Senin, 07 Maret 2011

Tak Perlu Sebut Jogja Provinsi

JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memberikan usul menarik terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Jogjakarta. Untuk mengatasi ”kerumitan”, dia mengusulkan jalan tengah untuk menjembatani polemik. Menurut mantan Menkeh itu, posisi Jogjakarta bisa dirumuskan lebih mudah jika konsep antara provinsi dan daerah istimewa dipisahkan. ”Ketentuan pasal 18 B UUD 45 itu memberikan kemungkinan bagi daerah-daerah yang diakui secara khusus dan istimewa, diatur secara tersendiri,” kata Yusril dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUUK Jogja di Komisi II DPR kemarin (24/2). Yusril diundang komisi II dalam kapasitas sebagai ahli untuk memberikan masukan terkait polemik RUUK Jogja.

Menurut Yusril, setidaknya RUUK Jogja bisa mengadopsi konsep UU Nomor 3 Tahun 1950. Dalam UU tersebut, pemerintah mengakui Jogjakarta sebagai daerah istimewa, bukan sebagai provinsi. Dalam posisi daerah istimewa, kata Yusril, posisi gubernur disebut dengan istilah kepala daerah.
”Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tidak mengatur pemilihan. Nyatanya selama ini baik-baik saja,” ujarnya.

Posisi kepala daerah itu, kata Yusril, dijabat Sri Sultan dan Paku Alam sebagai wakilnya. Siapa pun yang menjadi Sultan dan Paku Alam, DPRD yang nanti berhak menetapkan keduanya. Nah, presiden yang kemudian mengesahkan keduanya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. ”Jika memang ada konflik, serahkan saja kepada rakyat Jogjakarta,” jelasnya.

Memisahkan definisi provinsi dengan daerah istimewa lebih simpel daripada konsep yang ditawarkan pemerintah. Menurut Yusril, konsep gubernur utama dan wakil gubernur utama justru memosisikan Jogjakarta sebagai negara bagian. ”Kalau kita menganut gubernur utama ini, lalu apakah kita ini mengadopsi monarki konstitusional,” ujarnya dengan nada bertanya.
Konsep tersebut, kata Yusril, mirip dengan konsep negara bagian yang dianut Malaysia. Di negeri jiran itu, para sultan di setiap daerah atau negara bagian dipilih dan diputuskan oleh kerabat sultan.

Selain itu, di negara bagian Malaysia dikenal menteri besar yang dipilih secara langsung melalui pemilu lokal, kemudian menteri besar itu ditetapkan oleh sultan. Menteri besar ini mirip dengan konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang ditawarkan pemerintah dalam RUUK Jogja. ”Kalau memang seperti itu, berarti kita mengakui sistem monarki konstitusional dalam konteks sebuah negara bagian. Sedangkan kita ini kan tidak begitu pikirannya,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar