Selasa, 01 Februari 2011

Wacana Gubernur Utama Adalah Warisan Kolonial

YOGYA (KRjogja.com) - Konsep Gubernur dan Wakil Gubernur utama yang diusulkan pemerintah dalam Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY dianggap sebagai konsep turunan penjajah kolonial Belanda. Adanya istilah tersebut juga dianggap sebagai bentuk tidak konsistennya pemerintah dalam menyelesaikan RUUK DIY.

"Istilah Gubernur dan Wakil Gubernur utama itu justru mengikuti organisasi Kraton sebelum masa kemerdekaan. Atau lebih tepatnya metode yang diterapkan penjajah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kenapa justru konsep demikian akan ditetapkan lagi oleh pemerintah," ujar kerabat Kraton Yogyakarta, GPBH Joyokusumo dalam pertemuannya dengan DPD RI di Ndalem Joyokusuman, Sabtu (29/1).

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ketua Komite I DPD RI, Deni Anwar. Menurutnya, konsep demikian merupakan ideologi politik devide et empera. Hal tersebut tentu tidak bisa dibiarkan dan pihaknya akan memberikan bantahan pada pemerintah.

"Selain menganut sistem memecah belah, istilah Gubernur dan Wakil Gubernur utama ini juga tidak jelas. Dimana disebutkan bahwa Gubernur utama diatur oleh perdais. Tetapi pada waktu yang bersamaan, perdais tersebut harus memiliki persetujuan Mendagri. Lalu dimana kewenangan Sultan. Ini menjadi percuma dan tidak jelas," katanya.

Sementara, anggota DPD RI dari Papua, Paulus Sumino menyampaikan, konsep Gubernur utama pada jaman dulu merupakan strategi untuk menempatkan posisi Sultan sebagai pemimpin kebudayaan saja dan tidak memiliki kekuasaan. Hal tersebut diterapkan penjajah untuk membatasi kekuasaan Sultan.

"Tetapi yang menjadi aneh sekarang, justru pemerintah berargumen bahwa hal tersebut diterapkan untuk menghindari adanya Sultan yang kebal hukum. Padahal sudah jelas bahwa sebenarnya permasalahan itu terbantahkan karena Sultan memiliki perlakuan sama di mata hukum ketika dirinya terjerat kasus hukum," tandasnya. (Ran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar