Minggu, 20 November 2011

POLEMIK DIY, PINTU AMANDEMEN KELIMA ?

Oleh : Empi Muslion Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Lyon Perancis Dialektika penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta semakin hari semakin ramai, belum hilang dari ingatan kita saat pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Mendagri dan jajarannya saat menyerahkan RUU DIY kepada DPR, justru digedung terhormat mempertontonkan pemandangan yang jauh dari semangat kebhinnekaan dan menghargai antar sesama aparat negara yang harus memikirkan nasib rakyat, khususnya masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan terapi ketenangan dan kebersahajaan ditengah rasa gulana yang baru saja mulai sirna pasca erupsi gunung merapi. Sampai saat ini berbagai solusi pemecahan untuk mencari jalan terbaik terus dilakukan oleh berbagai kalangan, baik melalui jalur formal maupun informal, hal itu tampak dengan ramainya diskursus yang terus bergema baik dari dapur legislatif, eksekutif, kalangan perguruan tinggi, para pengamat, LSM dan lainnya. Begitu juga dikalangan akar rumput yang mendera masyarakat Yogyakarta yang tiap hari semakin beragam dan fariatif model kegelisahan yang mereka luapkan dengan mempertunjukkan opera penantian akan kejelasan status DIY diberbagai tempat dan kesempatan. Episentrum Polemik Sampai saat ini perdebatan yang muncul tentang alternatif mekanisme model pemilihan Gubernur DIY dan status Sultan antara dipilih atau ditetapkan tetap bak berjalan dilorong gelap, berbagai model telah digelontorkan, tetapi belum menampakkan lorong cahaya untuk menuju jalan keluarnya. Penulis melihat sebenarnya akar permasalahannya bukanlah pada kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah dengan opsi yang pada intinya bahwa gubenur DIY harus dipilih, juga bukan pada pihak legislatif dengan segala argumennya antara yang pro dan kontra dengan RUU DIY yang telah diserahkan oleh pemerintah. Episentrum terjadinya perdebatan sebenarnya adalah pada sudut pandang dan pemahaman tentang substansi UUD 1945 pasca amandemen, terutama pasal 18 ayat (4) dan pasal 18B ayat (1). Alasan pemerintah dapat dibenarkan karena argumentasinya disandarkan pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sedangkan sebagian anggota legislatif dan sebagian kalangan masyarakat lainnya melihat alternatif mekanisme pemilihan gubernur DIY dilakukan melalui pengangkatan juga berdasarkan argument juridis yakni pasal 18B ayat (1) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-udang” serta ditambah dengan beberapa fakta historis, sosio politis dan beberapa fakta juridis penetapan Sri Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur pada beberapa UU sebelum ini. Karena itu solusinya tidak lain harus ada pemahaman kita bersama untuk mempertemukan makna dan maksud dari kedua pasal tersebut. Dinamika yang berkembang sampai saat ini pasal yang paling krusial dan mendobrak tatanan kesultanan dengan ex-officio kegubernurannya adalah pada pasal 18 ayat (4) yakni kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis” tersebut. Jika pemahaman tentang demokratis diartikan secara nilai dan substansional dari sebuah konsep demokrasi yakni demokratis dalam arti “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dan “kedaulatan berada ditangan rakyat” maka apapun aspirasi masyarakat Yogyakarta tentang kepemimpinan daerahnya itulah yang harus diikuti. Untuk melihat aspirasi masyarakat DIY bisa dilihat dari dua sumber legalitas. Pertama melalui referendum untuk meminta masukan kepada rakyat DIY tentang model pemilihan kepemimpinan DIY apakah penetapan atau pemilihan, tentunya referendum juga membawa berbagai konsekuensi bagi keberadaan daerah lainnya di Indonesia maupun bagi kewibawaan pemerintah dan NKRI, sehingga referendum terlalu rentan untuk dilaksanakan. Kedua meminta masukan cukup melalui lembaga perwakilan rakyat yakni DPRD. Jika segenap elemen bangsa setuju dengan pemahaman kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis” seperti ini, maka hasil keputusan DPRD DIY tentang model kepemimpinan DIY apakah pemilihan atau penetapan sudah bisa dijadikan landasan legalitas untuk penentuan model kepemimpinan DIY dalam RUU DIY. Namun jika pemahaman kita tentang kalimat “kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis”, diartikan dalam pemaknaan secara linear dan lahiriah, yang tentunya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah langsung ataupun pemilihan oleh DPRD, maka penentuan legalitas model kepemimpinan DIY harus melalui pemilihan, baik melalui pilkadasung atau melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD DIY. Namun melihat situasi dan kondisi yang berkembang ditengah masyarakat Yogyakarta, sepertinya alternatif ini akan mendapatkan resistensi dan penolakan dari sebagian besar masyakarat Yogyakarta. Tetapi bagimanapun terlepas dari alternatif mekanisme yang akan dipilih dan pro kontra yang muncul, kita harus bisa memahami bahwa pilihan ini memang adalah pilihan yang teramat sulit, kedua pilihan tersebut adalah sama-sama memiliki resiko untuk diperdebatkan, makna antara pasal 18 ayat (4) dengan pasal 18B ayat (1) sangat sulit untuk dipertemukan, semua memiliki peluang untuk dipertentangkan. Akankah jalannya tidak lain adalah harus menunggu Amandemen UUD 1945 selanjutnya ?

MELEPAS PASUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Oleh : Empi Muslion Magister Desentralisasi pada Universitas Lyon 2 Perancis Dialektika penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta semakin hari semakin ramai, hebohnya RUU DIY ini akar utamanya tidak lain terletak pada pemilihan model suksesi kepemimpinan DIY yang akan diterapkan, apakah penetapan atau pemilihan. Sepanjang perdebatan ini tetap dalam koridor untuk mencari sebuah kemaslahatan dan desain terbaik untuk masyarakat dan daerah Yogyakarta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah diskursus yang perlu diapresiasi dan menjadi perhatian kita bersama. Namun semakin hari dialektika ini juga bergulir bak bola liar ke hal-hal yang kurang proporsional dan insubstansional, seperti sudah ada muncul gejala keinginan daerah lain untuk diakui dan dihidupkan kembali keistimewaan daerahnya, bahkan ada letupan opini yang lebih ekstrim bahwasanya RUU DIY dipersepsikan lebih kearah kepentingan politik jangka pendek, dan letupan-letupan suara miring lainnya. Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mencoba menjelaskan duduk persoalannya secara objektif dan legal rasional, pertama akan dijelaskan fakta mengapa daerah Yogyakarta dikatakan istimewa, dari penjelasan ini diharapkan semoga kita bersama dapat memahami bahwa ada daerah-daerah istimewa yang diakui dalam konstitusi tertinggi di Negara kita yang telah dirancang oleh para founding father yang tentunya sudah memikirkan masak-masak segala aspek historis, sosial budaya, dan suasana kebatinan politik saat itu. Kedua akan dijelaskan fakta yuridis penetapan Sultan sebagai gubernur selama ini dan ketiga tulisan ini menyoroti konsekuensi gubernur DIY pasca Amandemen UUD 1945 dan solusi pemecahannya. Tentunya tulisan ini, tidaklah bisa menjawab semua persolan tentang RUU DIY, tetapi paling tidak semoga tulisan ini semakin menambah referensi dan khazanah pemikiran kita untuk memahami keanekaragaman sejarah dan sosial budaya bangsa dan mencarikan jalan terbaik dan bermartabat dalam melahirkan UU DIY nantinya. Fakta Keistimewaan Yogyakarta Dasar adanya label keistimewaan yang diberikan kepada daerah Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, paling tidak dapat ditarik atas 3 fakta substansional yakni 1) Fakta dasar pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia, 2) Fakta Sejarah, dan 3) Fakta Sosial Politis. 1) Fakta Dasar Pembentukan Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan negara kesatuan. Sebagai sebuah negara, Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan UUD 1945 inilah kerangka kenegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia diatur. Salah satu yang diatur dalam UUD 1945 adalah tentang pengaturan wilayah Indonesia, mengingat wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis yang luas dan kondisi sosial budaya masyarakat yang beragam, UUD 1945 kemudian mengatur perlunya pemerintahan daerah, maka ketentuan ini diatur dalam pasal 18 UUD 1945, yang sebelum diamandemen berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” Inti pasal 18 tersebut adalah bahwa dalam Negara Indonesia harus ditata dengan adanya pemerintahan daerah. pemerintahan daerah tersebut terdiri atas besar dan kecil. Pemerintahan daerah yang dibentuk tersebut baik daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan dua hal: 1) dasar permusyawaratan, maksudnya pemerintah daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya adalah musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat (daerah), dan 2) hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, maksudnya pemerintah daerah yang dibentuk tidak boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah swapraja yang disebut zelfbesturende lanschappen dan dan kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, Nagari, Huta, Marga dan lainnya yang disebut volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen. Pengertian Daerah Swapraja (zelfbesturende lanschappen) Jauh sebelum kedatangan penjajahan kolonial ke Indonesia, di bumi nusantara telah banyak daerah-daerah otonom yang berbentuk kerajaan, begitu juga saat penjajahan Belanda di Indonesia masih banyak daerah-daerah otonom yang diperintah secara tidak langsung oleh Belanda. Daerah ini dibawah pemerintahan raja, sultan atau sebutan nama lainnya yang berdasarkan hukum adat daerah yang bersangkutan. Daerah-daerah ini sebelum ditundukkan oleh Belanda adalah Negara-Negara merdeka yang kemudian mengakui kedaulatan Belanda dengan kontrak panjang maupun kontrak pendek. Daerah itu yang kemudian disebut swapraja (zelfbesturende lanschappen). Contoh daerah swapraja adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Goa dan lainnya. Disamping daerah swapraja, Belanda juga mengakui adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat pribumi seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Kuria di Tapanuli, Marga di Sumatera Selatan, Kampung di Kalimantan Timur dan lainnya untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Kesatuan masyarakat hukum adat ini oleh Belanda disebut sebagai volksgemenschappen atau inlandsche gemeente. Semua daerah swapraja tersebut tetap eksis sampai dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah tersebut juga diakui sebagai daerah otonom dengan sebutan kooti. Hanya saja Jepang mengawasi kooti sangat ketat untuk melanggengkan kepentingan perang dan kekuasaannya. Daerah-daerah swapraja ini telah memiliki tatanan tersendiri dan keteraturan dalam tatacara mengatur sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem keamanan, dan sistem sosial budayanya. Semua berkembang secara sendiri, mandiri dan bertahan secara langgeng. Dua daerah inilah, swapraja dan kesatuan masyarakat hukum adat, oleh pasal 18 UUD 1945 disebut sebagai daerah yang mempunyai susunan asli dan dapat dibentuk sebagai daerah istimewa. Jadi atas dasar tersebut diataslah mengapa daerah-daerah tersebut diamanatkan sebagai daerah istimewa dalam konstitusi tertinggi dalam ketatanegaraan kita yakni dalam UUD 1945. 2) Fakta Sejarah Daerah Yogyakarta Fakta sejarah menunjukan bahwa Yogyakarta dalam perjanjian Gianti 1755 sebagai ”negara berdaulat” dengan wilayah territorial dan penduduk yang jelas. Status negara atau negeri tersebut diperkuat oleh dokumen sejarah seperti dalam Kontrak Politik antara Sri Sultan HB IX dengan Adam Lucean 1940, dan Perjanjian dengan pemerintahan Dai Nippon Jepang tahun 1942. Asal usul Keistimewaan Yogyakarta sebagaimana tercatat dalam tiga dokumen tersebut antara lain dapat dirunut dari pengakuan atas gelar keagamaan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono Ingalogo Khalifatullah Sayyidin Panotogomo. Adanya hak prioritas pemerintah Belanda terhadap Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualam. Adanya hak prioritas didasarkan pada hak asal-usul keturunan anak laki-laki dari isteri raja untuk dapat mengganti dan menduduki jabatan kepala daerah. Terakhir, hubungan kekuasaan antara Sri Sultan dengan kekuasaan pemerintahan adalah langsung kepada Gubernur General di Jakarta. 3) Fakta Sosio-Politis Daerah Yogyakarta Secara sosio-politis keberadaan keistimewaan Yogyakarta terus terpatri kuat setelah Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden RI mengeluarkan piagam yang menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada kedudukannya sebagai Kepala Kesultanan Yogyakarta, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : ”Kami Presiden Republik Indonesia, Menetapkan Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrachman Sajidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX, ing Ngayogyakarta Hadiningrat pada kedudukannya, dengan kepertjajaan, bahwa Sri Paduka Kandjeng Sultan akan mentjurahkan segala fikiran, tenaga djiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.” Namun sebelum Piagam Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945 diterima oleh Hamengku Buwono IX, pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arjo Paku Alam telah mengeluarkan amanat mengenai kedudukan daerahnya yang intinya bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia (Republik Indonesia, Daerah Istimewa Jogyakarta, 1953). Bukti sejarah dan nilai filosofis Keistimewaan juga dibuktikan melalui fungsi Kesultanan sebagai pemelihara (Hamangku), pemersatu (Hamengku) pelindung atau pengayom (Hamengkoni) dalam menyelamatkan NKRI dari ancaman agresi Belanda 1946 hingga 1949. Perpindahan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta menujukan bukti bahwa Sri Sultan HB IX tidak saja telah menjadi penyelamat dan pelindung NKRI. Tetapi, juga DIY merupakan tempat autentik NKRI karena pemberlakuan UUD 1945 di DIY tidak menerima kehadiran negara federalis, bentukan pemerintahan Belanda. Keberadaan sosio-politik lainnya, ditandai oleh adanya dualisme kepemimpinan di Yogyakarta. Di satu pihak, keberadaan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam sebagai sistem kepemimpinan kerajaan atau pemimpin komunitas adat dengan Kraton dan Puro Paku Alaman adalah tempat dimana kekuasaannya berada di tanah Jawi, didukung masyarakatnya (Kawulo Ngayogyakarto Hadiningrat), dengan pemberlakuan sistem hukum adat (Pepakem Ndalem), yang sejak dulu sampai sekarang masih berlaku effektif. Fakta Jurudis Penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur Fakta juridis konstitusional penetapan Sri Sultan sebagai gubernur oleh pemerintah pusat, dapat ditelusuri sejak adanya piagam penetapan Presiden RI tanggal 19 Agustus 1945 maupun Amanat Sri Sultan Ingkang Sunuwun Kandjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arjo Paku Alam tanggal 5 September 1945. Kemudian secara berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten, baik pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, dan juga Orde Reformasi. Pengaturan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tetang Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada dasarnya semua UU tersebut mengakui bahwa keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang”. Dari berbagai fakta di di atas, tidaklah berlebihan bila pengakuan keistimewaan dan penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur diberlakukan di Provinsi DIY. Kedudukan akan status keistimewaan DIY dalam NKRI tidak saja merupakan keniscayaan sejarah, dan konstitusi, melainkan juga fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung oleh masyarakat Yogyakarta khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Konsekuensi Gubernur DIY pasca Amandemen UUD 1945 Perjalanan sejarah Negara Indonesia dalam penataan pemerintahan daerah selanjutnya, sedikit mengalami goncangan mengingat UUD 1945 pasca amandemen sangat berbeda. Hasil amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) telah menegaskan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis.” Perubahan ini membawa dampak implikasi yuridis maupun politis terhadap proses demokrasi di Indonesia dimana jabatan publik seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota harus dilakukan pemilihan secara demokratis. Penegasan tersebut telah membuka jalan bagi masyarakat untuk melakukan tuntutan perubahan ke arah yang lebih demokratis dalam pengisian jabatan kepala daerahnya. Disinilah sebenarnya muncul pemasungan bagi akar permasalahan pemilihan model kepemimpinan DIY, dan argumentasi pemerintahpun akhirnya dapat diterima mengapa pemerintah dalam hal ini melalui Mendagri mengatakan opsi yang akan diambil adalah model pemilihan, karena argumennya diletakkan pada konstitusi tertinggi UUD 1945. Selanjutnya, apakah nantinya UU DIY dapat mengatur masalah pengisian gubernur dan wakil gubernur seperti yang selama ini berlangsung yakni melalui penetapan dan tidak melalui pemilihan ataukah mengikuti model pemilihan sebagaimana yang menjadi opsi pemerintah?. Solusi Model Kepemimpinan DIY Dari uraian diatas tampaklah benang merah permasalahannya, keistimewaan bagi DIY sepertinya sudah given siapapun tidak bisa menyangkalnya, yang menjadi persolan adalah pengaturan pasal tentang pemerintahan daerah pasca amandemen UUD 1945 yang melahirkan beberapa konsekuensi logis bagi aturan dibawahnya, terutama pada kalimat “dipilih secara demokratis” pada amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1). Karena itu solusinya tidak lain harus ada pemahaman kita bersama akan kata “dipilih secara demokratis” tersebut. Jika pemahaman tentang demokratis diartikan secara nilai dan substansional dari sebuah konsep demokrasi yakni demokratis dalam arti “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dan “kedaulatan berada ditangan rakyat” maka apapun aspirasi masyarakat Yogya tentang kepemimpinan daerahnya itulah yang harus diikuti. Untuk melihat aspirasi masyarakat DIY bisa dilihat dari dua sumber legalitas. Pertama melalui referendum untuk meminta masukan kepada rakyat DIY tentang model pemilihan kepemimpinan DIY apakah penetapan atau pemilihan, tentunya referendum juga membawa berbagai konsekuensi bagi keberadaan daerah lainnya di Indonesia maupun bagi kewibawaan pemerintah dan NKRI, sehingga referendum terlalu rentan untuk dilaksanakan. Kedua meminta masukan cukup melalui lembaga perwakilan rakyat yakni DPRD. Jika segenap elemen bangsa setuju dengan pemahaman kalimat “dipilih secara demokratis” seperti ini, maka hasil keputusan DPRD DIY tentang model kepemimpinan DIY apakah pemilihan atau penetapan sudah bisa dijadikan landasan legalitas untuk penentuan model kepemimpinan DIY dalam RUU DIY tidak perlu menunggu amandemen UUD 1945. Namun jika pemahaman kita tentang kalimat “dipilih secara demokratis”, diartikan dalam pemaknaan secara fisik dan lahiriah dalam UU, yang tentunya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah langsung ataupun pemilihan oleh DPRD, maka penentuan legalitas model kepemimpinan DIY harus melalui pemilihan, baik melalui pilkadasung atau melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD DIY. Tetapi sekiranya alternatif pemilihan ini tidak bisa diterima oleh lapisan masyarakat DIY dan menimbulkan resistensi yang tinggi bagi masyarakat DIY dan NKRI, maka jalannya tidak lain adalah harus menunggu Amandemen UUD 1945 selanjutnya. Tentunya penantian dan kepastian masyarakat Yogyakarta akan legalitas kepemimpinannya masih tersangkut dilorong amandemen UUD 1945. Karena itu, solusi terbaiknya tidak lain adalah kearifan seluruh pemimpin dan anak bangsa Indonesia untuk melihat persolan ini dengan jernih dengan meletakkan semangat NKRI dalam bingkai kemajemukan, kesejahteraan, kemaslahatan dan kebesaran bangsa Indonesia. Mari kita tunggu bersama.