Minggu, 09 Januari 2011

‘SERATUS PENYAIR MEMBACA JOGJA’ ; Keistimewaan Tak Perlu Dipertanyakan

08/01/2011 09:52:16 YOGYA (KR)- Ratusan penyair lintas usia menganggap Yogyakarta istimewa. Bukan hanya daerahnya, tapi juga masyarakat yang berada di dalamnya. Apalagi mengingat besarnya peran Yogya sebagai tempat awal para penyair ini berproses dan menghasilkan karya-karya besar yang selalu menjadi bagian dari sejarah. Karena itu pula, ratusan sastrawan membacakan pemikiran dan perasaan mereka atas Yogya melalui puisi acara Seratus Penyair Membaca Jogja di depan Gedung Agung, Jumat (7/1). Dalam acara yang digelar Paguyuban Sastrawan Mataram dan hampir semua penyair yang hadir menyatakan sikap untuk penetapan. Mereka tidak ingin keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. “Semua penyair ini tidak ingin keistimewaan Yogya berubah dengan adanya pencalonan. Jika pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan, akan mempengaruhi seluruh sistem sosial masyarakat. Semua tidak lagi berdasarkan budaya dan guyub rukun, tapi money oriented dan permainan politik. Yogya itu ruang yang berbeda, semuanya berakar pada filosofi. Dan itulah jati diri Yogya yang mendarah daging pada kami di tengah era globalisasi,” terang salah satu anggota Paguyuban Sastrawan Mataram, Evi Idawati. Yogyakarta, lanjut Ida, sebagai ‘kawah candradimuka’ bagi sastrawan. Tempat untuk berkarya, menempa ilmu dan merupakan titik awal hadirnya orang-orang hebat dan berbakat. Jika semua ini berubah dengan adanya pemilihan, maka Yogya tidak akan sama lagi 10 tahun ke depan. Ditambahkan Koordinator Paguyuban Sastrawan Mataram, Sigit Sugito, acara ini juga sebagai upaya untuk membaca Yogya dulu, kini dan masa depan. Saat ini dinamika masyarakat di Yogyakarta berusaha meneguhkan keistimewaan Yogyakarta. Semua elemen masyarakat berpartisipasi sebagai bentuk untuk memotret keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya. Memperlihatkan inilah kota budaya yang kaya sejarah dan makna filosofi. “Karenanya, banyak yang marah ketika Yogyakarta ‘dianiaya’. Dan semua sastrawan yang dulu pernah berproses atau sekadar tinggal di Yogya tidak terima dengan kondisi tersebut. Mereka jauh-jauh datang dari berbagai kota seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, menyempatkan hadir,” terang Sigit. (*-3)-e Seniman yang hadir antara lain Hari Leo, Imam Budi Santosa, Bambang Widiatmoko, Bambang Nursinggih, Mustofa W Hasyim dan sebagainya. (*-3)-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar