Sabtu, 27 Agustus 2011

Proses Pengakuan Keistimewaan DIY Tak Bisa Diabaikan

Yogyakarta, CyberNews. Pemberian pengakuan keistimewaan dan kekhususan kepada salah satu daerah semestinya berdasarkan proses sejarah bergabungnya sebuah daerah ke republik serta hak asal-usul yang dimiliki daerah tersebut sebelumnya. Bukan pada kepentingan politik sesaat, top down dan sentralistik, apalagi sampai mengesampingkan aspirasi dari arus bawah.

Demikian hal yang mengemuka dalam kegiatan sarasehan memperingati peran rakyat Yogya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI ''Piagam Kedudukan: Penghargaan Presiden Soekarno Kepada HB IX dan PA VIII'' di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri. Kegiatan yang diprakarsai oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM itu menghadirkan pakar hukum tata negara UGM, Fajrul Falakh SH MSi dan pengamat keistimewaan Yogyakarta Sudomo Sunaryo.

Fajrul Falakh mengatakan, pengakuan keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat di era Presiden Soekarno dan kemudian diperkuat dalam konstitusi tidak terlepas dari sikap Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan pertama yang secara tegas mengakui dan berintegrasi dengan NKRI sebagai negara baru. Padahal Keraton Yogyakarta sebelumnya memiliki kedaulatan yang diakui dunia internasional.

''Yogya berintegrasi dengan RI melampaui makna yang ada dalam ketoprak sikutan. Keputusan memilih berintegrasi adalah politik kebangsaan yang ditunjukkan HB IX dan PA VIII, bukan politik dinasti,'' katanya.

Menurutnya, apa yang diingin oleh masyarakat DIY saat ini sehubungan adanya pengakuan keitimewaan yang ditandai adanya proses penetapan kepala daerah merupakan aspirasi warga yang menghargai sejarahnya. ''Konstitusi itu mempersatukan komponen-komponen bangsa. Tahun 1945 saja pemimpin kita berhasil mengintegrasikan. Tapi jika ini memaknai usulan keitimewaan sebagai upaya disintegratif maka sebagai langkah mundur,'' katanya.

Oleh karena itu, keberadaan keistimewaan dari suatu daerah dipahami sejarah, tapi hanya perspektif kepentingan politik dan kebijakan yang bersifat sentralistik. Selain itu, Dia juga menyarankan agar pemerintah tidak terlalu antipati dengan bentuk monarki konstitusional. Karena monarki pun mengalami perkembangan, kekuasaannya masih dibatasi oleh konstitusi atau aturan adat.

Sudomo Sunaryo menuturkan, bergabungnya Yogyakarta dengan Republik berdasarkan persetujuan HB IX dan PA VIII, setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan lewat radio. ''Setelah itu mengirimkan ucapan selamat kepada presiden,'' ujar dia.

GPH Prabukusumo, salah satu anak dari HB IX mengatakan, sikap negarawan dan kecintaan terhadap republik menjadikan alasan sang ayahanda untuk memilih bergabung dengan NKRI, padahal sebelumnya sudah ditawari Belanda untuk menjadi wali nagari di Jawa. ''Semua keputusan beliau betul-betul bijaksana. Semua dilakukan dengan perasaan luhur,'' tambahnya.

( Bambang Unjianto / CN27 / JBSM )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar