Senin, 14 Maret 2011

Warga DIY geram!

GUNUNGKIDUL: Warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersuara, menanggapi komentar Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X soal kemungkinan bakal tamatnya DIY jika konsep gubernur utama menang di Mahkamah Agung.
Sejumlah warga dari kabupaten dan kota di DIY menyatakan pendapatnya pada Harian Jogja, Kamis (3/3). Secara khusus mereka membuka suara soal gonjang-ganjing keistimewaaan. Banyak yang geram, ada juga yang khawatir.
Kegeraman diungkapkan dengan berbagai ekspresi kata. Seperti misalnya Parjono, 50, penjual soto asal Dusun Siyono Kidul, Logandeng, Playen, Gunungkidul. "Yang jelas saya masih senang dengan sistem yang dulu, kalau sudah baik ngapain diubah-ubah. Nek ana Pilkada mengka malah kisruh [kalau ada Pilkada nanti malah kisruh], apa bener memilih Gubernur DIY yang memiliki aura Keraton tapi nantinya seperti itu. Ya mending penetapan,” ujarnya.
Sebagai rakyat, Parjono pun berusaha menafsirkan maksud pemerintah pusat dalam memberikan kebijakan keistimewaan DIY. Menurutnya ketidakmauan pusat dalam menetapkan Gubernur DIY merupakan upaya untuk memperoleh keuntungan dari Jogja.
Sementara itu Abdurrohman, 29, pemuda dari Dusun Curug, Desa Giriwungu, Pangang, menyebutkan jika terdapat dua gubernur akan terjadi konflik di tengah masyarakat, karena ada dualisme keputusan yang menghilangkan citra keistimewaan. "Jangan aneh-aneh lah, yang sudah berjalan mari kita hormati, DIY sudah tentram kok diusik,” ucap pemuda yang juga menjadi guru di salah satu sekolah swasta ini.
Kegeraman juga disuarakan Suyanti, mahasiswa Universitas Gunungkidul (UGK) yang mengatakan menjadikan dua gubernur berarti sama dengan mengkhianati sejarah. "Saya khawatir pahlawan bangsa, seperti Sri Sultan HB IX menangis di alam sana, melihat keputusan pemerintah terkait keistimewaan ini," katanya.
Senada dengan warga Gunungkidul, warga Jogja juga mengekspresikan pendapatnya. Agus Prihatin Susanto, 44, warga Ngupasan, Gondomanan, Jogja menyatakan kecewa. "Di Jogja itu sekarang sudah ayem tentrem, kenapa harus diusik dengan adanya ontran ontran RUUK," katanya. Lebih lanjut Agus mengatkaan hal itu yang membuatnya panas dan secara pribadi tidak setuju, dia tetap mendukung keistimewaaan DIY.
"Khawatir juga jangan jangan gubernur baru tidak sama dengan kita dan hanya mengeruk uang lalu pergi, kalau sultan kan jelas kita sudah merasakan sampai sekarang tidak pernah neka neka,” katanya.
Pernyataan menolak DIY akan ditamatkan oleh pemerintah pusat pula disayangkan oleh Susanto, 28, warga Mancasan, Wirobrajan, Jogja. Saat diwawancarai Harian Jogja Susanto menjelaskan saat ini Jogja tidak pernah ada konflik yang berarti menyangkut kepemimpinan kesultanan.
Susanto berharap pemerintah pusat dapat mendengar suara dari unsure warga ditingkat bawah. "Kami hanya bisa berharap mbok pemerintah ini bisa mendengar suara masyarakat yang ada di sini, jangan hanya sekadar di meja pusat saja,” katanya.
Sepakat Sultan
Selain geram dan kecewa, sebagian warga juga tegas menyebut sepakat dengan komentar Sultan. Ketua Paguyuban Dukuh (Pandu) Bantul Sulistyo Admojo mengatakan pihaknya sepakat dengan pernyataan Sultan, bahwa jika konsep gubernur utama itu diterapkan, keistimewaan DIY itu berarti tamat.
Menurutnya, ketentuan itu mengada-ada karena secara konstitusi, hal itu tidak ada aturan yang dapat digunakan sebagai payung. Dan takutnya kebijakan itu justru menjadi yurispundensi bagi daerah lain untuk mendapatkan keistimewaan.
Sedangkan warga Bantul lainnya, Rohadi, 47 menyebut tak sepakat dengan istilah gubernur utama. Karena hal itu akan menimbulkan kerancuan. Konkretnya, ujar warga Kasihan, Tirtonirmolo itu gubernur yang tidak utama dan dipilih justru bisa jadi tidak dipercaya masyarakat dan hanya semacam boneka saja.
Soal Sultan ini Wagiman, warga Seyegan, Sleman menyebutkan bahwa Sultan melekat sebagai raja dan kepala pemerintahan. Sebagai pemimpin sudah terbukti, membwa Jogja sebagai kota daerah yang aman dan damai. Saat kota lain dan daerah lain bergolak, Jogja tetap aman.
"Kalau dari dulu sudah tenteram lantas apa yang salah? Kenapa warga saja tidak memperosalkan kok pemerintah mempersoalkan. Saya orang kecil, warga Jogja yang tetap akan mendukung keistimewaan Jogja dan penetapan," kata dia.
Warga Seyegan lainnya, Ariyanto bahkan mengatakan Pemerintah pusat harus belajar sejarah lagi. Jangan takabur dan merasa sudah menguasai kehendak rakyat. Kepentingan keistimewaan adalah kepentingan warga Jogja karena merasa bagian dari sejarah Republik.
"Saat itu kasultanan setara dengan calon negara Indenesia. Baru kemudian setelah merdeka, Sri Sultan HB IX secara ikhlas menyatakan bergabung dengan NKRI. Pusat itu pinter-pinter tapi kok seolah melupakan sejarah," ujar tokoh pemuda dusun Ngino yang juga mahasiswa Universitas Widya Mataram Jogja.
Tak paham demokrasi
Dari beragam komentar yang bernada sama itu ada juga Haryono, seniman asal Kulonprogo yang menyebut jika memang pemerintah pusat ngotot untuk mengobok-obok keistimewaan DIY, berarti pemerintah tidak paham azas dasar demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Demokrasi bukan berarti harus pemilihan, musyawarah untuk mufakat juga merupakan bentuk dari sebuah demokrasi. Ada ungkapan dalam bahasa latin yang mengatakan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi seharusnya sudah sah Sultan HB X menjadi pemimpin di DIY karena yang menginginkannya adalah rakyat Jogja.
Senada dengan Haryono, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Amandra Gunadharma, selama ini sistem yang ada telah baik.
Jika ada perubahan, tujuan perubahan itu harus jelas, karena sistem dibuat untuk menyejahterakan masyarakat. "Jika memang alasan kepentingan politik semata berarti mencerminkan negara yang memang berantakan," katanya.
Mahasiswa UAJY lainnya, Johanna Anindya, dari Mahasiswi Prodi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik menyebut ada kemungkinan sistem baru nanti, akan memecah belah Jogja. Sebagian orang pasti akan memilih mengikuti perintah Sultan dari pada gubenur terpilih. "Selain itu, muncul ketakutan Jogja menjadi kota besar yang semakin berkembang tanpa memperhatikan kultur lagi," tegasnya.(SUN/AMU/TON/DAS/AYA/NIN)
Oleh Maya Herawati
HARIAN JOGJA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar