Senin, 21 Februari 2011

Penetapan Juga Demokratis

PANDANGAN yang mengatakan bahwa penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Adipati Paku Alam secara otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY bersifat monarkis. Karena itu menjadi tidak demokratis perlu dipertanyakan. Paling tidak ada 2 (dua) argumentasi yang dapat diajukan. Pertama, tidak semua jabatan publik di pemerintahan negeri ini dilakukan dengan pemilihan, apakah dengan demikian hal tersebut juga berarti bersifat monarkis ? Sebagai contoh adalah pengangkatan menteri oleh presiden, pengangkatan kepala dinas dan camat pada pemerintah kota/kabupaten, serta mengapa pada pemerintah kota pengisian jabatan lurah diangpat (penetapan) sedangkan pada pemerintah kabupaten dengan pemilihan. Tentu, seandainya peraturan perundang-undangan tidak memberikan kewenangan kepada pejabat tersebut untuk mengangkatnya, maka praktek tersebut dapat dikatakan bersifat monarkis. Menurut ilmu perundang-undangan apabila peraturan perundang-undangan memberikan hak itu kepada pejabat yang bersangkutan, maka pengangkatan itu dapat disebut sudah * Bersambung hal 7 kol 4 bersifat demokratis. Karena, Hak pengangkatan tersebut diperoleh pajabat yang bersangkutan dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat secara demokratis. Dengan demikian, semua implikasi hukum yang ditimbulkan sebagai akibat dari implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah bersifat demokratis, sehingga tidak dapat disebut sebagai bersifat monarkis. Oleh karena itu, seandainya UUD 1945 tidak memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, maka sudah barang tentu presiden tersebut adalah bersifat monarkis. Begitu pula hanya dengan penetapan Sri Sultan Hamenghu Buwono dan Sri Paku Alam secara otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, apabila hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY (UUK DIY), maka penetapan itu tidak dapat lagi dikatakan bersifat monarkis, tetapi telah bersifat demokratis. Karena, UUK DIY tersebut telah dibuat secara demokratis oleh lembaga yang berwenang di negeri ini seperti halnya hak prerogatif presiden tersebut. Kedua, status keistimewaan Yogyakarta bukanlah merupakan tuntutan atau permintaan dari Sultan Hamengku Buwono IX atas jasa-jasanya yang telah diberikannya kepada negeri ini. Tetapi, merupakan penetapan yang diberikan oleh Presiden RI pada waktu itu yang dijabat oleh Presiden Soekarno yang ditandatangani tanggal 15 Juli 1946. Penetapan Pemerintah itu bukannya tanpa alasan. Banyak jasa dan bantuan yang telah diberikan oleh Sultan pada waktu itu demi kelangsungan eksistensi dari NKRI, terutamanya adalah keikhlasan Sultan dijadikannya Yogyakarta sebagai ibukota negara dan keikhlasan Sultan menghibahkan hartanya untuk kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan pada waktu itu. Seandainya Sultan pada waktu itu tidak memiliki sifat kepemimpinan, nasionalisme dan keikhlasan, maka kita pun tidak akan dapat mengetahui dan memastikan apakah kita sebagai bangsa bisa berdiri tegak seperti saat ini. Walaupun dalam Penetapan Pemerintah tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam secara otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu keistimewaan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya adalah terletak pada pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Artinya, di Yogyakarta jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur secara otomatis dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam, sehingga tidak dipilih sebagaimana daerah-daerah lainnya. Apabila sekarang ini kita akan mengubahnya menjadi pemilihan, maka secara otomatis kita telah mengingkari keistimewaan Yogyakarta yang paling hakiki dan kita pun akan menjadi bangsa yang historis, bangsa yang ingkar janji dan bangsa yang munafik. Ingat! Penetapan Pemerintah tersebut bukan dikeluarkan oleh Soekarno sebagai pribadi, tetapi dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI. Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam secara otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah sudah merupakan keharusan sejarah. Oleh karena itu adalah tidak bijak sebagai bangsa kita mengingkarinya hanya semata-mata mengatasnamakan demokrasi dengan mereduksi maknanya.* (Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar