Senin, 07 Maret 2011

Tak Ada Imunitas Sultan-Paku Alam RUUK di Mata Pejabat Pemprov

JOGJA - Pejabat di lingkungan Pemprov DIJ buka suara terkait pendapat mereka terhadap RUUK DIJ. Sikap itulah yang ditunjukkan Assekprov Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Tavip Agus Rayanto saat mendampingi Wagub DIJ Paku Alam IX menerima rombongan Komisi A DPR Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di Kepatihan kemarin (14/1). RUUK itu demi untuk memberikan kepastian hukum, ucap Tavip. Dia mengatakan, meski DIJ telah memiliki UU No. 3 Tahun 1950, keberadaan UU tersebut belum cukup untuk menjamin dan mengatur keistimewaan DIJ. Sebab, UU tersebut baru mengatur pembentukan DIJ yang sama dengan pembentukan provinsi lain. Karena itu, sesuai konstitusi keistimewaan DIJ harus diatur dengan undang-undang tersendiri.

Menurut Tavip, nasib DIJ memang tidak sebaik provinsi lain seperti DKI Jakarta, NAD, dan Papua yang mendapatkan status otonomi khusus. Tiga provinsi itu telah memiliki UU otonomi khusus. UUK itulah yang kita perjuangkan,kata alumnus Jurusan Sosiatri Fisipol UGM ini.

Tavip juga membantah tudingan bila pemerintahan DIJ berjalan layaknya monarkhi atau kerajaan. Menurut dia, penyelenggaraan pemerintahan DIJ tak beda dengan provinsi lain.
Status Sultan dan Paku Alam sebagai raja dan adipati hanya berlaku di lingkungan Keraton dan Pakualaman. Sedangkan bila memasuki pemprov, status mereka adalah gubernur dan wakil gubernur yang terikat aturan-aturan pemerintahan.

Dalam pandangannya sebagai orang daerah, Tavip juga mengatakan dalam posisinya sebagai gubernur dan wakil gubernur tak ada hak imunitas yang diperoleh Sultan dan Paku Alam. Kedudukan hukum Sultan dan Paku Alam tak ada bedanya dengan warga negara lainnya.
Tidak ada yang spesial. Kalau Sultan dan Paku Alam terkena kasus hukum keduanya juga harus tunduk dengan proses hukum, ungkap Tavip. Ini sangat berbeda dengan ide pusat menjadikan Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya yang mendapatkan sejumlah hak-hak kekebalan.

Di depan tamunya, Tavip juga mengatakan keistimewaan DIJ dibandingkan daerah lain saat ini tinggal ada pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme penetapan tanpa melalui pemilihan menjadikan DIJ berbeda dengan daerah lain.
Dasar penetapan itu, terangnya, secara historis dan yuridis memiliki argumentasi yang kuat. Penetapan dimulai dengan adanya Amanat 5 September 1945, Piagam Kedudukan Presiden RI 19 Agustus 1945, UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004.

Tavip juga mengatakan, setiap lima tahun di DIJ selalu muncul gejolak menyangkut tata cara suksesi apakah melalui penetapan atau pemilihan. Karena itulah, desakan RUUK DIJ segera disahkan bertujuan mengingatkan pemerintah pusat agar mengambil keputusan menyangkut keistimewaan DIJ.
Selain soal penetapan, Tavip mengatakan, keistimewaan DIJ lainnya menyangkut soal penataan pertanahan. Itu terjadi karena DIJ ada tanah-tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG).
Menanggapi paparan Tavip itu, Ketua Komisi A DPR NAD Adnan Beuransyah mengatakan, dari sisi sejarah DIJ dan Aceh memiliki kesamaan sebagai daerah yang dulu bersifat kerajaan. Kerajaan Aceh diduduki melalui maklumat perang yang diumumkan Belanda pada 1879.
Politikus dari Partai Lokal Aceh ini juga mengkritisi sejarah nasional Indonesia yang menyatakan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional. Menurut dia, penetapan status pahlawan itu merupakan pembohongan sejarah. Cut Nyak Dien bukan pahlawan nasional. Indonesia baru lahir setelah 17 Agustus 1945, katanya.
Cut Nyak Dien berjuang demi mempertahankan bumi Aceh dari serangan Belanda. Karena itu lebih tepat, ia disebut pahlawan daerah Aceh. Kalau Soekarno Hatta tepat disebut pahlawan nasional karena mereka berjuang setelah Indonesia lahir, ungkapnya berapi-api. (kus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar