Rabu, 09 Maret 2011

Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa...

Pada tahun 1998, menjelang keruntuhan rezim Soeharto, sejumlah kota besar di negara ini mengalami kerusuhan yang mengakibatkan korban rakyat sipil. Ketika itu, tanggal 20 Mei pada tahun yang sama, ada gerakan rakyat yang melibatkan sejuta orang dari seluruh penjuru Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak yang memperkirakan, Yogyakarta pasti akan rusuh seperti kota-kota lain. Bahkan, Solo yang hanya berjarak 60 kilometer dari Yogyakarta ternyata mengalami kerusakan sangat dahsyat akibat amuk rakyat yang tak terkendali.

Perkiraan terjadinya kerusuhan di Yogyakarta meleset. Memang benar semua penduduk keluar rumah. Mereka berupaya menuju ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Jalan penuh, sampai ke lorong-lorong sempit di sekitar kawasan Malioboro yang padat penduduk. Pemilik toko tidak membuka usahanya. Sebagai ganti, mereka berpartisipasi dengan menyediakan makanan dan minuman untuk rakyat yang melalui kawasan di sekitar toko.

Pengaruh Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X jelas besar dalam menentukan keamanan di wilayahnya. Waktu itu pemerintahan Provinsi DIY masih dijalankan oleh Paku Alam (PA) VIII, yang juga turut menemui massa di Alun-alun.

Sultan HB X sebagai raja yang mengayomi masyarakat dalam kondisi yang genting, penuh ketegangan dan provokasi, sering kali berkeliling ke seluruh Yogyakarta menenteramkan hati rakyat yang panas. Konsentrasi massa di pusat perbelanjaan yang sangat rawan dengan aksi perusakan dan pembakaran berhasil dilunakkannya. Semua merasa berterima kasih karena merasa diayomi Sang Raja.

Peristiwa itu sering disebut Pisowanan Ageng, yang menunjuk sebuah ritual pertemuan antara rakyat dan raja dalam tradisi keraton. Namun, banyak juga yang mengatakan sebagai gerakan rakyat Yogyakarta. Ini karena peran rakyat dalam aksi satu juta orang menjelang runtuhnya Soeharto di Yogyakarta itu sangat nyata.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman KH Abdul Muhaimin mengungkapkan, peristiwa ratusan ribu warga Yogyakarta yang turun ke jalan pada 20 Mei 1998 itu adalah gerakan rakyat.

”Saya salah satu yang menjadi organisator bersama-sama dengan Pak Loekman Sutrisno (almarhum guru besar Universitas Gadjah Mada/UGM). Dalam rapat-rapat sebelum peristiwa itu, saya selalu ikut. Pada tanggal 19, sehari sebelumnya, saya menandatangani 300 kartu identitas untuk relawan di Wisma Bethesda. Untuk menyelesaikan tanda tangan itu sampai pukul 3.00 dini hari. Rapat itu membahas rencana aksi dengan detail,” katanya.

Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, juga menjelaskan kenapa gerakan rakyat Yogyakarta yang melibatkan jutaan warga ini bisa berlangsung damai, tidak seperti Solo atau Jakarta yang sedemikian bergolak.

”Faktornya banyak. Sultan juga merupakan salah satu faktor sehingga aksi menjadi tidak beringas. Di Yogyakarta juga banyak mahasiswa yang terlibat dan mereka berpikir lebih ilmiah. Tetapi, saya kira kalau gerakan ini terjadi di kota lain, akan beda. Bisa hancur-hancuran. Kami semua sadar, kota ini selalu menjadi barometer, jika Yogyakarta ini bergolak, seluruh Indonesia juga akan bergolak. Kalau sudah demikian, yang akan menjadi korban justru rakyat. Inilah yang disadari oleh kami semua,” lanjutnya.

”Peristiwa ini tentu menunjukkan adanya keistimewaan Yogyakarta. Coba saja lihat, rompi yang dipakai oleh relawan pada waktu itu hanya terbuat dari kain belacu yang dilubangi. Kekompakan antara rakyat Yogyakarta dan para aktivis ini berlangsung sangat erat. Penggalangan terjadi di kantor Pak Loekman Sutrisno yang berada di UGM, termasuk kita merancang pertemuan di tingkat rukun tetangga (RT). Semua ini dilakukan untuk membuat Yogyakarta damai. Sampai-sampai kami ini mengidentifikasi wilayah yang rawan bergolak, seperti Kricak, Gondomanan, dan Tukangan, itu kami datangi. Di samping juga menggerakkan para dermawan untuk membuat spanduk yang kami pasang di seluruh wilayah Yogyakarta. Semua itu keluar dari kantong warga dengan sukarela,” papar Muhaimin.

Dihubungi secara terpisah, sejarawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM Bambang Purwanto mengatakan, yang paling besar dalam menentukan keistimewaan Yogyakarta itu rakyat, sedangkan elite itu hanya ”katut”.

”Di zaman kemerdekaan 1945 merupakan masa awal-awal peran rakyat yang besar demikian, pula pada zaman reformasi 1998 ada peranan rakyat untuk mendorong terjadinya reformasi. Dalam isu lokal guna melestarikan keistimewaan Yogyakarta, bisa dilihat pula peran rakyat yang besar dalam mengkritisi proses pembangunan Ambarrukmo Plaza dan wacana tentang pembangunan parkir bawah tanah di bawah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Ini semua menunjukkan peran rakyat,” ujarnya.

Titik penting

Titik penting yang dipakai untuk menentukan sejarah keistimewaan Yogyakarta antara lain Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno dan Maklumat (Amanat) 5 September 1945 dari HB IX dan PA VIII yang berisi pernyataan dua pemimpin itu untuk menggabungkan wilayahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

HB IX memang dikenal mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kedekatan dengan rakyat jelata dan kemampuan yang luar biasa dalam melihat visi ke depan. Namun, HB IX juga diuntungkan oleh rakyatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam bidang politik jauh sebelum kemerdekaan.

Kesadaran yang tinggi tentang hak merdeka dan nasionalisme diperoleh rakyat berkat pendidikan yang lama mereka peroleh melalui berbagai sekolah yang didirikan penjajah maupun elite bangsawan.

Menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo, sebenarnya sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900- 1942, juga sebelum zaman Politik Konservatif 1800-1870, Keraton Yogyakarta telah mendirikan sekolah pada 1848, yaitu Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah itu bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga Keraton dan keluarga (putra Sentana).

Namun, pada tahun 1867, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen yang berlokasi di Keraton, yaitu di Sri Manganti dan Pagelaran. Dengan berdirinya sekolah gubernemen itu, pihak kolonial Belanda melakukan tekanan pada Sekolah Tamanan maupun Sekolah Madya, hingga akhirnya kedua sekolah itu menghentikan aktivitasnya.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski mendapat pendidikan dari kolonial, priayi yang memiliki kepedulian pada nasib bangsa terus berupaya mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dari upaya mendirikan sekolah ”swasta” atau sekolah partikelir itulah lahirlah gerakan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Ketika zaman kemerdekaan, dan terutama saat ibu kota Republik Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta tahun 1946, Yogyakarta menjadi kota perjuangan yang berisi pejuang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Semua diterima dengan senang hati oleh Sultan HB IX. Bahkan, tak sekadar diterima, sejumlah pemimpin dari daerah lain juga dibiayai hidupnya oleh HB IX.

Misalnya, kesaksian Sjafruddin Prawiranegara. ”Bukan saja saya baru berkenalan dengan Sultan HB IX, tetapi antara kami berdua sebenarnya terdapat perbedaan sosiokultural yang besar. Saya hanya rakyat biasa, walau kadang-kadang menjabat sebagai menteri seperti pada waktu itu, sedangkan beliau adalah seorang sultan yang biasa disembah dan diagung-agungkan oleh rakyatnya, bahkan mungkin juga di luar rakyatnya. Di samping itu, saya seorang Sunda-Banten dan beliau orang Jawa tulen.”

Bambang Purwanto berpendapat, pendirian UGM yang mendapat dukungan sangat besar dari Sultan HB IX secara langsung telah memberikan sumbangan yang sangat besar dengan apa yang disebut keistimewaan Yogyakarta.

UGM mengadakan kuliah pertama pada 13 Maret 1946 di Keraton Yogyakarta. Jumlah mahasiswa semakin hari bertambah banyak. Perkuliahan terhenti ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah persetujuan Roem-Roeijen tanggal 7 Mei 1949, usaha untuk menyelenggarakan pendidikan UGM mulai muncul kembali.

Persiapan penyelenggaraan kembali perguruan tinggi ini mendapat dukungan yang besar dari HB IX, yang menyediakan Pagelaran, Sitihinggil, dan beberapa bangunan lain milik Keraton, baik untuk kegiatan perguruan tinggi maupun tempat tinggal, kepada mahasiswa dan pengajar. Dukungan ini bukan hanya pada tahun pertama keberadaannya, tetapi dapat dikatakan kegiatan utama UGM sebenarnya berlangsung di sekitar tembok Keraton Kasultanan Yogyakarta selama sepuluh tahun yang pertama.

UGM menjadi daya tarik baru bagi masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara untuk datang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu. Yogyakarta menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai suku dan agama bukan hanya sebagai kota perjuangan, selanjutnya sebagai tempat untuk menuntut ilmu ketika masa-masa revolusi fisik telah usai.

UGM, kata Bambang, dari sejarahnya tidak didirikan atas nama Gadjah Mada an sich, tetapi dia adalah representasi dalam dari identitas keindonesiaan. Identitas keindonesiaan itu disadari dan dibesarkan pertama- tama oleh HB IX sebagai pribadi dan penguasa dan kemudian dibesarkan oleh Yogyakarta, oleh rakyatnya.

”Ini yang harus dipentingkan, terlepas dari pertikaian kadang- kadang antara tukang becak atau antarkampung zaman dulu, tetapi harus ingat, dukungan rakyat Yogyakarta bagi besarnya UGM sangat besar. Dukungan itu sebenarnya bukan hanya pada UGM, tetapi pada pendidikan Indonesia, karena kita tahu UGM kan menyuplai sebagian besar elite terdidik. Itu sangat ditentukan oleh rakyat Yogyakarta,” ujarnya.

Bambang mencatat, masa-masa antara 1950 dan 1980, hubungan antara mahasiswa dan masyarakat itu benar-benar hubungan batin, bukan ekonomis seperti yang sekarang ini terjadi. Hubungan batin itu merupakan kontribusi rakyat Yogyakarta yang sangat besar bagi pendidikan. ”Kalau kemudian Yogyakarta punya hak untuk menyandang status keistimewaan, faktor itulah salah satu yang layak untuk dipertimbangkan selain faktor lain yang misalnya perannya mempertahankan eksistensi Indonesia pada tahun 1946-1950,” tegas Bambang.

Memang bukan sekadar peran elite yang membuat Yogyakarta memperoleh status khusus dalam NKRI. Provinsi ini menjadi salah satu daerah yang khusus, selain Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan DKI Jakarta, karena rakyatnya istimewa, rakyat mempunyai peran sangat besar dalam mendirikan fondasi maupun tembok keistimewaan Yogyakarta.(Bambang Sigap Sumantri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar