyat yang besar demikian, pula pada zaman reformasi 1998 ada peranan rakyat untuk mendorong terjadinya reformasi. Dalam isu lokal guna melestarikan keistimewaan Yogyakarta, bisa dilihat pula peran rakyat yang besar dalam mengkritisi proses pembangunan Ambarrukmo Plaza dan wacana tentang pembangunan parkir bawah tanah di bawah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Ini semua menunjukkan peran rakyat,” ujarnya.

Titik penting

Titik penting yang dipakai untuk menentukan sejarah keistimewaan Yogyakarta antara lain Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno dan Maklumat (Amanat) 5 September 1945 dari HB IX dan PA VIII yang berisi pernyataan dua pemimpin itu untuk menggabungkan wilayahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

HB IX memang dikenal mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kedekatan dengan rakyat jelata dan kemampuan yang luar biasa dalam melihat visi ke depan. Namun, HB IX juga diuntungkan oleh rakyatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam bidang politik jauh sebelum kemerdekaan.

Kesadaran yang tinggi tentang hak merdeka dan nasionalisme diperoleh rakyat berkat pendidikan yang lama mereka peroleh melalui berbagai sekolah yang didirikan penjajah maupun elite bangsawan.

Menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo, sebenarnya sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900- 1942, juga sebelum zaman Politik Konservatif 1800-1870, Keraton Yogyakarta telah mendirikan sekolah pada 1848, yaitu Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah itu bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga Keraton dan keluarga (putra Sentana).

Namun, pada tahun 1867, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen yang berlokasi di Keraton, yaitu di Sri Manganti dan Pagelaran. Dengan berdirinya sekolah gubernemen itu, pihak kolonial Belanda melakukan tekanan pada Sekolah Tamanan maupun Sekolah Madya, hingga akhirnya kedua sekolah itu menghentikan aktivitasnya.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski mendapat pendidikan dari kolonial, priayi yang memiliki kepedulian pada nasib bangsa terus berupaya mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dari upaya mendirikan sekolah ”swasta” atau sekolah partikelir itulah lahirlah gerakan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Ketika zaman kemerdekaan, dan terutama saat ibu kota Republik Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta tahun 1946, Yogyakarta menjadi kota perjuangan yang berisi pejuang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Semua diterima dengan senang hati oleh Sultan HB IX. Bahkan, tak sekadar diterima, sejumlah pemimpin dari daerah lain juga dibiayai hidupnya oleh HB IX.

Misalnya, kesaksian Sjafruddin Prawiranegara. ”Bukan saja saya baru berkenalan dengan Sultan HB IX, tetapi antara kami berdua sebenarnya terdapat perbedaan sosiokultural yang besar. Saya hanya rakyat biasa, walau kadang-kadang menjabat sebagai menteri seperti pada waktu itu, sedangkan beliau adalah seorang sultan yang biasa disembah dan diagung-agungkan oleh rakyatnya, bahkan mungkin juga di luar rakyatnya. Di samping itu, saya seorang Sunda-Banten dan beliau orang Jawa tulen.”

Bambang Purwanto berpendapat, pendirian UGM yang mendapat dukungan sangat besar dari Sultan HB IX secara langsung telah memberikan sumbangan yang sangat besar dengan apa yang disebut keistimewaan Yogyakarta.

UGM mengadakan kuliah pertama pada 13 Maret 1946 di Keraton Yogyakarta. Jumlah mahasiswa semakin hari bertambah banyak. Perkuliahan terhenti ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah persetujuan Roem-Roeijen tanggal 7 Mei 1949, usaha untuk menyelenggarakan pendidikan UGM mulai muncul kembali.

Persiapan penyelenggaraan kembali perguruan tinggi ini mendapat dukungan yang besar dari HB IX, yang menyediakan Pagelaran, Sitihinggil, dan beberapa bangunan lain milik Keraton, baik untuk kegiatan perguruan tinggi maupun tempat tinggal, kepada mahasiswa dan pengajar. Dukungan ini bukan hanya pada tahun pertama keberadaannya, tetapi dapat dikatakan kegiatan utama UGM sebenarnya berlangsung di sekitar tembok Keraton Kasultanan Yogyakarta selama sepuluh tahun yang pertama.

UGM menjadi daya tarik baru bagi masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara untuk datang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu. Yogyakarta menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai suku dan agama bukan hanya sebagai kota perjuangan, selanjutnya sebagai tempat untuk menuntut ilmu ketika masa-masa revolusi fisik telah usai.

UGM, kata Bambang, dari sejarahnya tidak didirikan atas nama Gadjah Mada an sich, tetapi dia adalah representasi dalam dari identitas keindonesiaan. Identitas keindonesiaan itu disadari dan dibesarkan pertama- tama oleh HB IX sebagai pribadi dan penguasa dan kemudian dibesarkan oleh Yogyakarta, oleh rakyatnya.

”Ini yang harus dipentingkan, terlepas dari pertikaian kadang- kadang antara tukang becak atau antarkampung zaman dulu, tetapi harus ingat, dukungan rakyat Yogyakarta bagi besarnya UGM sangat besar. Dukungan itu sebenarnya bukan hanya pada UGM, tetapi pada pendidikan Indonesia, karena kita tahu UGM kan menyuplai sebagian besar elite terdidik. Itu sangat ditentukan oleh rakyat Yogyakarta,” ujarnya.

Bambang mencatat, masa-masa antara 1950 dan 1980, hubungan antara mahasiswa dan masyarakat itu benar-benar hubungan batin, bukan ekonomis seperti yang sekarang ini terjadi. Hubungan batin itu merupakan kontribusi rakyat Yogyakarta yang sangat besar bagi pendidikan. ”Kalau kemudian Yogyakarta punya hak untuk menyandang status keistimewaan, faktor itulah salah satu yang layak untuk dipertimbangkan selain faktor lain yang misalnya perannya mempertahankan eksistensi Indonesia pada tahun 1946-1950,” tegas Bambang.

Memang bukan sekadar peran elite yang membuat Yogyakarta memperoleh status khusus dalam NKRI. Provinsi ini menjadi salah satu daerah yang khusus, selain Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan DKI Jakarta, karena rakyatnya istimewa, rakyat mempunyai peran sangat besar dalam mendirikan fondasi maupun tembok keistimewaan Yogyakarta.(Bambang Sigap Sumantri)

Senin, 07 Maret 2011

Penetapan Gubernur Juga Demokratis Pandangan Forum Konstitusi atas RUUK Jogja

JAKARTA – Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya tidak mengatur konsep pemilihan demokratis secara kaku. Terhadap konteks daerah istimewa, pemilihan atau penetapan kepala daerah sebaiknya dirumuskan berdasar aspirasi seta aturan UU sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Konstitusi Harun Kamil dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi II DPR kemarin (2/3). Meski selama ini pengisian jabatan di Jogja dilakukan melalui penetapan, konstitusi tetap membuka peluang adanya modifikasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

’’Original intent (UUD 1945) itu kan misalnya gubernur utama tidak pernah ada dalam konstitusi kita. Kalau yang tentang penetapan atau pemilihan, sebenarnya diserahkan pada undang-undang,’’ katanya.
Menurut Harun, pengisian jabatan kepala daerah di daerah istimewa bisa dilakukan dengan penetapan maupun pemilihan langsung. DPR dan pemerintah bisa bebas menerjemahkan frasa demokratis dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Hanya, dalam perumusan, DPR dan pemerintah diminta tidak mengabaikan aspirasi warga Jogja. ’’Sebab, aturan yang nanti dibuat kan berlaku di masyarakat,’’ ujarnya. Jika satu konsep dipaksakan, potensi konflik bisa terjadi.
Anggota Forum Konstitusi Zain Badjeber menambahkan, pembuatan perundangan tentu tidak sekadar melihat sejarah kebudayaan, melainkan juga menilik sejarah undang-undang yang pernah mengatur. UU No 22/1948 tentang Pemda, UU No 3/1950 tentang Jogja, UU No 5/1974 tentang Pemda, dan UU No 22/1999 tentang Pemda seluruhnya mengacu pada pengisian jabatan melalui penetapan.
’’Artinya, wakil rakyat dan pemerintah yang selama ini membuat UU sebaiknya
tidak mengutak-atik apa yang sudah terjadi,’’ ujarnya.

Menurut dia, agar RUUK Jogja bisa sesuai dengan konstitusi serta aspirasi masyarakat Jogja, sebaiknya DPR dan pemerintah memperkuat aturan dengan mengadopsi peraturan di internal kesultanan. Mekanisme internal itu sudah berjalan efektif selama beratus-ratus tahun.
Bisa jadi, mekanisme internal di Kesultanan Jogja akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai asas kepastian dalam RUUK yang ditetapkan. ’’Mengadopsi aturan keraton itu sah-sah saja,’’ tegasnya. (bay/c5

Tak Perlu Sebut Jogja Provinsi

JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memberikan usul menarik terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Jogjakarta. Untuk mengatasi ”kerumitan”, dia mengusulkan jalan tengah untuk menjembatani polemik. Menurut mantan Menkeh itu, posisi Jogjakarta bisa dirumuskan lebih mudah jika konsep antara provinsi dan daerah istimewa dipisahkan. ”Ketentuan pasal 18 B UUD 45 itu memberikan kemungkinan bagi daerah-daerah yang diakui secara khusus dan istimewa, diatur secara tersendiri,” kata Yusril dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUUK Jogja di Komisi II DPR kemarin (24/2). Yusril diundang komisi II dalam kapasitas sebagai ahli untuk memberikan masukan terkait polemik RUUK Jogja.

Menurut Yusril, setidaknya RUUK Jogja bisa mengadopsi konsep UU Nomor 3 Tahun 1950. Dalam UU tersebut, pemerintah mengakui Jogjakarta sebagai daerah istimewa, bukan sebagai provinsi. Dalam posisi daerah istimewa, kata Yusril, posisi gubernur disebut dengan istilah kepala daerah.
”Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tidak mengatur pemilihan. Nyatanya selama ini baik-baik saja,” ujarnya.

Posisi kepala daerah itu, kata Yusril, dijabat Sri Sultan dan Paku Alam sebagai wakilnya. Siapa pun yang menjadi Sultan dan Paku Alam, DPRD yang nanti berhak menetapkan keduanya. Nah, presiden yang kemudian mengesahkan keduanya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. ”Jika memang ada konflik, serahkan saja kepada rakyat Jogjakarta,” jelasnya.

Memisahkan definisi provinsi dengan daerah istimewa lebih simpel daripada konsep yang ditawarkan pemerintah. Menurut Yusril, konsep gubernur utama dan wakil gubernur utama justru memosisikan Jogjakarta sebagai negara bagian. ”Kalau kita menganut gubernur utama ini, lalu apakah kita ini mengadopsi monarki konstitusional,” ujarnya dengan nada bertanya.
Konsep tersebut, kata Yusril, mirip dengan konsep negara bagian yang dianut Malaysia. Di negeri jiran itu, para sultan di setiap daerah atau negara bagian dipilih dan diputuskan oleh kerabat sultan.

Selain itu, di negara bagian Malaysia dikenal menteri besar yang dipilih secara langsung melalui pemilu lokal, kemudian menteri besar itu ditetapkan oleh sultan. Menteri besar ini mirip dengan konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang ditawarkan pemerintah dalam RUUK Jogja. ”Kalau memang seperti itu, berarti kita mengakui sistem monarki konstitusional dalam konteks sebuah negara bagian. Sedangkan kita ini kan tidak begitu pikirannya,” tandasnya.

Tak Ada Imunitas Sultan-Paku Alam RUUK di Mata Pejabat Pemprov

JOGJA - Pejabat di lingkungan Pemprov DIJ buka suara terkait pendapat mereka terhadap RUUK DIJ. Sikap itulah yang ditunjukkan Assekprov Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Tavip Agus Rayanto saat mendampingi Wagub DIJ Paku Alam IX menerima rombongan Komisi A DPR Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di Kepatihan kemarin (14/1). RUUK itu demi untuk memberikan kepastian hukum, ucap Tavip. Dia mengatakan, meski DIJ telah memiliki UU No. 3 Tahun 1950, keberadaan UU tersebut belum cukup untuk menjamin dan mengatur keistimewaan DIJ. Sebab, UU tersebut baru mengatur pembentukan DIJ yang sama dengan pembentukan provinsi lain. Karena itu, sesuai konstitusi keistimewaan DIJ harus diatur dengan undang-undang tersendiri.

Menurut Tavip, nasib DIJ memang tidak sebaik provinsi lain seperti DKI Jakarta, NAD, dan Papua yang mendapatkan status otonomi khusus. Tiga provinsi itu telah memiliki UU otonomi khusus. UUK itulah yang kita perjuangkan,kata alumnus Jurusan Sosiatri Fisipol UGM ini.

Tavip juga membantah tudingan bila pemerintahan DIJ berjalan layaknya monarkhi atau kerajaan. Menurut dia, penyelenggaraan pemerintahan DIJ tak beda dengan provinsi lain.
Status Sultan dan Paku Alam sebagai raja dan adipati hanya berlaku di lingkungan Keraton dan Pakualaman. Sedangkan bila memasuki pemprov, status mereka adalah gubernur dan wakil gubernur yang terikat aturan-aturan pemerintahan.

Dalam pandangannya sebagai orang daerah, Tavip juga mengatakan dalam posisinya sebagai gubernur dan wakil gubernur tak ada hak imunitas yang diperoleh Sultan dan Paku Alam. Kedudukan hukum Sultan dan Paku Alam tak ada bedanya dengan warga negara lainnya.
Tidak ada yang spesial. Kalau Sultan dan Paku Alam terkena kasus hukum keduanya juga harus tunduk dengan proses hukum, ungkap Tavip. Ini sangat berbeda dengan ide pusat menjadikan Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya yang mendapatkan sejumlah hak-hak kekebalan.

Di depan tamunya, Tavip juga mengatakan keistimewaan DIJ dibandingkan daerah lain saat ini tinggal ada pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme penetapan tanpa melalui pemilihan menjadikan DIJ berbeda dengan daerah lain.
Dasar penetapan itu, terangnya, secara historis dan yuridis memiliki argumentasi yang kuat. Penetapan dimulai dengan adanya Amanat 5 September 1945, Piagam Kedudukan Presiden RI 19 Agustus 1945, UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004.

Tavip juga mengatakan, setiap lima tahun di DIJ selalu muncul gejolak menyangkut tata cara suksesi apakah melalui penetapan atau pemilihan. Karena itulah, desakan RUUK DIJ segera disahkan bertujuan mengingatkan pemerintah pusat agar mengambil keputusan menyangkut keistimewaan DIJ.
Selain soal penetapan, Tavip mengatakan, keistimewaan DIJ lainnya menyangkut soal penataan pertanahan. Itu terjadi karena DIJ ada tanah-tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG).
Menanggapi paparan Tavip itu, Ketua Komisi A DPR NAD Adnan Beuransyah mengatakan, dari sisi sejarah DIJ dan Aceh memiliki kesamaan sebagai daerah yang dulu bersifat kerajaan. Kerajaan Aceh diduduki melalui maklumat perang yang diumumkan Belanda pada 1879.
Politikus dari Partai Lokal Aceh ini juga mengkritisi sejarah nasional Indonesia yang menyatakan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional. Menurut dia, penetapan status pahlawan itu merupakan pembohongan sejarah. Cut Nyak Dien bukan pahlawan nasional. Indonesia baru lahir setelah 17 Agustus 1945, katanya.
Cut Nyak Dien berjuang demi mempertahankan bumi Aceh dari serangan Belanda. Karena itu lebih tepat, ia disebut pahlawan daerah Aceh. Kalau Soekarno Hatta tepat disebut pahlawan nasional karena mereka berjuang setelah Indonesia lahir, ungkapnya berapi-api. (kus)

Mencari Jalan Keluar Penyelesaian RUU Keistimewaan Jakarta-Jogja: Perspektif Government Networking

Oleh: Marwanto

Akhirnya, lewat Surat Presiden bernomor R99 tahun 2010, pemerintah mengajukan RUU Keistimewaan ke DPR. Meski kondisi di Jogja sekarang relatif tenang, hal tersebut tidak menjamin ketegangan antara Jakarta dan Jogja reda. Apalagi dalam draf RUUK yang diajukan tersebut, pemerintah tetap bersikeras pengisian jabatan gubernur dilakukan dengan cara pemilihan. Sementara Jogja tetap bersikukuh penetapan.

Dilihat dari kacamata sistem pemerintahan, ketegangan antara Jakarta dan Jogja merupakan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Dan jika megacu pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal tersebut bisa diselesaikan dengan mudah. Sebab pada prinsipnya, konsep NKRI mendudukkan kepentingan negara dan bangsa (pusat) di atas kepentingan golongan dan daerah.

Namun ketegangan antara Jakarta dan Jogja kali ini tidak bisa dilihat dari kacamata sistem pemerintahan konvensional. Artinya, ketegangan tersebut bukan sebuah problem yang mesti didekati dengan kerangka NKRI an sich. Hal ini karena dari alur sejarah ada hubungan khusus (istimewa) antara Jakarta dan Jogja. Dengan demikian, perlu sebuah terobosan dan solusi yang sedikit banyak keluar dari “pakem, atau tidak sekedar berdasar kerangka formal kelembagaan yang telah ada.


Dari Government ke Government

Kompleksitas hubungan pusat-daerah pasca era reformasi, seiring menguatnya tuntutan otonomi di sejumlah daerah, telah mendorong terjadinya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan. Dulu, di era Orde Baru (Orba) yang kita ketahui segala pengelolaan serba sentralistik, penerapan paradigma government mungkin lebih sesuai. Ide dasar government adalah menempatkan pemerintah (pusat) sebagai pemain kunci dalam regulasi, redistribusi ekonomi dan perluasan ranah politik masyarakat.

Konsep government tersebut pada kenyataannya tidak membuat pemerintahan berjalan efektif. Bahkan dapat dikatakan gagal, terutama ketika relasi antar pemerintah dengan masyarakat kian kompleks dan tuntutan demokratisasi di segala aspek kehidupan menguat. Dari sinilah para pakar pemerintahan lalu meresponnya dengan melontarkan ide good government.

Beda dengan government yang merupakan rejim aturan (rule) dengan penekanan pada peran negara (pemerintah pusat) sebagai sumber kuasa, government menekankan pola kepemerintahan antara state (negara), market (pasar atau sektor bisnis) dan civil society (masyarakat sipil) melalui mekanisme yang demokratis. Perubahan paradigma ini membuat karakter relasi dalam tata pemerintahan dari yang sebelumnya satu arah (top-down) dan bersifat instructing berubah ke pola jejaring (networking).

Dalam pola jejaring (networking), posisi antar aktor yang saling berhubungan baik dari komponen pemerintah, swasta maupun masyarakat bersifat sederajat, otonom, sukarela dan tanpa ada hirarki yang ketat seperti diatur dalam kerangka regulasi legal-formal (Pratikno, 2007). Dengan posisi demikian, maka logika yang dibangun para aktor adalah kesetaraan, sinergisitas dan koordinasi. Melalui tiga logika yang dibangun tersebut diyakini segala persoalan yang dibahas akan mudah selesai dengan cara-cara yang elegan.

Networking dan Problem RUUK


Dalam konteks problem Jakarta-Jogja, kesan yang ada menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjalin masih antara pusat dan daerah dengan berpegangan kerangka legal-formal an sich. Sehingga, logika yang dibangun pun adalah antara atas dan bawah dalam mekanisme top-down. Dapat dipastikan, logika tersebut sulit diterima publik, apalagi untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah krusial dan menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Disamping itu, para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dilibatkan terkesan hanya untuk alat legitimasi terhadap mindset yang telah dimiliki pusat. Hal ini bisa dilihat dengan pelibatan kalangan akademisi dalam membuat draf RUUK. Draf RUUK versi Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM yang mengusung Parardya konon telah dibelokkan. Konsep parardya diredusir (menjadi konsep gubernur utama?), sementara aspek lain yang ditawarkan draf versi JIP tersebut (yakni pengisian gubernur dengan pemilihan) diterima sekedar untuk pembenar ilmiah bahwa dalam alam demokrasi pengisian jabatan publik harus lewat jalur pemilihan.

Sementara itu, pembahasan RUUK di DPR nantinya bisa diprediksi kurang memberi ruang peran stakeholders. Argumentasinya, suara stakeholders sudah diwakili anggota dewan. Dan ketika yang terjadi adalah kontrol Sekretariat Gabungan (Setgab) terhadap suara dewan berjalan efektif, maka sejatinya dalam pembahasan itu yang ada hanya suara pemerintah dengan“pemerintah Dengan demikian, logika networking dalam penyelesaian RUUK belum berjalan.

Jika hendak menjalankan pola government networking dalam menyelesaikan problem Jakarta-Jogja maka meski RUUK sudah dibahas di dewan tetap harus mendengarkan (terlebih melibatkan secara intes dan sungguh-sungguh) suara dan aspirasi stakeholders. Proses pembahasan RUUK tidak hanya berpedoman pada kerangka legal formal (pemerintah dan dewan), tapi juga melibatkan stakeholders di luar dua pihak tersebut. Dengan pelibatan peran stakeholders dalam posisi yang otonom dan sederajat, niscaya ketegangan antara Jakarta-Jogja bisa diurai.

Dengan menggunakan perspektif government networking maka nantinya RUUK tersebut tidak hanya berisi atau memuat aturan yang demokratis, tapi dilihat dari aspek pembuatannya (proses lahirnya) juga harus melewati mekanisme yang demokratis. Sangat ironi jika nantinya RUUK itu menghendaki pemilihan, tapi dihasilkan dalam proses dan mekanisme yang tidak demokrasi. Sebaliknya, jika nantinya RUUK nantinya mengamatkan penetapan, jika itu memang dihasilkan dalam proses yang demokratis tentu semua pihak harus berlapang dada. ***

*) Marwanto, mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD Jogjakarta

Kamis, 03 Maret 2011

Pemikiran HB X tentang Keistimewaan DIY

Mengapa Keistimewaan DIY Harus dipertahankan

Oleh

Hamengku Bowono X




SEBAGAIMANA Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-99/Pres/12/2010 tanggal 16 Desember 2010 perihal Rancanga Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yan telah disampaikan kepada DPR RI beberapa waktu yang lalu, dan ditindaklanjuti dengan penyampaian keterangan pemerintah atas RUU Keistimewaan Provinsi DIY yang telah disampaikan pada Rapat Kerj dengan Komisi II DPR-RI pada tanggal 2 Januari 2011, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan respon baik dari aspek tinjauan secara umum maupun khusus atas materi dimaksud.




A. Tinjauan Secara Umum


Salah satu aspek penting yang harus dijawab dalam menyusun sebuah Undang-Un dang adalah apa argumentasi, rasionalitas atau relevansi perlunya disusun sebuah Undang-Undang. Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, paling tidak terdapat beberapa alasan yang dapat saya sampaikan sebagai berikut:


Alasan Historis


DIY berasal dari dua kerajaan yang berkuasa dijaman sebelum Republik Indonesia lahir yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.


Selenography ketika mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian mengirim surat kawat kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat dan sikap politik untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Selanjutnya sikap politik tersebut dibalas dengan perlakuan istimewa dari Presiden Presiden berupa pemberian Piagam Penetapan tertanggal 19 Agustus 1945, yang intinya Presiden Soekarno menetapkan Sri Sultan dan Sri Paku Alam tetap pada kedudukann dengan kepercayaan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.


Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat yang kemudian dikenal sebagai amanat 5 September 1945 yang isinya: Pertarna: bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadingrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia Kedua: bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta mulai saat ini berada di tangan kami, Ketiga: bahwa hubungan antara Negeri Ngayogyakarta dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden RepublikIndonesia. Hal yang sama pada saat yang bersamaan juga dibuat oleh Sri Paku AlamVIII.


Dalam perkembangannya wilayah Negeri Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, yangselanjutnya diatur di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta peristiwa sejarah tersebut yang melandasiasi pengakuan hukum atas DIY, dan fakta berikutnya dengan berbagai pertimbangan Yogyakarta ditetapkan menjadi ibu kota Republik Indonesia dari tahun 1946-1949.


Alasan Filosofis


Pada waktu sebelum kelahiran Republik Indonesia ada sebanyak 250 (duaratus lima puluh rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum adat) yang masing-masing memiliki otonomi yang sangat luas, termasuk Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman. Kedua daerah ini dalam bahasa Belanda disebut vorstenlanden atau Kerajaan. Masyarakat hukum adat semacam ini diikat secara politik oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan korte verklaring (kontrak jangka pendek) dan lange contracten (kontrak jangka panjang).


Pada waktu itu Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman telah mempunyai dasar hukum atau koninklijk besluit dari Ratu Wilhelmina sebagai daerah yang berdaulat, sehingga secara hukum internasional kedudukannya sama dengan sebuah negara, sehingga pada waktu RIS, Belanda tidak dapat masuk ke Yogyakarta, dan oleh karenanya Yogyakarta dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia, karena secara hukum internasional kedaulatan Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memang dihormati. Pengakuan (recognition) dan penghormatan (respectation) tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi, melainkan merupakan fakta politis dan empiris yang tidak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman yang berubah.


Sebagai negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia pada waktu itu sangat membutuhkan pengakuan dari negara lain sehingga keputusan bergabungnya Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memiliki arti sangat penting bagj Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduknya secara kongkrit hagi Indonesia.


Analogi penggabungan kedua negara tersebut yang kemudian sering dikenal dengan istilah Ijab kabul, dimana ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima selanjutnya diberikan mahar atau mas kawin sebagai daerah setingkat provinsi yang bersifat istimewa. Dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam Vlll mewakili Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman, dipihak lain Soekarno mewakili Republik lndonesia, sehingga tidak bisa begitu saja menafikkan daya ijab qabul yang telah disepakati bersama tersebut.


Dalam perspektif hukum internasional perjanjian kedua negara tersebut biasa dikenal sebagai bilateral treaties. Asas hukum pacta sunt servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan dimaksud.


Setelah bergabung dengan Republik Indonesia.praktis penyelenggaraan pemerintahannya mengikuti sistem yang dianut oleh Republik Indonesia kecuali dalam hal mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan WakilGubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya. Kepemimpinan di DIY bersifat ascribed status (turun-temurun), inilah yang menjadi ruh keistimewaan DIY, oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan di DIY tidak dapat disebut monarchy, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang sangat terbatas sebagaimana diatur di dalam UU No 32 tahun 2004, disamping itu keluarga Raja tidak mempunyai hak-hak khusus atau istimnewa di dalam pemerintahan.


Alasan Yuridls


Mekanisme pengisian jabatan Gubernu dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yang telah berjalan selama ini konstitusional, hal in sejalan dengan bunyi pasal 18B UUD I945. Pasal ini dirnaksudkan untuk mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua (lex-specialist). Sementara pasa] 18 ayat (4), dimaksudkan untuk mengatur daerah-daerah lainnya (lex-generalist).


Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang demikian berdasarkan teori hukum merupakan hak konstitusional bersyarat (fundamental rights of constitusional condition), artinya sepanjang tidak menyalahi konstitusi,dan sepanjang masih berlaku dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakatnya maka proses yang demikian konstitusional.


Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga Pasal 18B Undang-Undang Dasar hasil amandemen, menghormati hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Pada konteks kekinian jaminan keistimewaan dalam Undang-Undang Dasar tersebut diberikan bukan sebagai bentuk hutang budi politik atau kompensasi atas penggabungan diri Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman kepada Negara Republik Indonesia, melainkan murni pengakuan dan penghormatan yang obyektif.


Ayat (1) dan ayat (2) pasal 18B WD 1945 mengandung norma-norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Atas dasar hal tersebut, maka makna keistimewaan sebagaimana dimaksud menunjukkan konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya "dikecualikan" Sejalan dengan hal tersebut, selanjutnya dijadikan rujukan dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dari waktu ke waktu mengalami dinamika dan "pasang surut"


Pengaturan pemerintahan daerah diawali dengan UU No. 1 Tahun 1945, dalam UU ini disebutkan bahwa "KomiteNasionalDaerah (KND) diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta" dalam penjelasan disebutkan bahwa pengecualian ini merupakan implikasi dari Piagam Penetapan yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.


Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1948 dengan jelas menyebutkan bahwa daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat ishmewa ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan zelfbesturende landschappen. Daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari RepublikIndonesia. Dalam UU ini, keistimewaan DIY diberikan dalam hal penentuan kepala daerah dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa diangkat oleh pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan mengingat adat istiadat di daerah itu. Sedangkan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berbeda dengan pemerintahan daerah lainnya.


UU No. 1 Tahun 1957 pada intinya melanjutkan apa yang telah diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1948. Isi keistimewaan bahwa kepala daerah diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah Yogyakarta.


UU No. 18 Tahun 1965 tidak mengatur secara jelas tentang keistimewaan DIY, namun di dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa daerah tingkat I dan DIY berhak mengatur dan mengurus rurnah-tangganya sendiri berdasarkan W No. 1 Tahun 1957. Lebih lanjut dalam, pasal 88 ayat (2) huruf a dan huruf b disebutkan bahwa sifat istimewa sesuatu daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 UUD yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan istimewa atas alasan lain, berlaku hingga dihapuskan.


UU No. 5 Tahun 1974, dalam UU ini ciri keistimewaan pada kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu: Kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya.


UU No. 22 Tahun 1999 mengatur bahwa keistimewaan untuk Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIYsebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIY didasarkan pada UU ini.


UU No. 32 Tahun 2004 pasal 225 menyebutkan bahwa: daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam UU lain. Lebih lanjut disebutkan bahwa ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi NAD, Provinsi Papua, dan Provinsi DIYsepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri. Sampai dengan saat ini, DIY satu-satunya daerah yang belum diatur secara khusus dalam UU tersendiri sebagainana amanat konstitusi pengaturan keisimewaan DIY selama ini hanya "ditempelkan" dalam UU Pemerintahan Daerah


Seharusnya DIY juga telah diatur dalam sebuah UU tersendiri sebagaimana halnya tiga daerah lainnya. Secara teoritis pengaturanl yang demikian merupakan salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi asimetris, dimana derajat desentralisasi antar unit pemerintahan yang satu dengan yang lainnya dibedakan, dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan stabilitas nasional, dan juga untuk mengakomodasikan daerah-daerah yang memiliki status khusus dan istimewa, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi.


Alasan Sosiologis


Bagi masyarakat DIY, keistimewaan tidak hanya bermakna pemberian hak previlage bagi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, melainkan dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri masyarakat yang dalam sejarah perjalanan negara bangsa ini diberi tempat dan diakui secara konstitusional. Berpijak dari kenyataan itulah, maka ketika banyak yang mempermasalahkan keistimewaan DIY, maka ukuran yang dipergunakan menjadi sangat politis.


Ada yang beranggapan bahwa yang telah berjalan selama ini dianggap sudah tidak sesuai dengan tantangan jaman dan demokratisasi. Secara filosofis vox populi vox dei, sebagai ruh demokrasi menunjukkan bahwa ukuran demokrasi harus benar-benar berpijak pada kepentingan dan kehendak rakyat. Apabila melihat realita dinamika masyarakat di DIY yang sebagian besar masih menginginkan praktek yang telah berjalan selama ini tetap dipertahankan maka seharusnya keinginan tersebut diakomodasikan. Dalam perspektif ini, demokrasi tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan memilih dan dipilih, tetapi demokrasi harus bisa mengakomodir aspirasi rakyat.


Pandangan demokrasi di Indonesia telah terwadahi dalam sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat. kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Saat ini ada semacam hegemony of meaning yang mendefinisikan babwa satu-satunya metode rekruitmen yang demokratis hanya melalui pemilihan secara langsung. Euphoria pemilihan telah meminggirkan kebebasan demokrasi Indonesia yang berbasis pada prinsip kekeluargaan. Wajah demokrasi Indonesia serta-merta bermetamorfosa menjadi westernistik.


Demokrasi sebenarnya merupakan dimensi humanitas atau kebudayaan, karenanya demokrasi dapat dipandang sebagai salah satu hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban. Sementara konsepsi demokrasi sendiri dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti: welfare democracy, people's democracy, social democracy, participatory democracy, dan sebagainya. Puncak perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya adalah demokrasi yang berdasar atas hukum atau constitutional democracy. Dalam perspektif ini, demokrasi terwujud secara formal dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan kenegaraan. Sedangkan secara substansial demokrasi memuat nilal-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilakubudaya masyuakat setempat.


Mengacu kepada konsepsi constitutional democracy, maka DIY telah diatur di dalam pasal 18B UU 1945; dan juga telah diaatur di dalam pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974 yang mengamanatkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY, tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, selanjutnya pasal 122 UU No.22 Tahum 1999 dan Pasal 226 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UUNo. 5 Tahun 1974 adalah tetap.


Berdasarkan ketentuan hukum tersebut maka apa yang telah berjalan selama ini dalamm pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dapat dikatakan telah berjalan demokratis. Asumsinya bahwa sebuah UU disusun oleh DPR Rl bersama pemerintah yang merupakan representasi dari kehendak rakyat Indonesia dan kehendak penyelenggara negara, sehingga ketika produk undang-undang yang dihasilkan dijalankan hal inilal bentuk constitutional democracy.


Seharusnya kita tidak resisten dengan bentuk demokrasi yang telah betjalan di DIY seperti sekarung ini yang lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam takaran teoritik negara-negara barat bahkan mulai berkiblat pada deliberative democracy sebagaimana beberapa contoh berikut ini: Jon Elster dalam Deliberative Democracy (Cambridge University Press), Christoper P Zurn dalam Deliberative Democracy and The Institutions of Yudicial Review (Cambridge University Press), dan Beau Breslin dalam The Communitarian Constitutions ( The John Hopkins University Press, Baltimore and London).


Dari uraian tersebut diatas tidaklah berlebihan bila pengakuan keistimewaan DIY tetap dipertahankan, tidak saja merupakan keniscayaan sejarah dan konstitusi melainkan juga fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung oleh sebagian besar masyarakat DIY, dan masyarakat secara luas. Hal ini terbukti dari fakta empirik seperti: Keputusan DPRD Kabupaten dan Kota, keputusan DPRD Provinsi DIY dan keputusan DPD RI yang telah memberikan dukungan atas keistimewaan DIY. Representasi dukungan secara lebih luas juga pernah dibuktikan di ruangan ini, ketika RUUK Provinsi DIY dibahas pada periode sebelumnya.


Alasan Teoritis


Dari perspektif filsafat ilmu hukum, se harusnya kita tidak berpikir semata-mata pada teks normatif hukum positif melainkan harus mampu melihat hukum sebagai realita secara utuh baik dari perspektif trancendental order, social order maupun political order. Hukum yang baik sudah seharusnya berbasis pada kosmologi, bentuk kehidupan sosial dan kultural (a peculiar form of social life), oleh karenanya keistimewaan DIY harus dipahami secara "utuh" agar mampu memahami simbol-simbol dan makna yang ada di lingkungan masyarakat DIY sebagai satu kesatuan.


Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mampu melakukan analisis terhad RUU tersebut karena sesungguhnya terkait dengan persoalan filosofis bahwa peraturan hukum dibentuk tentunya berdasarkan konteks yang melatar belakanginya. Tidak saja landasan filosofis, sosiologis, histris dan yuridis konstitusional, tetapi kontribusi signifikan dalam bentuk keinginan nyata masyarakat. Tidak ada keraguan bahwa persoalan mendesak yang dibutuhkan masyarakat DIY saat ini adalah instrumen hukum yang legitimate untuk mengakui (recognition principle) dan menghormati ( respectation) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kami sangat menghargai apa yang telah disampaikan pemerintah atas RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyaka yang lalu, karena akan menjadi dokumen hukum penting dalam proses pembentukan sebuah Undang-Undang. Materi tersebut menunjukkan kehendak atau cita politik hukum (rechts idee) dari pemerintah sela inisiator RUU.


Memediasikan perbedaan pandang antara kehendak atau cita politik hukum pemerintah dengan masyarakat DIY sejatinya dapat ditengarai dari perspektif sosiologi perundang-undangan. Dalam perspektif ini ada dua kekuatan dimana pemerintah dengan masyarakat DIY secara diametral berseberangan. Apabila pemerintah yang didukung oleh partai politik bersikukuh untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya, pertanyaan yang muncul kemudi akankah UU tersebut mampu memenuhi tujuan utamanya (intended consequence)? Karena secara teoritik suatu peraturan hukum dipandang efektif manakala kebijakan tersebut memenuhi tujuan utama (intended consequence) dari pembentuk undang-undang (law making) dan tujuan-tujuan diluar tujuan utama (unintended a sequence), yakni dinyatakan efektif bilamana targetnya memenuhi kecenderungan sosial terkait dengan kepentingan publik, kesadaran hukum dan memenuhi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan prosedur dan mekanisme perundang-undangan.


Sekiranya dokumen-dokumen politik yang ada sudah dianggap out of content (tidak dapat dipercaya lagi), maka ketiadaan dokumen hukum tertulis tersebut tidak dapat menafikkan adanya kebiasaan praktek kenegaraan diluar hukum tertulis, karena kebiasaan (konvensi) dapat menjadi hukum kebiasaan (customery rules) apabila memenuhi dua unsur, yaitu unsur faktual dan unsur psikologis.


Kamipun sangat menyadari kalau dalam penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu, oleh karenanya tidak mungkin lagi sepenuhnya mengadopsi seluruh praktek penyelenggaraan pemerintahan seperti dijaman kerajaan waktu itu, tuntutan akuntabilitas menjadi suatu keharusan, namun demikian tidak harus mengorban nilai-nilai yang baik yang telah berjalan selama ini dan masih dibutuhkan oleh masyarakat. Mensitir pendapat Sri Sultan HB IX dalam Buku Tahta Untuk Rakyat, ketika ada pertanyaan Bagaimana Keberlanjutan DIY kedepan? jawabnya: itu terserah pemerintah pusat dan rakyat.


B. Tinjauan Secara Khusus


1. Judul RUU tentang Keisthnewa Provinsi DIY, menurut hemat kami judul tersebut tidak tepat apabila kita merunut berbagai pertimbangan yang telah kami uraikan dimuka, disamping tidak merujuk original intent bunyi pasal 18B ayat (1) juga tidak sesuai dengan UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebutkan "setingkat provinsi" yang dapat diartikan tidak sama dengan provinsi sekaligus sebagai pembeda dengan daerah lainnya yang diberlakukan ketentuan hukum yang bersifat umum(lex generalis).Sehingga akan lebih tepat kalau judulnya: RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau Keistunewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (tidak menggunakan kata provinsi).


2. Dalam konsideran menimbang tidak dicanturnkan dasar filsafat Pancasila, yang semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan. Disadari atau tidak suatu undang-undang tanpa menyebutkan dasar filosofis Pancasila akan menjadi ancaman serius yang mengarah kepada liberalisasi. Untuk RUU DIY ruh keistimewaan berada pada sila keempat "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"


3. Penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 8 ayat (2), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berdasarkan Pasal 18 ayat (4) kepala Pemerintahan Daerah Provinsi adalah Gubernur. Keberadaan Gubernur Utama akan menciptakan dualisme pemerintahan yang secara mutatis mutandis melanggar prinsip negara hukun cq kepastian hukum (Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 28D.ayat (1) UUD 1945). Kalau yang dimaksud Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sekedar peristilahan atau sebagai pengganti "parardhya", maka secara filosofis bertentangan dengan ruh keistimewaan DIY, karena Raja yang berkuasa pada wak itu ketika berintegrasi kedalam Republik Indonesia selanjutnya menjelma menjadiKepala Daerrah dan Wakil Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur, kalau kemudian ada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama maka sama saja kekuasaannya semakin dipersempit.


4. Masih dalam hal penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubemur Utama yang menurut kami mengandung resiko hukum yang sangat besar bagi eksistensi keistimewaan DIY, manakala ada pihak-pihak yang melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dan dinyatakan menang (dikabulkan) maka pada saat bersamaan keistimewaan DIY hilang.


5. Pasal 1 angka 14 perihal Peraturan Daerah Istimewa Pronnsi DIY (Perdais) bukan menjadi ciri asli keistunewaan DIY, melainkan lebih meniru model Konun di Nagroe Aceh Darussalam dan MRP di Papua, disamping untuk kepentingan mewadahi peran dan fungsi Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Menurut hemat kami akan lebih tepat diatur dengan Peraturan Daerah (biasa) sebagaimana yang telah berjalan selama ini, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.


6. Pada Bab II Batas dan PembagianWilayah, pasal 2 ayat ( 1 ) huruf b disebutkan bahwa "sebelah timur dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah" padahal secara riil berbatasan juga dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.


7. Pertanahan dan Penataan Ruang, Pasal 26 ayat (1) disebutkan ".... Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum. Bumyi pasal ini tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan (masih mengacu konsep lama/parardhya). Kami ada kekawatiran jangan-jangan Naskah akademiknya sama dengan yang sebelumnya ? yang berubah hanya Rancangan Undang-Undangnya, kalau benar demikian maka keutuhan latar belakang sebagaimana dimaksudkan didalam Naskah Akademik dengan keinginan pengaturannya (RUU) menjadi tidak sinkron.


8. Masih dibidang pertanahan, Kalau Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, pertanyaan sebagai badan hukum privat atau publik ? Lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini sudah dikelola oleh masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain, apakah kemudian harus dibatalkan ? Sehingga menurut kami akan lebih tepat kalau Kasultanan dan Kadipaten ditegaskan sebagai subyek hak atas tanah.


9. Penggunaan terminologi "pembagian kekuasahn" pada Pasal 5 ayat (2) huruf c tidak tepat karena pada prinsipnya pemerintahan daerah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif (executive power) dan kekuasaan eksekutif ini tentunya tidak dapat dibagi lagi. Sehingga akan lebih tepat "pembagian kewenangan" (authority sharing) antara DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur.


Mengutip pendekatan ushul fiqih yakni ilmu hukum dalam Islam yang mengkaji kaidah kaidah dan teori-teori untuk menghasilkan produk hukurn atau perundang-undangan, dalam praktek ketatanegaraan apa yang terjadi di DIY disebut sebagai ahkamul 'urfi, yakni kebiasaan yang telah dinyatakan sebagai hukum tetap dan menjadi landasan peraturan tata perilaku, baik yang bersifat sosial maupun politik di suatu wilayah. Selama tidak menimbulkan bahaya dan mengancam kehidupan umat, ahkamul 'urfi memiliki legalitas syar'i. Syariat Islam sendiri berprinsip tasbarruful imami manutbun bimashalihil ummah yaitu kebijakan penguasa harus berpijak kepada kemaslahatan umat. Pembuat UU wajib memperhatikan dan mengikuti kehendak umat yang telah merasa nyaman dengan kebiasaan baik yang berlaku dalam tatanan sosial-politik di daerahnya. Apabila berkeinginan mengubah tradisi yang telab mapan, maka harus mampu menjelaskan bahwa yang berlaku selama ini membahayakan bagi keselamatan NKRI dan kelestarian DIY, apabila tidak bisa membuktikannya, maka telah melanggar prinsip tasbarruful imami manutbun bimashalihil ummah. ***


Sumber : Radar Jogja (Kamis 3 Maret 2011, Hal 7)